Rabu, 29 Agustus 2018

Nurcholish Madjid, Anak Gontor yang Besar sebagai Pembaru Islam

Nurcholish Madjid,
Anak Gontor yang Besar sebagai Pembaru Islam
Zacky Khairul Umam ;  Mahasiswa Doktoral di Freie Universität Berlin, Jerman
                                                         TIRTO.ID, 28 Mei 2018



                                                           
Nurcholish Madjid, masyhur dipanggil Cak Nur, benar-benar anak zamannya. Pada detik-detik terakhir rezim Sukarno yang limbung, ia terpilih sebagai Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam, organisasi Islam modernis yang berpengaruh dan menjadi salah satu roda penggerak rezim Soeharto di kemudian hari.

Cak Nur awalnya digadang-gadang sebagai "Natsir Muda". Namun, ia harus mengecewakan semangat politik para pendukung Natsir saat ia mendentumkan jargon "Islam, yes; Partai Islam, no!" pada 1970, di periode keduanya sebagai pemimpin himpunan itu. Ia lebih memilih semangat kebudayaan Natsir yang peka dengan filsafat Islam dan Barat ketimbang aspirasi politiknya. Sang anak ideologis Masyumi yang kental dengan tradisi Nahdlatul Ulama ini pun harus mengukir namanya sendiri. Para penentangnya salah paham dan berhenti memahami alur pikirannya dengan baik.

Cak Nur tak pernah benar-benar sekuler ala laïcité di Perancis yang tegas memisahkan agama dan politik. Ia lebih dekat dengan semangat sekuler di Amerika yang masih menempatkan agama sebagai etika publik dalam berbangsa dan bernegara. Itu bukan hanya karena ia membaca kepustakaan sosial-politik yang berkembang di dunia Anglo-Saxon, tetapi lantaran ia melihat aneka rupa kejumudan di dunia Muslim setelah melihat langsung dunia Timur Tengah.

Jebolan Institut Agama Islam Negeri Jakarta ini membawa nama baik almamater yang pada zamannya dianggap "kampungan". Bahkan, sebelum ia menjadi lebih besar usai pulang menggondol ijazah dari Chicago sebagai tipe ideal sarjana Muslim, Cak Nur dianggap sebagai ikon intelektual baru. Orang-orang menganggapnya simbol intelektual Muslim modern, yang tidak saja berlatar-belakang sarungan dan bisa menghadiri forum orang-orang berjas, tetapi juga berpemikiran maju dan percaya diri.

Bekal didikan Gontor ditambah dengan akses bacaan dari ayahnya, K.H. Abdul Madjid, mampu memadukan dua bahasa/tradisi yang amat jarang pada masanya, yakni Arab/kitab kuning dan Inggris/"kitab putih", serta mengartikulasikannya dalam bahasa Indonesia ala EYD yang lentur dengan penerimaan kata-kata baru semacam ‘modernisasi’, ‘rasionalisasi’, dan sejenisnya. Singkatnya, tiga tradisi ini yang merangkum cakrawala pemikirannya mengenai keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan.

Idiom-idiom Cak Nur tak lepas dari bahasa kekuasaan yang digunakan dalam teknokrasi Soeharto untuk proyek pembangunan menuju apa yang diistilahkan W.W. Rostow sebagai "era lepas landas". Karena itu, panggilan Cak Nur akan kemodernan Islam ini tak menjadi masalah bagi keluarga Cendana.

Kendati demikian, ia tak tertarik birokrasi dan politik praktis. Dengan kapasitas intelektualnya, Cak Nur lebih memilih jalan untuk membangun Islam kultural dan mendorong teologi baru bagi peradaban Islam Indonesia yang majemuk dan menyerap tradisi kemodernan Barat.

Bagi Cak Nur, kritik-diri dalam tubuh umat Muslim dibutuhkan supaya mereka mampu mengejar ketertinggalan. Sebab, esensi Islam sebetulnya meraup harapan terus-menerus serta tak berhenti berusaha. Cak Nur tak pernah lelah mengaitkan jihad dan ijtihad sebagai kerja peradaban.
Gerak ayunan Cak Nur seiring dengan berlangsungnya Perang Dingin, terutama pada era 1960an hingga 1990an, yang dikenal sebagai "abad Amerika". Wacana demokrasi, toleransi, dan hak asasi manusia menjadi favorit di seantero global dan Amerika Serikat menjadi "pusat" demokrasi. Cak Nur aktif mengadvokasi wacana yang berkembang itu dengan menelusuri khazanah Islam klasik. 
Sering pula ia perbandingkan pendiri bangsa, spirit agama dan intelektualisme Amerika dengan Indonesia, yang menurutnya memiliki titik temu. Kedua bangsa sama-sama memiliki slogan yang hampir serupa: E Pluribus Unum dan Bhinneka Tunggal Ika. Bedanya, ekspresi Islam harus mewarnai pembentukan keindonesiaan yang adil, beradab, dan partisipatif yang digalinya berdasarkan etika kenabian setelah berhijrah dari Mekah ke Madinah. Piagam Madinah disamakan dengan Pancasila, yang menjadi persemaian falsafah kebangsaan. Warga negara dilihat sebagai khalifah Tuhan di muka bumi yang penuh tanggung jawab. Pendeknya, ia cerdas menggali hikmat-kebijaksanaan secara apik.

Namun, bukan berarti narasi Cak Nur seluruhnya adalah narasi Orde Baru. Cak Nur setia pada prinsip-prinsip mendasar budaya demokratis, sesuatu yang tidak dipaksa Gedung Putih di Washington pada Soeharto. Saat Partai Persatuan Pembangunan digembosi pada 1984, Cak Nur aktif berkampanye untuk menumbuhkan politik keberimbangan.

Ia selalu merefleksikan apa pun dengan intisari Quranik, bahwa manusia harus selalu diingatkan dalam kebaikan dan kesabaran dan tidak boleh untuk bertindak zalim dan otoriter seperti Firaun. Bahasanya halus, tapi sebetulnya ucapan itu adalah kritik atas Soeharto dan mesinnya. Cak Nur berulang kali mengeluarkan gagasan "oposisi loyal" demi demokratisasi yang sesungguhnya, ide yang secara praktis justru dimainkan oleh manuver Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Runtuhnya tembok Berlin dan situasi global 1990-an akhir mendorong demokratisasi di mana-mana. Suksesi nasional menjadi istilah yang umum. Cak Nur sangat aktif mengisi forum publik dan pikirannya tentang Islam dan demokrasi sangat dinanti-nanti. Ia juga aktif dalam pertemuan internasional, yang hampir semuanya terkait dengan jaringan intelektualnya di Amerika.

Pada pidato kebudayaan 1992, ia melancarkan kritik terhadap fundamentalisme agama dan menegaskan Islam yang toleran. Selama dekade 1990-an pula, buah pikiran Cak Nur yang ia tulis untuk berbagai kesempatan, baik forum pengajian perkotaan, seminar, maupun refleksi pribadi, dibukukan.

Pada 1998, setidaknya terdapat tiga momen historis bagi Cak Nur. Pertama, ia diangkat sebagai guru besar peradaban Islam di IAIN Jakarta. Kedua, pembentukan Universitas Paramadina sebagai lembaga pendidikan tinggi dengan misi keislamannya dan lembaga penelitian baik ilmu sosial-humaniora maupun alam. Ketiga, ia turut menemui dan berbicara dengan Soeharto agar mau meninggalkan jabatannya. Pada 21 Mei, Soeharto benar-benar mundur dari jabatan presiden.

Keunggulan Cak Nur terletak pada kemampuannya menyerap berbagai gagasan besar. Personanya juga santun dan tidak meledak-ledak. Sebagai intelektual Islam, ia membangun otoritas keilmuan yang sulit tertandingi. Para pembaca Cak Nur lintas-golongan terpukau dengan penguasaan bahasa Arab klasik dan Inggrisnya, ditambah pengetahuannya akan bahasa lain yang ia asah di departemen Near Eastern Languages and Civilizations, University of Chicago.

Pengaruh Fazlur Rahman, sarjana Islam asal Pakistan yang membimbingnya, membekas setidaknya dalam usahanya sebagai peneroka etika Quranik. Selebihnya, deretan sarjana Amerika—seperti sejarawan Marshall Hodgson dan sosiolog Robert Bellah—ikut membantu Cak Nur menjelajah masa silam Islam klasik untuk diperas saripati etisnya.

Indonesia Kita yang terbit pada 2003 merangkum cara pandang Cak Nur ihwal keindonesiaan yang kosmopolit dan beradab. Salah satunya berisi "Platform Membangun Kembali Indonesia", yang kemudian dirancang untuk memajukan dirinya sebagai calon presiden. Isinya berisi jalan untuk mewujudkan gagasan "negara paripurna" yang berakar pada filsafat al-Farabi, filsuf Islam yang dipengaruhi pemikiran Plato tentang "raja-filsuf" sebagai pemimpin negara.

Konvensi Capres Golkar pertama pada 2004 ia ikuti, tapi akhirnya Cak Nur mundur karena dihadapkan pada syarat yang sarat feodalisme: "gizi politik". Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya sowan kepada Cak Nur untuk meminjam platform itu untuk melancarkan misi politiknya sebagai capres.

Hingga akhirnya dikebumikan sebagai pahlawan di Taman Makan Pahlawan Kalibata pada 29 Agustus 2005, Cak Nur dikenal luas sebagai "guru bangsa". Sebagai guru bangsa, ia adalah tempat bertanya banyak orang, termasuk elit, terutama mengenai persoalan sosial, politik, dan keagamaan. Ia adalah ensiklopedia berjalan pada masanya, sebelum Wikipedia dan media sosial mengaburkan batas otoritas intelektual.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar