Dapur
”Masterchefs” Politik
Alissa Wahid ; Aktivis dalam Bidang Sosial dan
Keagamaan
|
KOMPAS,
19 Agustus
2018
Acara masak-memasak
termasuk acara televisi yang saya suka tonton apabila ada waktu luang.
Walaupun tidak menjadi lebih pintar setelah menontonnya, saya menikmati
bagaimana masterchefs mengolah
bahan mentah menjadi sebentuk makanan siap santap. Dulu saya tidak tahu
bagaimana memasak lasagna atau sop konro, sekarang saya sedikitnya mengerti.
Bayangan dapur masterchefs seketika
muncul di kepala setelah menyaksikan drama-drama politik Indonesia hampir dua
minggu terakhir ini. Fakta-fakta yang dulu tidak bisa diketahui oleh
masyarakat umum dan hanya tersirkulasi sebagai gosip politik mendadak menjadi
informasi yang beredar luas dan tak dapat dikendalikan persebarannya. Hal-hal
yang dulu hanya samar-samar atau abu-abu sekarang makin terang benderang
terlihat oleh mata awam.
Mata awam masyarakat pun
membelalak menyaksikan sepak terjang politisi-politisi yang mempertontonkan
betapa karut-marut perebutan kekuasaan serta bagaimana sebuah keputusan
politik dibuat. Sebagian publik menonton penuh kemarahan, sebagian penuh
cibiran, dan sebagian penuh dengan rasa cemas akan masa depan. Sebagian
lainnya mencernanya sebagai keniscayaan, sebagaimana ujar Machiavelli: politics have no relation to morals,
politik tidak ada hubungannya dengan moral.
Sandera-menyandera
kepentingan, saling tikam dari belakang, transaksi politik tanpa janji pasti,
pengingkaran gentlemen’s
agreement, segalanya terjadi semacam plot sinetron di televisi.
Masyarakat pun menyaksikan dengan gamblang: jangankan bicara nasib rakyat,
atau ide-strategi program pembangunan, bayangan masa depan bangsa pun tak
diindahkan. Hanya satu saja yang diperebutkan oleh para politisi: tiket
menuju kue kekuasaan.
Tak sampai satu dasawarsa
lalu, realitas politisi dan realitas publik adalah dua sphere (ruang)
yang berbeda. Saat mereka sedang berada di balik layar, perkataan dan
perbuatan yang muncul dari para politisi sering sekali berbeda dengan yang
mereka tampilkan di panggung publik. Bagi para politisi, ini hal lumrah.
Mereka menganggap ini sebagai realitas politik, semacam urusan dapur yang
tidak layak dibawa ke ruang tamu, apalagi dibawa ke jalan raya di depan rumah
di mana banyak warga berkerumun.
Ini membuat di masa lalu
politisi tak pernah bisa dituntut integritasnya. Publik tak punya akses pada
dapur para politisi, tidak pernah mengerti bahan mentah apa dan bagaimana
mengolahnya sebelum disajikan dalam bentuk makanan siap santap. Publik tidak
pernah mengerti proses tawar-menawar dengan supplier bahan atau pemodal dapur.
Para politisi tidak terdesak oleh mekanisme pertanggungjawaban langsung, toh
publik tak tahu apakah mereka menggunakan bahan kedaluwarsa atau menggunakan
zat aditif berbahaya yang memunculkan rasa enak.
Akan tetapi, perkembangan
teknologi informasi mengubah itu semua. Apa yang terjadi di balik layar atau
di dapur sekarang bisa disiarkan melebihi ruang fisik yang menjadi konteks.
Pemirsa bisa ikut menyaksikan bahan mentah di dapur diproses dan dimasak,
tidak hanya menunggu dan menerima hasil jadi akhir makanan. Mereka bisa
melihat jika ada bahan yang tidak diolah dengan kaidah yang sesuai. Maka,
mereka kemudian bisa meninggalkan atau menindaklanjutinya dengan langkah
lebih konkret. Apalagi jika salah satu peserta bisa ikut mengabarkan apa yang
terjadi dalam proses masak-memasak tersebut.
Menurut Muel (2014), nilai
moral penting dalam integritas politisi adalah faithfulness (kesetiaan), humility (kerendahan
hati), dan accountability (dapat
mempertanggungjawabkan). Sementara SMR Covey (200) menyebutkan, integritas
terbentuk dari humility, congruence (keselarasan), honesty (kejujuran),
dan courage (keberanian).
Integritas dan itikad menjadi karakter dasar yang menentukan kredibilitas
seseorang, terutama pejabat publik.
Dari semua atribut
tersebut, drama politik Indonesia minggu ini hanya menampilkan bahan berupa
keberanian para politisi dalam berebut bahan membuat kue kekuasaan.
Selainnya, tidak tersedia atau bahannya membusuk. Misalnya, bahan berupa
kesetiaan, atau kongruensi antara ucapan dan tindakan, antara hari ini dan
sikap beberapa hari sebelumnya.
Kita tahu, dalam drama seminggu ini, hal-hal
tersebut sudah menimbulkan bau anyir yang menyengat publik. Dan kita tahu,
gelombang ketidakpuasan pun mulai muncul, yang berujung pada sikap calon
pemilih yang wait and
see. Sikap ini menjadi konsekuensi logis dan langsung atas
perilaku politisi, dan ini menjadi mekanisme insentif yang sehat bagi masa
depan politik Indonesia.
Walaupun berpotensi
menimbulkan problema fake
news dan konten yang tak terkendali, kita harus akui bahwa
teknologi informasi memberikan ruang pendidikan politik kepada warga negara.
Masyarakat dapat mulai memanfaatkannya untuk memantau proses yang terjadi di
dapur masterchefs politik.
Saatnya warga negara Indonesia menuntut politisi untuk akuntabel, mampu
mempertanggungjawabkan tindakannya. Karena tinta mereka menentukan nasib
kita, demikian meminjam istilah akun Twitter @pantauDPR.
Politisi hanya berpikir
sampai pemilihan umum berikutnya, sedangkan negarawan memikirkan generasi
berikutnya. Inilah perbedaan antara politisi dan negarawan, menurut James F
Clarke. Masih bisakah kita berharap dari kedua pasang capres-cawapres untuk
menunjukkan sikap negarawan, bukan sikap politisi? Semoga, agar nasib bangsa
dan rakyat tidak digadaikan hanya untuk siklus lima tahunan. Untuk apa
Politik dan Demokrasi..kalau itu hanya untuk saling serang dan saling tikam
sesama anak negeri berebut kekuasaan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar