Tantangan
Ma’ruf Amin
Husein Ja’far Al Hadar ; Direktur Cultural Islamic Academy
Jakarta
|
KOMPAS,
25 Agustus
2018
Dengan keislaman yang
lentur berkecenderungan tasawuf, relatif mudah bagi KH Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) untuk beradaptasi dengan panggung politik praktis. Namun, bisa jadi akan
agak berbeda bagi KH Ma’ruf Amin yang besar dalam tradisi keislaman fikih
yang memang cenderung kaku: halal-haram, hitam putih.
Ma’ruf Amin sendiri
sebenarnya memiliki paradigma keislaman yang presisinya proporsional:
konservatif dalam pikiran (perkataan, fatwa) dan moderat dalam sikap. Ini
misalnya terlihat dalam sikapnya soal kasus penistaan agama Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) yang menilai Ahok bersalah dan mengawal proses hukumnya dengan
menjadi saksi ahli, tetapi tak setuju pada demonstrasi yang terus berlanjut
dan bernuansa politis setelah Ahok ditangkap lantaran dinilai sudah
berlebihan di tengah proses hukum yang sudah dijalankan.
Paradigma itu tepat dalam
lingkup pribadi (ruang privat). Namun, relatif akan sulit ketika Ma’ruf mulai
masuk dalam politik praktis (ruang publik). Ini sudah terlihat saat ia
menduduki jabatan sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya. Ia
menduduki jabatan publik yang perkataannya bisa berimplikasi pada sikap umat
yang menjadi sulit dikontrol sampai batas yang bisa jadi menurut pemikirannya
sudah berlebihan. Terlebih ketika saat ini ia memutuskan masuk ke ruang
publik yang lebih luas, yakni calon wakil pimpinan rakyat (bukan lagi umat
saja).
Pikiran-pikirannya yang
konservatif (setidaknya sebagai Ketua MUI) patut diramu ulang dengan
mempertimbangkan, pertama-tama adalah konteks: dirinya sebagai pejabat
publik. Ia tak lagi hanya bisa menyampaikan fatwa yang benar, tetapi juga
bijak. Bijak artinya melampaui fikih dasar, yakni mempertimbangkan maslahat.
Maslahattertinggi dalam NKRI tentu adalah ”kebinekaan”.
Inilah yang sebenarnya
menjadi tantangan sekaligus tanda tanya publik saat Ma’ruf dipilih sebagai
cawapres mendampingi Joko Widodo, di tengah jejak fatwa-fatwa koservatifnya
terhadap pribadi atau kelompok minoritas. Dari titik inilah seharusnya Ma’ruf
berangkat dalam kontestasinya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Bagaimana
ia meyakinkan konstituen Jokowi dan jemaah Nahdlatul Ulama (NU) yang
berfondasikan moderatisme serta toleransi akan komitmennya pada minoritas?
Tentu ada asa besar untuk
itu. Lantaran, pertama,Ma’ruf tak lahir dari ruang kosong, baik secara
tradisi keislaman atau bahkan pencawapresannya. Ia lahir dari ”rahim” NU yang
berkarakter moderat (tawassuth)dan toleran (tasamuh). Yang terbaru misalnya
terlihat dalam sikapnya terhadap penolakan atas konsep Islam Nusantara oleh
MUI Sumatera Barat di mana ia justru mengoreksi MUI daerah itu.
Kedua, pada dasarnya,
semua fatwa dalam fikih (termasuk yang bersifat kaku itu) berbasis pada ushul
fiqh (metodologi fikih atau filsafat hukum Islam) yang dialektika di dalamnya
bisa menghasilkan ijtihad (fatwa) baru yang lentur dengan pertimbangan- pertimbangan
non-formalistik (bukan hanya tekstual, melainkan juga kontekstual), misalnya
maslahat,tercapainya tujuan syariat (maqasid syariah), budaya (urf), dan
lain-lain. Dalam tradisi Islam, khususnya NU, ia dikenal dengan istilah ”Fiqh
Maqashid”.
Gus Dur, misalnya, yang
menjadi aktor penting dalam penerimaan NU atas Pancasila sebagai asas
organisasi itu secara resmi pada 1984, hadir dengan ijtihad bahwa fikih tidak
saja membagi dunia hanya dalam dua kawasan: darul-Islam (negeri Islam) dan
darul-harb (negeri perang), tetapi juga darus-shulh atau negeri tempat umat
Islam dapat hidup damai dan menjalankan Islam meski negeri itu tak diatur
dengan hukum Islam. Ada ragam kaidah dalam ushul fiqh yang nantinya bisa
dikedepankan oleh Ma’ruf agar bisa mengakomodasi realitas kebangsaan dan
kerakyatan.
Kebinekaan
Ketiga,Ma’ruf akan
berhadapan dengan konteks baru di hadapan dirinya sebagai cawapres, yakni
rakyat (bukan lagi sekadar umat) yang tentu akan menjadi pertimbangan
pemikiran dan sikapnya terhadap eksistensi minoritas di Indonesia. Terlebih
jika mempertimbangkan relasi Indonesia dengan negara-negara dunia dan dalam
kancah internasional. Misalnya yang paling kentara adalah yang dihadapi
Kerajaan Arab Saudi yang berideologi Wahabi pun pada akhirnya harus melakukan
ijtihad tertentu terkait ziarah dan praktik-praktik yang menurut mereka
bid’ah dalam posisi mereka sebagai pembantu dua kota suci (khadimul haramain)
di hadapan umat Islam sedunia dengan perbedaan mazhab dan manhaj-nya.
Apa ini berarti
pragmatisme yang berhadap-hadapan dengan idealisme? Tak selamanya begitu.
Dalam Islam, dinamika yang berbasis pada dialektika dengan konteks ruang dan
zaman adalah sesuatu yang lumrah dan berdasar. Bahkan, ia menjadi salah satu
semangat dan prinsip Islam: relevan untuk semua zaman dan kawasan (al-islamu
sholihun li kulli zaman wal makan).
Secara tradisi, ketimbang
Gus Dur, Ma’ruf mungkin lebih dekat dengan KH Sahal Mahfudz yang kebetulan
secara berbarengan pernah juga menjabat sebagai Rais Aam PBNU dan Ketua Umum
MUI, yakni fikih. Fikih sosial yang dipopulerkan oleh Kiai Sahal dengan ciri
berorientasi agar produk-produk parsial fikih tak diperlakukan secara kaku,
tetapi mesti peka terhadap kondisi sosial, kiranya tepat menjadi referensi
bagi Ma’ruf Amin dalam tantangannya terkini.
Dalam lingkungan NU,
Ma’ruf sebenarnya dikenal sebagai tokoh yang ikut menggagas fiqih
manhaji,yakni fikih metodologis yang berkonsekuensi lentur. Itu sebenarnya
preseden dan modal tersendiri. Eksistensi (corak)-nya di lingkungan NU itulah
yang relevan untuk dibawanya ke panggung Indonesia sebagai cawapres. Sebab,
corak fikih itulah yang selaras dengan nilai-nilai kebangsaan, kemodernan,
dan kebinekaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar