Krisis
Turki dan Efek Domino Perang Dagang
M Syaroni Rofii ; Rofii doktor Ilmu Hubungan Internasional Marmara University
Turki; Direktur Eksekutif Center for
Indonesia and Internatonal Affairs (CIFA)
|
DETIKNEWS,
16 Agustus
2018
Perang dagang yang
dikumandangkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali memakan
korban. Kali ini Turki menjadi negara yang paling terkena dampak dari
kebijakan ketat Washington. Nilai tukar mata uang Turki, lira yang sepanjang
2011 hingga 2016 berada di kisaran 1 dolar setara 2 lira kini berubah drastis
menjadi 1 dolar setara 6 lira. Sebuah rekor depresiasi tertinggi dalam satu
dekade terakhir.
Melemahnya nilai tukar
lira terhadap dollar dan euro tidak lepas dari situasi politik domestik dan
politik internasional. Pada level domestik, Turki baru saja memasuki era baru
sistem presidensial di mana kekuasaan kini berpusat pada presiden. Sosok
presiden menjadi penentu utama setiap kebijakan dan memiliki wewenang untuk
menunjuk para pembantunya di kabinet. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
yang baru saja terpilih sebagai presiden melalui pemilu pada Juni 2018 tidak
mendapat respons positif dari pasar. Sikap Erdogan yang anti-kompromi
terhadap lawan politik membuatnya menjadi figur yang tidak begitu disukai di
Barat.
Sementara, penunjukan
Berat Albayrak selaku Menteri Ekonomi yang juga menantu Erdogan dianggap
kurang tepat menahkodai ekonomi Turki. Profilnya kalah jauh dengan tim
ekonomi terdahulu seperti Ali Babacan atau Mehmet Simsek.
Jika dilihat dari tren
depresiasi lira, sanksi politik dan ekonomi dari AS memiliki kontribusi
paling besar dalam krisis kali ini. Perlu digarisbawahi bahwa memburuknya
ekonomi Turki hari ini tidak lepas dari kebijakan keras Trump terhadap Turki
terkait penangkapan pendeta Andrew Brunson. Menurut pihak Turki, Andrew
Brunson, seorang pendeta berkebangsaan AS, terlibat dalam upaya kudeta pada
2016 sehingga menurut aturan hukum Turki yang bersangkutan harus ditahan.
Sementara, pemerintah AS
meminta agar Turki membebaskan Brunso, tapi Turki menolak secara tegas. Turki
hanya akan mengembalikan Andrew jika Washington bersedia menyerahkan Fetullah
Gulen yang menurut pemerintah Turki merupakan aktor utama di balik kudeta 15
Juli 2016 (Hurriyet Daily, 13/8).
AS dan Turki telah
melakukan negosiasi cukup lama untuk membebaskan warganya dari Turki. Begitu
juga dengan Turki yang telah meminta sejak lama agar Fetullah Gulen
diserahkan ke pemerintah Turki. Dalam perkembangannya, masing-masing pihak
berada dalam posisi bertahan, dan momentum perang dagang memperburuk situasi
tersebut.
Trump
vs Dunia
Dalam dua bulan terakhir,
Trump memang menebar ancaman perang dagang dengan China dan Uni Eropa terkait
pencabutan bebas biaya masuk baja dan aluminium. China dan Eropa mengancam
balik jika AS mengambil kebijakan sepihak menyangkut transaksi ekspor-impor
yang selama ini berlaku.
Kemudian, Turki masuk
dalam lingkaran perang dagang dengan AS dalam suasana yang kurang tepat.
Sebab, AS di bawah pemerintahan Trump terlihat seperti free rider (pengendara
bebas) yang tidak terlalu berpikir pada risiko jangka panjang. Dengan
kalkulasi ekonomi yang sangat pragmatis Trump menegasikan sejarah panjang
hubungan AS-Turki yang juga anggota NATO.
Pemimpin Turki sangat
menyadari bahwa melemahnya nilai tukar lira terhadap dolar tidak lepas dari
campur tangan kebijakan AS. Sikap AS ini kemudian memancing komentar Erdogan
yang mengatakan bahwa "mereka memiliki dolar, sementara kita memiliki
Tuhan dan rakyat", sembari meminta rakyat Turki menukarkan dolar mereka.
Erdogan juga sempat
menulis artikel di Harian New York Times, mengingatkan sejarah kemitraan AS
dan Turki sebagai upaya untuk mengingatkan Trump. Namun, upaya tersebut
ternyata tidak digubris oleh Trump. Justru, dengan gestur yang terlihat
arogan, lewat Twitter Trump menyebut dolar begitu digdaya terhadap lira (New
York Times, 10/8; Hurriyet Daily, 13/8).
Di luar cerita sanksi
ekonomi, terdapat sebuah fakta menarik terkait reaksi para pihak terkait
potensi krisis ekonomi di Turki. Di level domestik, Faiz Oztrak selaku wakil
ketua umum partai oposisi CHP menyatakan sikap bahwa mereka mengkritisi
kebijakan pemerintahan Erdogan namun akan bahu-membahu sebagai bangsa untuk
menentang kebijakan AS terhadap Turki.
Reaksi yang sama juga
ditunjukkan oleh para pemimpin negara dan komunitas regional. Seperti reaksi
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Kanselir Jerman Angela Merkel yang
mengharapkan agar perang dagang yang dilancarkan oleh AS segera dihentikan.
Merkel mengatakan bahwa Jerman menginginkan agar Turki tetap sejahtera, dan
berharap destabilitas ekonomi tidak terjadi di Turki karena Jerman juga
memiliki kepentingan terkait stabilitas ekonomi Turki yang juga merupakan
salah satu mitra dagang paling penting. (Hurriyet Daily, 13/8).
Selain Rusia dan Jerman,
Italia, China, Qatar, dan Iran juga merupakan negara-negara yang secara
terbuka menyatakan dukungan mereka untuk restorasi ekonomi Turki. Pada
akhirnya, perang dagang yang melibatkan AS dan negara-negara di dunia perlu
juga menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Dalam beberapa hari terakhir
rupiah juga terlihat inferior di hadapan dolar. Ketika AS selaku pionir rezim
pasar bebas memulai perang dagang, sudah lebih dari cukup untuk membuat kita
lebih berhati-hati dan pasang kuda-kuda jika suatu saat badai krisis itu
melanda kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar