Menata
Ulang MPR
Jakob Tobing ; Ketua PAH I BP MPR November
1999-Juli 2004;
Ketua Komisi A ST MPR 2000, 2001,
2002, 2003 Amendemen UUD 1945
|
KOMPAS,
29 Agustus
2018
Negara Indonesia adalah
negara hukum. Demikian dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Hukum
tertinggi kita adalah UUD 1945 yang telah diperbarui melalui empat tahap
amendemen. Namun, walau telah mengalami perubahan, praktik dan kebiasaan
konstitusi yang lama masih sering diteruskan (Hans Kelsen, 1946).
Pada 16 Agustus 2018,
kembali MPR menggelar sidang tahunan. Pada kesempatan itu, ketua MPR
menyampaikan pidato yang, antara lain, berisikan kritik kepada pemerintah.
Tak
memiliki landasan konstitusional
Penyelenggaraan sidang
tahunan MPR sekarang ini tidak memiliki landasan konstitusional. Sidang itu
diadakan berdasarkan Peraturan MPR Nomor 1/2014 tentang Tata Tertib MPR yang
berlaku internal. Pasal 66 Ayat (4) tata tertib itu menyatakan bahwa MPR
dapat menyelenggarakan sidang tahunan MPR untuk memfasilitasi lembaga-lembaga
negara menyampaikan laporan kinerja. Sebelumnya, melalui Pasal 4 tata tertib
itu, MPR menyatakan diri sebagai lembaga negara dengan kewenangan tertinggi.
Sementara UU No 17/2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang telah diubah dengan UU No
42/2014 dan UU No 2/2018, tidak mengatur hal-hal tersebut.
Berbeda dengan MPR sebelum
perubahan keempat UUD 1945, MPR sekarang adalah lembaga negara biasa dengan
kewenangan dan tugas tertentu dan terbatas. MPR setara lembaga negara lain
dengan tugas dan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur oleh UUD 1945.
Dahulu, UUD 1945 yang lama
menyatakan bahwa MPR RI adalah pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya.
Penjelasan UUD 1945 itu menyatakan MPR adalah lembaga negara pemegang
kekuasaan tertinggi dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Presiden dan wakil
presiden dipilih oleh MPR dan merupakan mandataris MPR. Sebagai mandataris,
ia bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Dalam konstruksi itu, MPR
menggelar sidang tahunan untuk mendengarkan laporan kerja pertanggungjawaban
presiden.
Pada masa itu MPR dapat
melakukan apa saja yang diinginkannya sehingga MPR pernah menetapkan presiden
seumur hidup (Sukarno), memilih presiden yang berkuasa berturut-turut tujuh
periode (Soeharto), dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya dengan
alasan politis (BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid).
Sekarang, UUD 1945 dengan
jelas dan tegas memberi dan membatasi kewenangan lembaga-lembaga negara.
Kewenangan MPR ditentukan dan dibatasi, yaitu untuk mengubah dan menetapkan
UUD menuruti tata cara yang diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) dan Pasal 37 UUD
1945. Pasal 3 Ayat (2) menugaskan MPR untuk melantik pasangan presiden-wakil
presiden yang terpilih dalam pemilihan presiden langsung. Pasal 3 Ayat (3)
menegaskan bahwa MPR berwenang memberhentikan presiden-wakil presiden dalam
masa jabatannya dengan mengikuti ketentuan Pasal 7A dan 7B.
Selain itu, Pasal 2 (1)
UUD 1945 menyatakan bahwa MPR adalah lembaga negara yang anggotanya terdiri
atas anggota DPR dan anggota DPD, yang masing-masing dipilih langsung oleh
rakyat.
Tegakkan
konstitusi
Mempertimbangkan
ketentuan-ketentuan konstitusional di atas, seyogianya sidang tahunan MPR itu
tidak perlu karena tidak memiliki landasan konstitusional. Marilah kita
membiasakan diri untuk berkehidupan kenegaraan berdasarkan konstitusi.
UUD 1945 adalah konstitusi
normatif dan preskriptif, bukan sekadar pajangan, wajib dijadikan rujukan dan
aturan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Karl Loewenstein,
1891- 1973). Semua pihak, presiden dan lembaga-lembaga negara lainnya, serta
masyarakat luas bertanggung jawab untuk menegakkan konstitusi UUD 1945.
Dalam kaitan itu,
pengorganisasian dan perencanaan kegiatan MPR—begitu pula lembaga-lembaga
negara lain—perlu disesuaikan dengan ketentuan UUD 1945. Hanya dengan begitu
kiprah lembaga negara benar-benar mendukung pencapaian cita-cita bernegara
dan alokasi sumber daya, termasuk alokasi anggaran, dapat tepat guna.
Jika diperlukan forum bagi
presiden untuk menyapa rakyatnya, seperti pada peringatan Hari Kemerdekaan,
17 Agustus 1945, dapat dilakukan seperti yang dulu dilakukan Presiden
Sukarno. Beliau berpidato menyapa rakyat dari Istana Negara dan disiarkan ke
seluruh Nusantara.
Presiden juga dapat
berpidato di hadapan rapat gabungan DPR dan DPD, yang anggota-anggotanya
dipilih langsung oleh rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar