Maklumat
Kebijakan Ekonomi
Ahmad Erani Yustika ; Staf Khusus Presiden RI;
Guru Besar FEB Universitas
Brawijaya
|
KOMPAS,
25 Agustus
2018
Proklamasi Kemerdekaan
adalah deklarasi politik dan hajat ekonomi adalah ikrar di dalam tubuh
konstitusi. Usia proklamasi saat ini mencapai 73 tahun dan arah pembangunan
ekonomi telah dirumuskan. Demikian pula aneka kebijakan ekonomi diproduksi
untuk mencapai tujuan tersebut.
Menjelang empat tahun usia
pemerintahan ini (2014-2019), capaian-capaian ekonomi itu sebagian besar
sudah bisa dilihat dan dievaluasi. Secara umum, sekurangnya terdapat lima
maklumat kebijakan ekonomi yang disasar oleh pemerintah dan dikerjakan dengan
baik. Pertama, menjaga stabilitas makroekonomi untuk memperbaiki kualitas
pembangunan (kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan).
Kedua, mengarusutamakan
agenda keadilan ekonomi yang selama ini rumit untuk dieksekusi. Ketiga, mempersiapkan dasar-dasar
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Keempat, menyantuni aspirasi
kemandirian ekonomi yang tertunda begitu lama. Kelima, memperkuat tata kelola
pembangunan untuk memastikan efisiensi dan efektivitas dapat dipenuhi.
Mengakhiri
kutukan pertumbuhan
Sejak 2008 situasi ekonomi
global memang tak begitu benderang akibat masalah subprime mortgage di AS dan
kenaikan harga minyak (juga pangan) global. Ekonomi domestik mengalami
perlambatan dan pertumbuhan ekonomi juga terus turun. Pada periode 2011-2015
pertumbuhan ekonomi berturut-turut adalah 6,17%; 6,03%; 5,56%; 5,01%; dan
4,88%.
Situasi yang sama juga
dialami negara lain, termasuk China dan India yang selama ini merupakan
negara dengan tingkat pertumbuhan amat tinggi. Dengan mitigasi kebijakan yang
memadai, pada 2016 terjadi titik balik ketika pertumbuhan ekonomi naik
menjadi 5,03%. Pada tahun itu ”kutukan pertumbuhan ekonomi yang makin
menurun” bisa dihentikan. Berikutnya pada 2017 naik tipis menjadi 5,07% dan
diproyeksikan pada 2018 ini pertumbuhan ekonomi sekitar 5,2%. Pada saat yang
sama inflasi bisa ditekan di bawah 4% selama tiga tahun berturut-turut
(2015-2017), yakni 3,35%; 3,02%; dan 3,61% (Kemenkeu, 2018).
Pertumbuhan ekonomi yang
membaik itu diikuti mutu yang mengesankan karena sejak 2004 untuk pertama
kali pertumbuhan ekonomi yang meningkat diiringi penurunan kemiskinan,
pengangguran, dan ketimpangan sekaligus. Penurunan kemiskinan dan
pengangguran merupakan peristiwa lazim sejak Orde Baru. Secara konsisten
keduanya turun meski dalam beberapa periode diselingi kenaikan karena
turbulensi ekonomi, seperti pada 1997/1998, 2009, dan 2013.
Namun, yang penting adalah
pertumbuhan ekonomi kali ini diiringi dengan pengurangan ketimpangan
pendapatan, yang sejak 2004 terus meningkat. Rasio gini sebagai alat ukur
ketimpangan pendapatan mencatat pada 2013 merupakan puncak ketimpangan
sebesar 0,41. Setelah masa itu ketimpangan terus turun hingga pada 2018
(Maret) menjadi 0,38. Oleh karena itu, agenda aksi keadilan ekonomi sudah
menghasilkan capaian yang bagus dalam tiga tahun terakhir. Klimaksnya,
situasi ini diperoleh bersamaan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dan
penyelesaian tiga problem utama ekonomi tersebut memiliki prospek jangka
panjang. Sebab, pemerintah pada masa sekarang juga membangun infrastruktur
secara masif (jalan tol, bandara, pelabuhan, rel kereta api, irigasi,
bendungan, embung, listrik, dan lain sebagainya). Infrastruktur memiliki
elastisitas tertinggi sebagai pengungkit investasi, yang pada gilirannya akan
menyokong pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan infrastruktur
saat ini memiliki efek sampai 25-30 tahun ke depan. Jadi, sampai periode
itulah pertumbuhan dapat disangga sehingga bisa dikatakan pemerintah tak
hanya berpikir dalam jangka pendek/menengah, tetapi juga memikirkan kepentingan
jangka panjang. Ini bakal menjadi standar kerja suatu pemerintahan. Di luar
itu, pembangunan infrastruktur dikerjakan secara eksesif pula di wilayah
Indonesia bagian timur dan perdesaan. Implikasinya, infrastruktur tidak cuma
menafkahi kebutuhan pertumbuhan, tetapi juga menyantuni mandat pemerataan
(keadilan ekonomi).
Mendaki
kemandirian ekonomi
Isu kemandirian merupakan
topik abadi di negeri ini sejak puluhan tahun silam. Sisi yang kerap dikulik
biasanya dilihat dari ketergantungan APBN terhadap utang, sumber daya alam
(SDA) yang dikuasai oleh asing, dan kebutuhan produksi yang dicukupi oleh
impor (khususnya pangan). Saya kira isu tersebut memang realistis disuarakan
dan menjadi kritik terhadap pemerintah selama ini. Sejak dekade 1980-an pun
Indonesia sudah terjebak dalam situasi debt trap, di mana utang baru yang
diperoleh lebih kecil ketimbang cicilan pokok dan bunga utang luar negeri.
Demikian pula defisit
keseimbangan primer (DKP) selalu terjadi pascakrisis ekonomi 1997/1998.
Datanya hari ini, DKP itu masih terjadi, tetapi dalam skema penurunan yang
terencana. Pada 2015 DKP mencapai Rp 142 triliun, pada 2016 sebesar Rp 125
triliun, dan pada 2017 sebanyak Rp 124 triliun. Pada 2018 ini diperkirakan
DKP di kisaran Rp 60 triliun. Pada RAPBN 2019 diproyeksikan DKP itu sudah tak
ada atau sekurangnya di bawah Rp 20 triliun. Artinya, seluruh belanja (di
luar pembayaran utang) sudah bisa dicukupi dari penerimaan domestik.
Pendakian kemandirian fiskal sedang berjalan.
Sementara itu, dalam isu
pangan sebagian komoditas utama memang belum sepenuhnya bisa mencukupi
ketahanan pangan nasional sehingga dalam jumlah terbatas masih dilakukan
impor. Impor tersebut sebagian untuk kepentingan berjaga-jaga. Itu sebabnya
Indeks Ketahanan Pangan mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pada
periode 2014-2017 berturut-turut angkanya 47,0; 48,3; 51,1; dan 51,3. Indeks
keterjangkauan, ketersediaan, serta kualitas dan keamanan pangan juga terus
meningkat tiap tahun (The Economic Intelligence, 2017). Hal yang sama juga bisa dilihat dari
komitmen pemerintah untuk menguasai pengelolaan SDA sesuai mandat Pasal 33
UUD 1945. Pada Juli 2018, pemerintah menguasai 51% saham PT Freeport
Indonesia dan Pertamina berhasil
mengambil alih Chevron untuk eksplorasi Blok Rokan yang menguasai sekitar 26%
dari total produksi minyak domestik. Dengan konfigurasi sekarang hampir 50%
produksi minyak domestik sudah dikuasai oleh BUMN.
Pencapaian itu semua tentu
ditopang oleh tata kelola pembangunan yang makin mapan. Pada aras tertinggi,
pembangunan dijalankan dengan fokus yang jelas, yakni memastikan ekonomi
makin sehat, adil, dan mandiri. Aneka kebijakan dan program diproduksi untuk
menjamin agenda besar itu bisa dieksekusi. Berikutnya alokasi belanja
membangun keseimbangan antara pembangunan manusia dan fisik. Pertama kalinya
sejak 2015 APBN mengaloksikan anggaran kesehatan sekurangnya 5% (sesuai
perintah UU No 36/2009). Pada tahun-tahun sebelumnya APBN pernah digugat ke
Mahkamah Konstitusi karena mengalokasikan anggaran kesehatan di bawah 3% dan
dianggap menabrak ketentuan UU Kesehatan.
Komitmen penyelenggara negara (K/L) juga makin bagus, di mana sebagian
bisa dilihat dari hasil audit BPK yang menunjukkan jumlah K/L memperoleh
predikat WTP kian meningkat. Hal sama juga dilakukan pemerintah daerah yang
mengikuti jejak penerapan tata kelola pembangunan yang solid.
Pendalaman
reformasi struktural
Di luar hal di atas masih
banyak urusan lain yang mesti dipanggul pemerintah. Data mengabarkan neraca
perdagangan, neraca transaksi berjalan, dan neraca pembayaran sebagian besar
defisit sebelum 2014. Neraca perdagangan defisit 2012-2014, neraca pembayaran
defisit 2013 (7,32 miliar dollar AS), dan neraca transaksi berjalan selalu
defisit.
Sampai 2017 neraca
transaksi berjalan tetap defisit (17,53 miliar dollar AS), tetapi sudah jauh
menurun dibandingkan pada 2014 (27,51 miliar dollar AS). Neraca pembayaran
pada 2017 surplus 11,59 miliar dollar AS) dan neraca perdagangan kinerjanya
paling cemerlang karena sejak 2015 sudah surplus hingga 2017, masing-masing
7,67 miliar dollar AS; 8,78 miliar dollar AS; dan 11,84 miliar dollar AS [BI,
2018].
Pada semester I-2018
neraca perdagangan memang masih defisit, tetapi proyeksi sampai akhir tahun
tetap surplus (meski tak akan sebesar 2017). Deskripsi ini menunjukkan bahwa
manajemen ekspor-impor kian bagus, juga arus modal yang terkelola sehingga
wajah neraca pembayaran tak lagi redup.
Tentu saja masih ada hal
lain yang harus diurus dengan serius. Kritik terkait kesanggupan anggaran
negara untuk menopang pembangunan infrastruktur, upah buruh petani yang perlu
ditingkatkan, jumlah tenaga kerja di sektor informal yang mendesak
diturunkan, penguatan investasi bagi pelaku domestik dan UMKM, nilai tukar
yang stabil, diversifikasi produk ekspor, dan beberapa isu lainnya merupakan
pekerjaan rumah yang harus dikawal untuk menggaransi keseluruhan perkara
tertangani dengan layak.
Secara garis besar agenda
ke depan yang mesti dibela adalah penguatan basis produksi dan pendalaman
reformasi struktural untuk mempermulus transisi ekonomi dari semula bertumpu
pada komoditas primer menuju ke produk sekunder dan jasa sehingga nilai
tambah menjadi lebih besar. Ikhtiar ini tentu harus sinambung dengan strategi
pembiayaan (sektor keuangan), penyediaan tenaga kerja terampil, infrastruktur
logistik, inovasi berkelanjutan, dan penyiapan pasar (domestik ataupun
internasional).
Di luar itu program-program papan atas
pemerintah akan terus dijalankan dengan memperhatikan lanskap perubahan
ekonomi global, kebutuhan domestik, dan kecakapan pengelolaan pembangunan.
Industri kreatif dan era digital telah disambut dengan aneka program dan
ruang sehingga kini banyak pelaku ekonomi yang terwadahi dalam ekosistem
ekonomi dunia yang telah berubah. Kebutuhan domestik untuk merawat seluruh
wilayah dan warga negara tanpa terkecuali menjadi pertempuran yang harus
dimenangkan.
Oleh sebab itu, kebijakan
pembangunan infrastruktur di wilayah IBT, dana desa, KUR (kredit usaha
rakyat), RAPS (reforma agraria dan perhutanan sosial), dan banyak lagi terus
dipertajam agar mimpi keadilan ekonomi bisa diwujudkan pada setiap rumah
warga. Pengelolaan pembangunan diperlancip agar fokus kepada program
prioritas dan efektivitas eksekusi (program tak boleh mangkrak). Intinya,
sebagian kecil tampakan ekonomi memang belum purnama, tetapi menyatakan
seluruhnya gerhana tentu bukan ucapan yang layak dicerna.
Proklamasi wajib dibela,
Indonesia mesti dijaga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar