Tanding
Ulang Dua Jagoan
Burhanuddin Muhtadi ; Pengajar Ilmu Politik FISIP UIN
Syarif Hidayatullah; Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia
|
KOMPAS,
14 Agustus
2018
Teka-teki pasangan calon presiden
dan wakil presiden yang berlaga di 2019 akhirnya terjawab. Yang mengejutkan
publik bukan Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang kembali bertarung,
melainkan pilihan pendamping mereka yang kontroversial dan dramatis.
Nama Mahfud MD yang sempat menguat
sebagai calon wakil presiden (cawapres) Jokowi tergeser di detik-detik akhir.
Tarik-menarik kekuatan di kubu Prabowo dalam memperebutkan cawapres juga tak
kalah seru. Sandiaga Uno akhirnya disepakati setelah menggeser nama Agus
Harimurti Yudhoyono (AHY) yang sebelumnya digadang-gadang berpasangan dengan
Prabowo.
Kompromi
elite
Di atas kertas, figur Mahfud dan
AHY sebenarnya pilihan paling tepat bagi Jokowi dan Prabowo. Mahfud,
misalnya, memiliki keunggulan komparatif, setidaknya pada tiga hal. Pertama,
Mahfud adalah sosok yang secara elektoral berpotensi menyumbang suara bagi
Jokowi. Dalam survei nasional Indikator, Juli 2018, Mahfud menempati ranking
pertama yang dinilai publik paling pantas mendampingi Jokowi. Jokowi jelas membutuhkan
figur cawapres yang mampu mencuri dukungan di basis-basis lawan.
Menurut survei Indikator, Mahfud
lebih kuat daya penetrasinya dalam merebut kantong-kantong Prabowo ketimbang
Ma’ruf Amin. Pemilih Prabowo dan pendukung Gerakan 212 jauh lebih banyak yang
menilai Mahfud sebagai sosok paling tepat cawapres Jokowi dibanding Ma’ruf.
Kedua, Mahfud MD bukan hanya
memiliki latar belakang santri, melainkan juga punya keunggulan teknokratik.
Ia punya branding yang lengkap: memiliki Islamic credentials yang bisa
diterima semua kalangan dan narasi keunggulan teknokratik. Menurut survei
Indikator terhadap 451 pemuka opini di 30 kota di seluruh Indonesia, kualitas
ketokohan Mahfud menempati peringkat paling tinggi dibandingkan belasan nama
lainnya.
Kualitas personal ini diukur dari
gabungan lima dimensi: kompetensi, integritas, keterandalan, karisma, dan
pribadi (Miller, Wattenberg &
Malanchuk, 1986).
Nilai jual Mahfud yang terakhir
adalah dia berintegritas tinggi dan dianggap mampu menambal kekurangan pemerintahan
Jokowi di periode pertama, terutama dalam hal komitmen penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi.
Namun, keunggulan komparatif
Mahfud tersapu oleh penolakan elite partai dengan berbagai macam dalih.
Mengingat usianya yang tidak terlalu tua, Mahfud dinilai sebagai sinyal
ancaman bagi elite di pemilu mendatang. Pencalonan Mahfud sebagai wakil
presiden dapat membuka jalan baginya untuk maju sebagai presiden dalam Pemilu
2024, sesuatu yang ingin dihindari oleh beberapa parpol.
Banyak elite partai koalisi Jokowi
yang ingin lapangan permainan rata di 2024 sehingga Ma’ruf yang sepuh dinilai
bukan pesaing penting meskipun menang di 2019. Selain itu, Mahfud juga
dinilai mengganggu status quo partai tempat Mahfud dulu berkiprah.
Dengan demikian, terpilihnya Ma’ruf
sebagai cawapres harus dibaca sebagai kompromi elite partai koalisi Jokowi.
Posisi Jokowi memang serba dilematis. Jika Ma’ruf diabaikan, soliditas
koalisi terganggu, bahkan rentan memunculkan poros ketiga. Ancaman dari
sebagian partai koalisi yang akan keluar jika Jokowi memaksakan Mahfud makin
membuat posisi Jokowi terdesak.
Jika terbentuk poros ketiga,
secara matematika sederhana, sulit bagi Jokowi memenangi pilpres dalam satu
putaran mengingat syarat dukungan 50 persen plus 1 akan berat terlampaui jika
ada tiga pasangan. Apalagi elektabilitas Jokowi juga tak terlalu tinggi.
Memori Pilkada DKI Jakarta di mana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terpental di
putaran kedua membuat Jokowi tak punya pilihan lain kecuali menerima Ma’ruf
sebagai jalan tengah.
Ma’ruf tentu bukannya tanpa nilai
tambah. Munculnya nama beliau membuat lawan-lawan politik Jokowi berpikir
seribu kali untuk menggunakan politik identitas. Saya tak ingin mengatakan
bahwa potensi SARA akan hilang sama sekali dalam pertarungan Pilpres 2019,
tetapi setidaknya dosis penggunaan isu-isu abad pertengahan mungkin tak akan
sekencang sebagaimana terjadi di Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017.
Sosok Ma’ruf sebagai ketua Majelis
Ulama Indonesia sekaligus Rais Aam PBNU membuat siapa pun lawan Jokowi segan
membombardir Jokowi dengan isu anti-Islam, anti-ulama, dan sejenisnya. Ma’ruf
jadi benteng simbolik dalam menangkal isu-isu abad pertengahan. Ketika
politik identitas mereda, elite dan publik akan dipaksa masuk dalam
perdebatan- perdebatan programatik, substantif, dan bermutu. Justru di
sinilah tantangannya. Ma’ruf juga harus diuji kompetensi dan kapasitasnya
dalam menjawab tantangan ekonomi global, ketimpangan sosial, dan isu-isu
teknokratik lainnya.
Komoditas
koalisi
Drama pemilihan Sandi sebagai
cawapres Prabowo juga tak kalah kontroversial dan bising. Sebelum penetapan
Sandi sebagai cawapres, Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief menyerang ke
segala penjuru mata angin dengan menyebut Prabowo sebagai ”jenderal kardus”
yang tunduk pada kekuatan logistik ketimbang logika. Ia juga menuding PAN dan
PKS masing-masing telah menerima Rp 500 miliar sebagai kompensasi mendukung
Sandi. Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono menyerang balik dengan
menyebut Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ”jenderal kardus yang
sebenarnya” karena banyak kader SBY yang tersangkut kasus-kasus korupsi yang
uangnya disimpan dalam kardus.
Ingar-bingar koalisi ini bisa
dijelaskan dalam kerangka komoditas koalisi yang dipertukarkan antarpartai sebelum menjatuhkan pilihan ke
Jokowi atau Prabowo. Konstitusi kita jelas menyebut nominasi capres dan
cawapres harus melalui kendaraan partai politik. UU Nomor 7 Tahun 2017
kemudian menetapkan ambang batas pencalonan 20 persen kursi DPR atau 25
persen suara sah nasional. Posisi tawar partai otomatis naik karena siapa pun
tak bisa maju pilpres tanpa restu partai, dan tiket partai ini pun takkan
”dijual gratis”.
Ada tiga insentif koalisi yang
dikejar partai yang menjelaskan pilihan ke Jokowi atau Prabowo. Pertama, efek
ekor jas (coattail effect) atau down-ballot effect. Dalam pemilu presiden dan
pemilu legislatif secara serentak, ada asumsi yang dipercaya luas adalah
suara partai ditentukan oleh paket capres-cawapres yang didukungnya.
Masalahnya, figur Jokowi ataupun Prabowo telanjur kuat asosiasinya ke partai
masing-masing. Jika kepuasan publik terhadap Jokowi naik, elektabilitas
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ikut terangkat, terlepas dari kenyataan
bahwa partai pendukung pemerintah bukan hanya PDI-P. Sebaliknya, jika approval
rating Jokowi menurun, popularitas Prabowo naik dan berkah elektoralnya
dimonopoli Gerindra, padahal partai oposisi bukan hanya Gerindra.
Oleh karena itu, partai-partai
lain berupaya mendorong tokohnya sebagai cawapres Jokowi atau Prabowo. Jokowi
yang didukung enam partai lama dan tiga partai baru mau tak mau
memprioritaskan nama dari kalangan non-partai untuk menghindari kecemburuan
internal partainya.
Lantas insentif koalisi apa yang
menjadi daya tarik utama bergabung dengan Jokowi? Pembagian kekuasaan (power
sharing) di kabinet. Ini dimungkinkan karena semua survei-survei yang
kredibel masih menempatkan Jokowi sebagai pilihan favorit sehingga
memungkinkan partai-partai pendukungnya mendapat insentif setelah menang. Di
sinilah letak kepelikan yang dihadapi Prabowo. Survei-survei masih
menempatkan Prabowo di bawah Jokowi sehingga tawaran power sharing dianggap
masih terlalu jauh dan tidak konkret. Karena itu, Demokrat, PKS, dan PAN yang
mendukungnya bersikeras memaksakan tokoh-tokohnya agar dipinang sebagai
pendamping Prabowo.
Sebenarnya dibandingkan nama-nama
lain yang disebut sebagai bakal cawapres Prabowo, AHY adalah pilihan paling
rasional. Pertama, AHY berpotensi menambah pangsa pasar elektoral bagi
Prabowo. Prabowo sendiri sudah lekat dengan atribusi Islam sehingga nama
Ketua Dewan Majelis Syura PKS Salim Segaf Al’Jufrie atau Ketua Umum PAN
Zulkifli Hasan nilai tambah elektoralnya tak signifikan bagi Prabowo. Kedua,
AHY dipersepsikan punya kekuatan logistik sehingga mampu memenuhi kebutuhan
kampanye dan mengompensasi ke partai lain yang elitenya tak terpilih sebagai
cawapres. Ketiga, bagaimanapun AHY berasal dari trah SBY yang terbukti menang
dua kali sejak rezim pilpres dilaksanakan pada 2004.
Ternyata negosiasi di belakang
layar tak semudah hitung-hitungan di atas kertas. Nama AHY tak muncul sebagai
cawapres yang direkomendasikan ijtima ulama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa
(GNPF). Isu logistik juga dianggap tak sebesar yang dibayangkan. Jika Prabowo
bersikukuh mendaulat AHY, ia berpotensi kehilangan PKS dan PAN. Jika kedua
partai Islam ini hengkang, Prabowo akan kehilangan legitimasi ”Islam” yang
selama ini ia sandang. Akhirnya Sandi datang sebagai penyelamat kebuntuan.
Latar belakangnya sebagai orang Gerindra membuat PAN dan PKS masih yakin mendapat
berkah elektoral mendukung Prabowo. Lain jika AHY yang maju jadi cawapres;
efek ekor jas akan dimonopoli Gerindra dan Demokrat. Belum lagi isu kardus
yang dibawa Sandi yang menurut Andi Arief mampu menenteramkan dahaga logistik
partai.
Pilpres 2019 memang mengulang lagu
lama. Dua petarung kembali maju ke medan laga, tetapi bukan bersama pasangan
terbaik yang bisa menjadi kunci elektoral memenangi pilpres. Terpilihnya
Ma’ruf yang berusia senja membuat Jokowi harus bekerja ekstra-keras mendekati
pemilih muda yang proporsinya mencapai 52 persen dari total pemilih. Sosok
Ma’ruf yang berada di pusaran sentral kasus Ahok juga berpotensi membuat
basis Jokowi dari kalangan Islam progresif dan minoritas mengalami disilusi.
Terpilihnya Sandi yang bukan rekomendasi ulama juga berpotensi dipelintir
bahwa Prabowo mengabaikan ulama yang selama ini menjadi basis pendukungnya.
Politik memang tak mudah. Yang ideal dalam politik cuma ada di teks-teks
bangku kuliah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar