Ancaman
Modernitas
Trisno S Sutanto ; Periset Independen di PARITAS
Institute
|
KOMPAS,
30 Agustus
2018
Apa itu modern? Pertanyaan
itu tidak lahir dari mahasiswa filsafat atau sosiologi. Pertanyaan itu
terlahir dari pergulatan eksistensial yang amat konkret.
Halim baru saja disunat
dan dengan itu ia jadi ”orang Bajau dewasa yang modern”. Namun, bagi Andar,
ayahnya, peristiwa itu justru menghadirkan persoalan yang pelik. Sebab, ia
sadar, dunia modern yang akan dimasuki Halim sesungguhnya menantang seluruh
cara berada maupun perikehidupan suku Bajau yang selama ini dijalani.
Itulah alasannya mengapa
Andar menanyakan pertanyaan tadi: apa itu modern? Bagi Andar, dunia modern
hadir dengan membawa batasan-batasan imajiner yang sesungguhnya tidak ada,
tetapi dipercayai oleh banyak orang.
Mulanya batasan yang
sangat konkret: teritori yang memisahkan wilayah kedaulatan satu negara
dengan negara lain. Batasan itu jelas imajiner, tak kasatmata, tetapi
sekaligus sangat riil. Orang tidak dapat menyeberangi batasan yang ada tanpa
segala macam surat atau dokumen lain yang diperlukan. Di atas batas-batas
teritorial negara-bangsa itulah, seperti kita tahu sejak Perjanjian
Westphalia, perikehidupan dunia modern didirikan.
Namun, seperti dikatakan
Andar, batasan-batasan yang dibawa dunia modern itu makin abstrak. Itulah
batasan-batasan yang memisahkan ”agama dengan tradisi”, ”leluhur dengan
keturunan”, dan ”masyarakat dengan lingkungan”. Dunia modern membawa
pembatasan dan pemisahan itu, yang mengancam eksistensi orang Bajau. Karena
itu, kata Andar berharap, jika batasan-batasan ini merupakan ”roh kepercayaan
modern, aku berharap anakku memilih kepercayaan Bajau”.
Domestikasi
Bajau
Harapan yang diucapkan
Andar merupakan adegan yang menutup film Our Land is the Sea, sebuah film
dokumenter etnografis memukau yang digarap oleh Kelli Swazey dan Matt
Colaciello, hasil kerja sama CRCS-UGM, CSEAS Hawaii, dan The Global Workshop.
Film berdurasi kurang dari setengah jam itu tak saja menyajikan pengambilan
gambar yang ciamik, yang membuat orang mengenal ”air tanah” Bajau, tetapi
sekaligus pergulatan dan ambiguitas kehidupan mereka.
Soal harapan Andar tadi,
misalnya. Apakah harapan itu bisa dipenuhi bahwa Halim akan tetap memilih
kepercayaan Bajau di tengah terpaan angin modernitas? Itu juga yang
diharapkan Saipa, istri Andar. Ia berharap Halim akan menempuh pendidikan
tinggi dan sukses, lalu kembali ke Sampela dan ”percaya pada Sandro”, si ahli
waris dan penjaga tradisi turun- temurun dari nenek moyang orang Bajau.
Baik Andar maupun Saipa
sadar bahwa harapan mereka terlalu naif. Perikehidupan orang Bajau, yang
menganggap laut lepas tanpa batas merupakan wilayah ”kerajaan”
mereka—setidaknya itulah anggapan Andar—akan makin hilang digangsir oleh
dunia modern yang hadir melalui banyak perangkat. Salah satunya lewat
institusi sekolah, yang tentu saja harus berdiri di daratan dengan seluruh
kultur dan nilai-nilai yang kerap kali bertentangan dengan perikehidupan
Bajau.
”Pertarungan” itu
berlangsung di dalam keluarga Andar dan Saipa. Lisa, ibu Saipa, merasa sedih
karena tidak mewarisi tradisi ayah-ibunya sehingga tidak bisa mengajarkan
tradisi itu kepada anak-anaknya yang sudah mengecap bangku sekolah. Soal yang
sama berulang pada generasi berikutnya. Salma, putri Andar dan Saipa,
misalnya. Ia sudah bersekolah di daratan dan belajar agama Islam. Karena itu,
ia ”tidak percaya Sandro”. Begitu juga Tarsan, adik Saipa, yang sudah belajar
sampai perguruan tinggi. Ia malah menuduh orang-orang di desanya yang masih
berpegang pada cerita-cerita lama sebagai ”belum move on”.
Akan tetapi, sesungguhnya,
kehidupan komunitas Bajau, paling tidak mereka yang tinggal di Sampela—daerah
sekitar Taman Nasional Waikatobi yang dipotret Kelli dan Matt— sudah lama
mengalami domestikasi oleh negara. Jauh sebelum konsep negara-bangsa ada,
komunitas ini merupakan pengembara yang hidup nomaden, sebagai pengelana laut
yang hidup dan menyusuri laut lepas di sekitar kepulauan barat daya Filipina,
Sulawesi, Timor Leste, Papua, dan Salomon.
Lautan lepas itulah
”kerajaan” mereka. Di situ, mereka tinggal dan hidup mengikuti irama laut,
bergantung sepenuhnya pada sumber daya
laut yang melimpah bagi
kehidupan mereka. Laut pula yang menjadi landasan keberadaan mereka.
Perikehidupan nomaden
seperti itu sama sekali bertentangan dengan konsep negara- bangsa yang punya
batas-batas teritori yang jelas. Sejak Indonesia merdeka, orang Bajau yang
berada di wilayah Indonesia dipaksa harus menetap pada suatu wilayah tertentu
demi tertib administrasi sebagai ”warga negara”. Dan, perlahan-lahan,
perikehidupan mereka pun berubah.
Cerita
orang kalah
Film dokumenter ini, yang
dipersiapkan untuk Konferensi Internasional Our Ocean di Bali, Oktober nanti,
berhasil memotret pergulatan yang kompleks tersebut dengan nada lirih. Juga
melankolis.
Sebab, yang disajikan
sesungguhnya adalah cerita tentang orang-orang yang kalah, rekaman tentang
perikehidupan yang suatu waktu akan lenyap disapu arus modernitas. Andar
sadar itu. Dalam 14 tahun terakhir hidupnya, ia menyaksikan perubahan yang
begitu dahsyat. Apalagi kini laut tak lagi mampu menghidupi orang- orang
Bajau. Untuk mencari ikan, mereka harus pergi ke wilayah yang lebih jauh.
Begitu juga karang-karang yang kini hancur dan ancaman perubahan iklim yang
makin mendekat.
Pada suatu titik, mungkin
mereka harus sama sekali meninggalkan laut, mencari kerja di daratan yang
dirasa lebih menjanjikan. Namun, hal itu juga berarti kepunahan tradisi Bajau
dengan seluruh kekayaannya, termasuk ”pengetahuan rahasia” yang diturunkan
oleh nenek moyang mereka.
Dalam banyak hal, cerita
tentang keluarga Andar ini mencerminkan cerita kita sebagai bangsa yang
tertatih-tatih berhadapan dengan ancaman modernitas. Cerita mereka patut
dikenang di tengah perayaan gegap gempita Proklamasi Kemerdekaan negara ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar