Senin, 27 Agustus 2018

Tanding Ulang Dua Jagoan

Tanding Ulang Dua Jagoan
Burhanuddin Muhtadi  ;  Pengajar Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah; Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia
                                                      KOMPAS, 14 Agustus 2018



                                                           
Teka-teki pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berlaga di 2019 akhirnya terjawab. Yang mengejutkan publik bukan Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang kembali bertarung, melainkan pilihan pendamping mereka yang kontroversial dan dramatis.

Nama Mahfud MD yang sempat menguat sebagai calon wakil presiden (cawapres) Jokowi tergeser di detik-detik akhir. Tarik-menarik kekuatan di kubu Prabowo dalam memperebutkan cawapres juga tak kalah seru. Sandiaga Uno akhirnya disepakati setelah menggeser nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang sebelumnya digadang-gadang berpasangan dengan Prabowo.

Kompromi elite

Di atas kertas, figur Mahfud dan AHY sebenarnya pilihan paling tepat bagi Jokowi dan Prabowo. Mahfud, misalnya, memiliki keunggulan komparatif, setidaknya pada tiga hal. Pertama, Mahfud adalah sosok yang secara elektoral berpotensi menyumbang suara bagi Jokowi. Dalam survei nasional Indikator, Juli 2018, Mahfud menempati ranking pertama yang dinilai publik paling pantas mendampingi Jokowi. Jokowi jelas membutuhkan figur cawapres yang mampu mencuri dukungan di basis-basis lawan.

Menurut survei Indikator, Mahfud lebih kuat daya penetrasinya dalam merebut kantong-kantong Prabowo ketimbang Ma’ruf Amin. Pemilih Prabowo dan pendukung Gerakan 212 jauh lebih banyak yang menilai Mahfud sebagai sosok paling tepat cawapres Jokowi dibanding Ma’ruf.

Kedua, Mahfud MD bukan hanya memiliki latar belakang santri, melainkan juga punya keunggulan teknokratik. Ia punya branding yang lengkap: memiliki Islamic credentials yang bisa diterima semua kalangan dan narasi keunggulan teknokratik. Menurut survei Indikator terhadap 451 pemuka opini di 30 kota di seluruh Indonesia, kualitas ketokohan Mahfud menempati peringkat paling tinggi dibandingkan belasan nama lainnya.

Kualitas personal ini diukur dari gabungan lima dimensi: kompetensi, integritas, keterandalan, karisma, dan pribadi  (Miller, Wattenberg & Malanchuk, 1986).

Nilai jual Mahfud yang terakhir adalah dia berintegritas tinggi dan dianggap mampu menambal kekurangan pemerintahan Jokowi di periode pertama, terutama dalam hal komitmen penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Namun, keunggulan komparatif Mahfud tersapu oleh penolakan elite partai dengan berbagai macam dalih. Mengingat usianya yang tidak terlalu tua, Mahfud dinilai sebagai sinyal ancaman bagi elite di pemilu mendatang. Pencalonan Mahfud sebagai wakil presiden dapat membuka jalan baginya untuk maju sebagai presiden dalam Pemilu 2024, sesuatu yang ingin dihindari oleh beberapa parpol.

Banyak elite partai koalisi Jokowi yang ingin lapangan permainan rata di 2024 sehingga Ma’ruf yang sepuh dinilai bukan pesaing penting meskipun menang di 2019. Selain itu, Mahfud juga dinilai mengganggu status quo partai tempat Mahfud dulu berkiprah.

Dengan demikian, terpilihnya Ma’ruf sebagai cawapres harus dibaca sebagai kompromi elite partai koalisi Jokowi. Posisi Jokowi memang serba dilematis. Jika Ma’ruf diabaikan, soliditas koalisi terganggu, bahkan rentan memunculkan poros ketiga. Ancaman dari sebagian partai koalisi yang akan keluar jika Jokowi memaksakan Mahfud makin membuat posisi Jokowi terdesak.

Jika terbentuk poros ketiga, secara matematika sederhana, sulit bagi Jokowi memenangi pilpres dalam satu putaran mengingat syarat dukungan 50 persen plus 1 akan berat terlampaui jika ada tiga pasangan. Apalagi elektabilitas Jokowi juga tak terlalu tinggi. Memori Pilkada DKI Jakarta di mana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terpental di putaran kedua membuat Jokowi tak punya pilihan lain kecuali menerima Ma’ruf sebagai jalan tengah.

Ma’ruf tentu bukannya tanpa nilai tambah. Munculnya nama beliau membuat lawan-lawan politik Jokowi berpikir seribu kali untuk menggunakan politik identitas. Saya tak ingin mengatakan bahwa potensi SARA akan hilang sama sekali dalam pertarungan Pilpres 2019, tetapi setidaknya dosis penggunaan isu-isu abad pertengahan mungkin tak akan sekencang sebagaimana terjadi di Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017.

Sosok Ma’ruf sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia sekaligus Rais Aam PBNU membuat siapa pun lawan Jokowi segan membombardir Jokowi dengan isu anti-Islam, anti-ulama, dan sejenisnya. Ma’ruf jadi benteng simbolik dalam menangkal isu-isu abad pertengahan. Ketika politik identitas mereda, elite dan publik akan dipaksa masuk dalam perdebatan- perdebatan programatik, substantif, dan bermutu. Justru di sinilah tantangannya. Ma’ruf juga harus diuji kompetensi dan kapasitasnya dalam menjawab tantangan ekonomi global, ketimpangan sosial, dan isu-isu teknokratik lainnya.

Komoditas koalisi

Drama pemilihan Sandi sebagai cawapres Prabowo juga tak kalah kontroversial dan bising. Sebelum penetapan Sandi sebagai cawapres, Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief menyerang ke segala penjuru mata angin dengan menyebut Prabowo sebagai ”jenderal kardus” yang tunduk pada kekuatan logistik ketimbang logika. Ia juga menuding PAN dan PKS masing-masing telah menerima Rp 500 miliar sebagai kompensasi mendukung Sandi. Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono menyerang balik dengan menyebut Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ”jenderal kardus yang sebenarnya” karena banyak kader SBY yang tersangkut kasus-kasus korupsi yang uangnya disimpan dalam kardus.

Ingar-bingar koalisi ini bisa dijelaskan dalam kerangka komoditas koalisi yang dipertukarkan  antarpartai sebelum menjatuhkan pilihan ke Jokowi atau Prabowo. Konstitusi kita jelas menyebut nominasi capres dan cawapres harus melalui kendaraan partai politik. UU Nomor 7 Tahun 2017 kemudian menetapkan ambang batas pencalonan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Posisi tawar partai otomatis naik karena siapa pun tak bisa maju pilpres tanpa restu partai, dan tiket partai ini pun takkan ”dijual gratis”.

Ada tiga insentif koalisi yang dikejar partai yang menjelaskan pilihan ke Jokowi atau Prabowo. Pertama, efek ekor jas (coattail effect) atau down-ballot effect. Dalam pemilu presiden dan pemilu legislatif secara serentak, ada asumsi yang dipercaya luas adalah suara partai ditentukan oleh paket capres-cawapres yang didukungnya. Masalahnya, figur Jokowi ataupun Prabowo telanjur kuat asosiasinya ke partai masing-masing. Jika kepuasan publik terhadap Jokowi naik, elektabilitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ikut terangkat, terlepas dari kenyataan bahwa partai pendukung pemerintah bukan hanya PDI-P. Sebaliknya, jika approval rating Jokowi menurun, popularitas Prabowo naik dan berkah elektoralnya dimonopoli Gerindra, padahal partai oposisi bukan hanya Gerindra.

Oleh karena itu, partai-partai lain berupaya mendorong tokohnya sebagai cawapres Jokowi atau Prabowo. Jokowi yang didukung enam partai lama dan tiga partai baru mau tak mau memprioritaskan nama dari kalangan non-partai untuk menghindari kecemburuan internal partainya.

Lantas insentif koalisi apa yang menjadi daya tarik utama bergabung dengan Jokowi? Pembagian kekuasaan (power sharing) di kabinet. Ini dimungkinkan karena semua survei-survei yang kredibel masih menempatkan Jokowi sebagai pilihan favorit sehingga memungkinkan partai-partai pendukungnya mendapat insentif setelah menang. Di sinilah letak kepelikan yang dihadapi Prabowo. Survei-survei masih menempatkan Prabowo di bawah Jokowi sehingga tawaran power sharing dianggap masih terlalu jauh dan tidak konkret. Karena itu, Demokrat, PKS, dan PAN yang mendukungnya bersikeras memaksakan tokoh-tokohnya agar dipinang sebagai pendamping Prabowo.

Sebenarnya dibandingkan nama-nama lain yang disebut sebagai bakal cawapres Prabowo, AHY adalah pilihan paling rasional. Pertama, AHY berpotensi menambah pangsa pasar elektoral bagi Prabowo. Prabowo sendiri sudah lekat dengan atribusi Islam sehingga nama Ketua Dewan Majelis Syura PKS Salim Segaf Al’Jufrie atau Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan nilai tambah elektoralnya tak signifikan bagi Prabowo. Kedua, AHY dipersepsikan punya kekuatan logistik sehingga mampu memenuhi kebutuhan kampanye dan mengompensasi ke partai lain yang elitenya tak terpilih sebagai cawapres. Ketiga, bagaimanapun AHY berasal dari trah SBY yang terbukti menang dua kali sejak rezim pilpres dilaksanakan pada 2004.

Ternyata negosiasi di belakang layar tak semudah hitung-hitungan di atas kertas. Nama AHY tak muncul sebagai cawapres yang direkomendasikan ijtima ulama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF). Isu logistik juga dianggap tak sebesar yang dibayangkan. Jika Prabowo bersikukuh mendaulat AHY, ia berpotensi kehilangan PKS dan PAN. Jika kedua partai Islam ini hengkang, Prabowo akan kehilangan legitimasi ”Islam” yang selama ini ia sandang. Akhirnya Sandi datang sebagai penyelamat kebuntuan. Latar belakangnya sebagai orang Gerindra membuat PAN dan PKS masih yakin mendapat berkah elektoral mendukung Prabowo. Lain jika AHY yang maju jadi cawapres; efek ekor jas akan dimonopoli Gerindra dan Demokrat. Belum lagi isu kardus yang dibawa Sandi yang menurut Andi Arief mampu menenteramkan dahaga logistik partai.

Pilpres 2019 memang mengulang lagu lama. Dua petarung kembali maju ke medan laga, tetapi bukan bersama pasangan terbaik yang bisa menjadi kunci elektoral memenangi pilpres. Terpilihnya Ma’ruf yang berusia senja membuat Jokowi harus bekerja ekstra-keras mendekati pemilih muda yang proporsinya mencapai 52 persen dari total pemilih. Sosok Ma’ruf yang berada di pusaran sentral kasus Ahok juga berpotensi membuat basis Jokowi dari kalangan Islam progresif dan minoritas mengalami disilusi. Terpilihnya Sandi yang bukan rekomendasi ulama juga berpotensi dipelintir bahwa Prabowo mengabaikan ulama yang selama ini menjadi basis pendukungnya. Politik memang tak mudah. Yang ideal dalam politik cuma ada di teks-teks bangku kuliah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar