Kompetisi
Parpol yang Terlupakan
Yunarto Wijaya ; Direktur Eksekutif Charta Politika
Indonesia
|
KOMPAS,
23 Agustus
2018
Pemilihan umum presiden
dan anggota legislatif yang dilaksanakan secara serentak pada 2019 mendatang
akan menjadi tantangan baru bagi partai politik.
Mereka akan menghadapi
situasi harus bersaing dan sekaligus harus bekerja sama dengan kompetitornya.
Dalam konteks pemilihan presiden (pilpres), parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf
Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno normanya akan bahu-membahu mengomunikasikan
kandidatnya masing-masing. Tidak itu saja, parpol normanya juga bertindak
secara cermat agar tidak melakukan blunder yang bisa merugikan kandidat
mereka, termasuk di dalamnya menahan diri untuk tidak saling menyerang parpol
sekoalisi.
Masalahnya, logika pileg
justru mensyaratkan parpol harus bersaing satu sama lain untuk meyakinkan
basis pemilihnya, memengaruhi pemilih yang belum memutuskan pilihan, ataupun
merebut pemilih kompetitornya. Literatur politik menyatakan, ada beberapa
pendekatan yang kerap dipergunakan parpol untuk memersuasi pemilih. Dari
mulai memainkan kedekatan sosiologis (agama, etnisitas, umur, kelas) hingga
mengapungkan isu kebijakan, dari mulai menonjolkan daya tarik partai sebagai
organisasi hingga mengedepankan pesona figur. Lebih daripada itu, kerja sama
dalam ranah pilpres di atas kertas tak menghasilkan manfaat elektoral yang
berimbang dalam konteks pileg. PDI Perjuangan (PDI-P) dan terutama Gerindra
diprediksi akan menikmati efek ekor jas (coattail effect) yang besar karena
kader mereka menjadi capres atau cawapres. Sosok Ma’ruf Amin mungkin sekali
bisa mengalirkan tambahan elektoral bagi PKB atau juga bahkan PPP.
Biaya
berkoalisi
Parpol bersedia berhimpun
dalam sebuah koalisi pengusung capres-cawapres sekurangnya dilandasi motif
mendapatkan portofolio dalam kabinet (office-seeking) atau kesempatan
memengaruhi kebijakan publik (policy-seeking). Tiap parpol punya orientasi
berbeda-beda, ada yang lebih mengedepankan motif pertama, ada pula yang lebih
mengutamakan motif kedua.
Pengutamaan satu dari dua
motif ini mengandaikan parpol harus berkompromi dalam konteks pilihan
kebijakan (karena harus disesuaikan visi-misi capres-cawapres) dan logisnya
tak saling menyingkap kelemahan, kebobrokan, atau perbedaan preferensi sebuah
kebijakan. Jika yang pertama berpotensi menjauhkan parpol dengan preferensi
basis pemilihnya, yang terakhir berpotensi membuat parpol kian sulit
dibedakan dalam upayanya membangun posisi unik di benak pemilih.
Singkatnya, parpol tak
dapat optimal mengejar motif meraih suara sebanyak-banyaknya di pileg
(vote-seeking). Dengan melihat komposisi kandidat yang berkontestasi
(Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi), sebagian besar parpol sepertinya lebih
mengejar motif office-seeking alih-alih vote-seeking ataupun policy-seeking.
Lagi pula, seperti diingatkan Strom dan Muller (1999), parpol memang jarang
punya kesempatan mendapatkan hasil optimum dari ketiga motif karena sifatnya
yang cenderung trade-off.
Pilihan orientasi itu
tentu saja ada konsekuensinya. Parpol yang perolehan suaranya kecil (baik
menang maupun kalah dalam konteks pilpres) akan menderita. Daya tawar
politiknya menjadi rendah dan pada saat sama harus mengorbankan kepentingan
jangka panjangnya, yakni kemampuan berkontestasi dalam pemilu berikutnya.
Secara keseluruhan, dapat dikatakan ada biaya politik yang harus ditanggung
parpol karena berhimpun dalam koalisi. Biaya politik ini tidak sama besarnya
bagi setiap parpol. Sederhananya, semakin jauh spektrum figur dan janji
politik capres-cawapres dengan preferensi basis pemilihnya, semakin besar
biaya yang harus ditanggungnya.
Manuver
berkontestasi
Biaya berkoalisi mungkin
tak bisa dihindari, tetapi parpol masih mungkin bermanuver agar kepentingan
elektoralnya tetap terjaga. Kunci manuvernya terletak pada kemampuan
memadukan kerja sama dan kompetisi sekurangnya pada tiga elemen persaingan
utama: figur, isu-kebijakan, kelompok sosial. Kontestasi figur terfokus pada
capres dan cawapres. Kompetensi, rekam jejak, dan personalitas calon akan
jadi konten utama untuk memikat pemilih. Namun, tak selamanya atribut ini
jadi acuan pemilih. Terkadang pemilih memilih kandidat yang punya kesamaan
sosio-demografis, ideologi, atau identifikasi partisan lainnya dengan dirinya
(Marland, 2013).
Ruang manuver sebagian
besar parpol adalah memainkan faktor kedua karena faktor pertama jelas
dinikmati Gerindra dan PDI-P. Penyematan atribut Sandiaga sebagai
representasi santri post-Islamis, misalnya, dapat dibaca sebagai upaya PKS
merangkul pemilih Muslim yang merasa tak (lagi) menjadi bagian ormas Islam
yang mengakar seperti NU dan Muhammadiyah. Di lain pihak, figur Ma’ruf akan
diperebutkan PKB atau PPP untuk mengonsolidasikan basis pemilihnya di kalangan
nadhliyin. Ruang manuver lain untuk mengompensasi efek ekor jas adalah dengan
mengasongkan figur-figur yang merepresentasikan parpol. Yang sudah biasa
adalah mengedepankan figur ketua umum yang sudah dilakukan PKB, PPP, atau
Perindo. Rute lain, mengasongkan figur baru seperti dilakukan Demokrat dengan
Agus Harimurti Yudhoyono yang menyasar segmen pemilih muda.
Bagi parpol yang belum
menyiapkan figur tambahan sebagai penguat daya tarik di mata pemilih,
strategi generiknya adalah menerapkan jurus meniru dan menambahkan atribut
unggulan lain (me too +1) baik menyasar pada pangsa pemilih yang sama atau
mengkhususkan diri pada ceruk pemilih tertentu. Apa pun pilihannya, figur itu
harus diasosiasikan sebagai ”the next leader”. Bingkai inilah yang akan menjadi
pengatrol utama dan sekaligus membedakan dengan para pengumpul suara biasa
(vote getter). Pilihan figur yang diapungkan harus dipertimbangkan dengan
saksama. Pasalnya, ia akan berperan pula sebagai jangkar dalam memajukan
janji-janji politik dan juga kelompok sosial yang hendak diasosiasikan.
Koherensi ketiganya penting untuk membangun persepsi kredibilitas.
Isu kebijakan yang diusung
capres dan cawapres normanya merupakan hasil negosiasi dan kompromi kandidat
dengan parpol pengusung. Dalam konteks pilpres, parpol terikat untuk
mengampanyekannya secara sendiri-sendiri atau bersama. Namun, dalam konteks
pileg, parpol dapat bermanuver dengan melakukan adaptasi, yakni menggunakan
isu kebijakan capres-cawapres sebagai konten kampanye, tetapi menambahkan dimensi
lain untuk menguatkannya, membuatnya unik, dan disukai target pemilihnya.
Pilihan lain sebagai pelengkap, parpol bisa menerapkan strategi konfrontasi
atau mengabaikannya agar tak menjadi agenda publik.
Sebagai ilustrasi awal,
gagasan ekonomi berbasis umat yang
dilontarkan Ma’ruf, dapat diadaptasi parpol pengusung dengan memberikan
penonjolan program konkret berbasis sektoral atau berbasis spasial, misalnya.
PPP dan PKB jelas memiliki kredibilitas lebih tinggi karena diasosiasikan
publik sebagai parpol Islam dibanding parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf lainnya.
Meski begitu, ini juga dapat jadi kesempatan baru bagi parpol nasionalis
seperti PDI-P, Nasdem, atau bahkan PSI untuk menggeser citranya sehingga
dianggap lebih dekat dengan kalangan pemilih Islam. Kuncinya terletak pada
kepiawaian menyorongkan program politik yang mengena, tapi tak menghilangkan
karakteristik khas masing-masing.
Sebaliknya, bagi parpol
koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga seperti Gerindra atau Demokrat, gagasan
ekonomi berbasis umat itu dapat dibenturkan dengan gagasan yang berbeda,
misalnya dengan gagasan ekonomi kerakyatan, ekonomi Pancasila, ekonomi pasar,
atau lainnya. Untuk PKS dan PAN, misalnya, strateginya adalah menyingkap
kelemahan ekonomi umat versi Ma’ruf dan menawarkan versinya sendiri. Jika ini
yang dilakukan, tak terhindarkan PKS dan PAN akan berebut sebagai parpol yang
paling kredibel berbicara tentang gagasan tersebut.
Umumnya, parpol cenderung
akan memilih isu kebijakan yang dirasakannya punya reputasi baik di benak
pemilih (issue ownership) dan isu
kebijakan inilah yang akan ia tonjolkan selama kampanye. Masalahnya, efek
kepemilikan isu ini akan ternetralisasi jika pemilih menganggapnya sebagai
isu kebijakan yang tak penting (Belanger dan Meguid, 2005). Dengan kata lain,
kepemilikan isu saja tak cukup untuk mendongkrak suara dalam pemilu. Untuk
mengatasi hal ini, parpol harus saling berkontestasi membangun konteks yang
relevan agar isu kebijakan mereka dianggap penting oleh pemilih.
Ruang kontestasi di ranah
ini relatif lebar karena parpol umumnya tak punya kepemilikan isu yang kuat.
Jikapun ada, seperti dalam kasus PKS dengan solidaritas terhadap
Palestina-nya, belum tentu dinilai relevan dalam konteks pileg.
Ruang manuver lain adalah
kemauan untuk keluar dari isu kebijakan yang sudah generik dan terkadang
berhenti sebagai jargon belaka. Tema-tema seperti utang luar negeri, impor
pangan, subsidi energi, ataupun pemberantasan korupsi masuk dalam kategori
ini. Sebaliknya, parpol dapat menonjolkan isu-isu keseharian, seperti
pendanaan BPJS, penerimaan siswa baru, transportasi daring, dan sekaligus
menjadikannya isu yang melekat pada dirinya. Parpol pengusung
Prabowo-Sandiaga lebih memiliki peluang mengeksplorasi ini karena sekaligus
bisa mengkritisi kinerja pemerintahan petahana. Sebaliknya, parpol pengusung
Jokowi-Ma’ruf harus mencari jalan untuk menunjukkan komitmennya pada isu-isu
itu dan atau menawarkan solusi baru.
Manuver kontestasi lainnya
bersifat lebih agresif, yakni menyingkap wajah ganda parpol. Wajah terbuka
parpol adalah apa yang tertuang dalam visi-misi dan program. Wajah lain
adalah apa yang disepakati elite parpol dengan aktivis internal parpol
bersangkutan (Hammel dkk, 2005). Lebih daripada itu, wajah ganda ini tak saja
bisa disingkap dari manifesto parpol, tetapi juga antara pernyataan publik
dan keputusan internalnya. Pengabaian hasil ijtima ulama soal cawapres
Prabowo merupakan contoh bagaimana strategi ini dimainkan. Untuk itu, parpol
pengusung Jokowi-Ma’ruf memang perlu bekerja lebih cerdik, tetapi tetap dalam
koridor hukum yang ada.
Ketertautan parpol dengan
kelompok sosial tetap relevan dalam menjungkit tingkat elektoral parpol meski
harus diakui pengaruhnya tak setinggi sebelumnya karena termediasi faktor
figur. Selain tetap mengelaborasi kelompok sosial yang jadi basis pemilih
tradisional, parpol dapat mengkreasi dan atau menonjolkan kelompok sosial
baru sebagai basis baru. Di Inggris, Partai Konservatif dan Buruh selain
konstituen tradisional, juga berupaya menarik kelompok sosial baru, seperti keluarga
dan orangtua (Thau, 2017).
Antisipasi
Apapun pilihan manuver
kontestasinya, parpol perlu mempertimbangkan dua hal ini. Pertama,
kecenderungan perilaku pemilih melakukan split ticket voting. Pada tingkat
pertama, split ticket voting terjadi ketika pemilih memilih partai A untuk
DPR, tetapi parpol B atau C untuk DPRD. Pada tingkat kedua, split ticket
voting terjadi karena mereka memilih pasangan capres-cawapres yang tak
diusung parpol yang dipilihnya untuk pileg.
Kedua, agenda laten sesama
parpol pengusung. Normanya, apapun pilihan bersaing yang akan dipilih,
niscaya harus memperhatikan agenda utama koalisi: memenangkan pasangan
capres-cawapres yang diusung. Meski demikian, norma ini dapat dilanggar jika
agenda utama sebuah parpol jauh lebih besar dari itu: membesarkan dirinya
dengan memanfaatkan momentum pilpres. Mereka tak sungkan menyerang kawan
seiring jika itu dianggap sepadan dengan manfaat elektoral yang bisa diraih.
Bagi parpol jenis ini, memenangi pilpres hanyalah bonus. Ini berlaku terutama
pada parpol yang tak menempatkan kadernya sebagai capres/cawapres atau merasa
benefit posisi publik yang ditawarkan kelak tak cukup memadai untuk
tujuan-tujuan mereka.
Selamat berkompetisi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar