Rabu, 29 Agustus 2018

Tantangan Ma’ruf Amin

Tantangan Ma’ruf Amin
Husein Ja’far Al Hadar  ;  Direktur Cultural Islamic Academy Jakarta
                                                      KOMPAS, 25 Agustus 2018



                                                           
Dengan keislaman yang lentur berkecenderungan tasawuf, relatif mudah bagi KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk beradaptasi dengan panggung politik praktis. Namun, bisa jadi akan agak berbeda bagi KH Ma’ruf Amin yang besar dalam tradisi keislaman fikih yang memang cenderung kaku: halal-haram, hitam putih.

Ma’ruf Amin sendiri sebenarnya memiliki paradigma keislaman yang presisinya proporsional: konservatif dalam pikiran (perkataan, fatwa) dan moderat dalam sikap. Ini misalnya terlihat dalam sikapnya soal kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menilai Ahok bersalah dan mengawal proses hukumnya dengan menjadi saksi ahli, tetapi tak setuju pada demonstrasi yang terus berlanjut dan bernuansa politis setelah Ahok ditangkap lantaran dinilai sudah berlebihan di tengah proses hukum yang sudah dijalankan.

Paradigma itu tepat dalam lingkup pribadi (ruang privat). Namun, relatif akan sulit ketika Ma’ruf mulai masuk dalam politik praktis (ruang publik). Ini sudah terlihat saat ia menduduki jabatan sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya. Ia menduduki jabatan publik yang perkataannya bisa berimplikasi pada sikap umat yang menjadi sulit dikontrol sampai batas yang bisa jadi menurut pemikirannya sudah berlebihan. Terlebih ketika saat ini ia memutuskan masuk ke ruang publik yang lebih luas, yakni calon wakil pimpinan rakyat (bukan lagi umat saja).

Pikiran-pikirannya yang konservatif (setidaknya sebagai Ketua MUI) patut diramu ulang dengan mempertimbangkan, pertama-tama adalah konteks: dirinya sebagai pejabat publik. Ia tak lagi hanya bisa menyampaikan fatwa yang benar, tetapi juga bijak. Bijak artinya melampaui fikih dasar, yakni mempertimbangkan maslahat. Maslahattertinggi dalam NKRI tentu adalah ”kebinekaan”.

Inilah yang sebenarnya menjadi tantangan sekaligus tanda tanya publik saat Ma’ruf dipilih sebagai cawapres mendampingi Joko Widodo, di tengah jejak fatwa-fatwa koservatifnya terhadap pribadi atau kelompok minoritas. Dari titik inilah seharusnya Ma’ruf berangkat dalam kontestasinya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Bagaimana ia meyakinkan konstituen Jokowi dan jemaah Nahdlatul Ulama (NU) yang berfondasikan moderatisme serta toleransi akan komitmennya pada minoritas?

Tentu ada asa besar untuk itu. Lantaran, pertama,Ma’ruf tak lahir dari ruang kosong, baik secara tradisi keislaman atau bahkan pencawapresannya. Ia lahir dari ”rahim” NU yang berkarakter moderat (tawassuth)dan toleran (tasamuh). Yang terbaru misalnya terlihat dalam sikapnya terhadap penolakan atas konsep Islam Nusantara oleh MUI Sumatera Barat di mana ia justru mengoreksi MUI daerah itu.

Kedua, pada dasarnya, semua fatwa dalam fikih (termasuk yang bersifat kaku itu) berbasis pada ushul fiqh (metodologi fikih atau filsafat hukum Islam) yang dialektika di dalamnya bisa menghasilkan ijtihad (fatwa) baru yang lentur dengan pertimbangan- pertimbangan non-formalistik (bukan hanya tekstual, melainkan juga kontekstual), misalnya maslahat,tercapainya tujuan syariat (maqasid syariah), budaya (urf), dan lain-lain. Dalam tradisi Islam, khususnya NU, ia dikenal dengan istilah ”Fiqh Maqashid”.

Gus Dur, misalnya, yang menjadi aktor penting dalam penerimaan NU atas Pancasila sebagai asas organisasi itu secara resmi pada 1984, hadir dengan ijtihad bahwa fikih tidak saja membagi dunia hanya dalam dua kawasan: darul-Islam (negeri Islam) dan darul-harb (negeri perang), tetapi juga darus-shulh atau negeri tempat umat Islam dapat hidup damai dan menjalankan Islam meski negeri itu tak diatur dengan hukum Islam. Ada ragam kaidah dalam ushul fiqh yang nantinya bisa dikedepankan oleh Ma’ruf agar bisa mengakomodasi realitas kebangsaan dan kerakyatan.

Kebinekaan

Ketiga,Ma’ruf akan berhadapan dengan konteks baru di hadapan dirinya sebagai cawapres, yakni rakyat (bukan lagi sekadar umat) yang tentu akan menjadi pertimbangan pemikiran dan sikapnya terhadap eksistensi minoritas di Indonesia. Terlebih jika mempertimbangkan relasi Indonesia dengan negara-negara dunia dan dalam kancah internasional. Misalnya yang paling kentara adalah yang dihadapi Kerajaan Arab Saudi yang berideologi Wahabi pun pada akhirnya harus melakukan ijtihad tertentu terkait ziarah dan praktik-praktik yang menurut mereka bid’ah dalam posisi mereka sebagai pembantu dua kota suci (khadimul haramain) di hadapan umat Islam sedunia dengan perbedaan mazhab dan manhaj-nya.

Apa ini berarti pragmatisme yang berhadap-hadapan dengan idealisme? Tak selamanya begitu. Dalam Islam, dinamika yang berbasis pada dialektika dengan konteks ruang dan zaman adalah sesuatu yang lumrah dan berdasar. Bahkan, ia menjadi salah satu semangat dan prinsip Islam: relevan untuk semua zaman dan kawasan (al-islamu sholihun li kulli zaman wal makan).

Secara tradisi, ketimbang Gus Dur, Ma’ruf mungkin lebih dekat dengan KH Sahal Mahfudz yang kebetulan secara berbarengan pernah juga menjabat sebagai Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI, yakni fikih. Fikih sosial yang dipopulerkan oleh Kiai Sahal dengan ciri berorientasi agar produk-produk parsial fikih tak diperlakukan secara kaku, tetapi mesti peka terhadap kondisi sosial, kiranya tepat menjadi referensi bagi Ma’ruf Amin dalam tantangannya terkini.

Dalam lingkungan NU, Ma’ruf sebenarnya dikenal sebagai tokoh yang ikut menggagas fiqih manhaji,yakni fikih metodologis yang berkonsekuensi lentur. Itu sebenarnya preseden dan modal tersendiri. Eksistensi (corak)-nya di lingkungan NU itulah yang relevan untuk dibawanya ke panggung Indonesia sebagai cawapres. Sebab, corak fikih itulah yang selaras dengan nilai-nilai kebangsaan, kemodernan, dan kebinekaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar