Politik
Tikungan Terakhir
“..Kalau demi itu saya harus
bekerja sama dengan setan, saya akan lakukan.”
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
11 Agustus
2018
Politik itu mirip MotoGP. Tikungan
terakhir menentukan hasil akhir. Valentino Rossi dan Marc Marquez sering
membuat kejutan di ”tikungan terakhir”. Di arena MotoGP Belanda di Sirkuit
Assen pada 2015, Rossi bermanuver memotong jalur Marquez dan keluar sebagai
pemenang di podium. Dan, Marquez pun berhasil menyalip Andrea Dovizioso di
tikungan terakhir pada MotoGP Qatar 2018 di Sirkuit Losail, tetapi manuvernya
terlalu melebar sehingga gagal merebut podium.
Kehebohan sepanjang siang-malam
pada Kamis (9/8/2018) memang bukan arena MotoGP, melainkan arena pemilihan
presiden ketika dua kandidat presiden memilih bakal calon wakil presiden yang
menjadi pasangan semusim
2019-2024. Banyak kejutan di luar
prediksi dan ekspektasi banyak pihak. Sinyal ataupun narasi politik yang dikonstruksi
selama ini berbeda dengan hasil akhir. Meskipun nama-nama yang muncul sudah
familier, pilihan akhir dua kandidat presiden itu tetap saja mengejutkan.
Selama ini pertanda yang
dimunculkan sebagai pendamping Joko Widodo berinisial ”M”. Kisi- kisinya
punya pengalaman komplet di pemerin- tahan. Mahfud MD, profesor hukum tata
negara yang anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila,
dinilai paling unggul daripada sosok-sosok lain yang berinisial ”M”. Mahfud
memang komplet: eksekutif (Menteri
Pertahanan serta Menteri Hukum dan Perundang-undangan), legislatif (DPR),
juga yudikatif (Mahkamah Konstitusi).
Gelagat Jokowi kepincut Mahfud pun
semakin jelas. Pada Kamis kemarin bahkan Mahfud sudah mendapat telepon dari
Istana: diminta curriculum vitae dan ukur baju. Mahfud pun menunggu di restoran di
Menteng, mendekati lokasi pengumuman Jokowi. Sangat rasional saat Mahfud
merasa pede. ”Pertama, tentu panggilan sejarah ya, saya kan aktivis juga,
pengin juga ada di medan perjuangan. Kedua, tentu kepercayaan Pak Jokowi
kepada saya. Kalau memilih saya, tentu, kan, percaya kepada saya. Ketiga,
elektabilitas Pak Jokowi untuk menang itu sangat bisa,” kata Mahfud sebelum
pengumuman Jokowi. Kalkulasi politik dan konfirmasi memang jelas Mahfud yang
akan dikeluarkan dari saku Jokowi.
Namun, last minute di tikungan
terakhir terjadi overtake. Mahfud ditolak beberapa partai politik karena
hubungan masa lalu. Tersiar rumor politik bahwa ada parpol yang mengancam
akan hengkang dari koalisi kerja jika tetap Mahfud yang dipilih. Tentu saja
ini posisi sulit bagi Jokowi. Akhirnya Mahfud korban PHP (pemberi harapan
palsu). Sisi positifnya, koalisi ini mampu menjaga harmoni dan soliditas.
Modal politik sembilan parpol tentu kekuatan besar di Pilpres 2019. Sisi negatifnya,
Jokowi terkesan berada dalam tekanan, jika tak ingin disebut akomodatif.
Politik tikungan terakhir juga
terlihat di kubu Prabowo. Selama ini Prabowo juga dapat tekanan dari parpol
anggota koalisi yang ngotot menyodorkan kader masing-masing sebagai bakal
cawapres. Bahkan, pertemuan maraton dengan Susilo Bambang Yudhoyono
memunculkan spekulasi Agus Harimurti Yudhoyono sebagai pendamping Prabowo.
Ada juga proposal hasil Ijtimak Ulama yang menyodorkan pasangan untuk
Prabowo: Salim Segaf al-Jufri atau Ustaz Abdul Somad. Seperti Jokowi, Prabowo
juga tak kalah sulitnya. Dalam situasi sulit, pilihan menghindari semua opsi
menjadi jalan termudah. Dan, di tikungan terakhir justru Sandiaga Uno (Wakil
Gubernur DKI Jakarta) yang menyalip. Posisi wagub bisa jatuh ke tangan PKS.
Menukar posisi wapres dengan posisi wagub lebih realistis, sih.
Partai Demokrat pun meradang
karena terkena PHP juga. Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief mencuit,
”Prabowo jenderal kardus”. Bahkan, muncul tudingan Sandi menyetorkan uang Rp
500 miliar kepada anggota partai koalisi demi mandampingi Prabowo. Padahal,
kuatnya koalisi mereka hampir tak tergoyahkan ketika sebelumnya Wakil Sekjen
Rachland Nashidik menghebohkan dengan cuitan, ”Saya mau ganti Presiden! Kalau
demi itu saya harus bekerja sama dengan setan, saya akan lakukan.”
Namun, politik itu drama dan
akrobatik. Seperti es batu, politik tidak membeku selamanya. Mudah mencair,
terlebih politik yang selalu bersuhu
panas. Akhirnya Demokrat mendukung Prabowo-Sandiaga.
Lalu, bagaimana rivalitas dua
pasangan tersebut? Konstelasi politik berubah, termasuk di tataran fans
pendukung yang beberapa tahun belakangan ini terlalu berisik. Boleh dibilang
tiap- tiap kubu sama-sama terkejut. Dengan Ma’ruf Amin, Jokowi mungkin
membuat kecewa sebagian fans ”baju kotak-kotak”, tetapi justru membungkam
suara-suara keras anti-Jokowi. Stigma Jokowi yang dianggap anti-Islam mungkin
tak laku lagi. Di kubu Prabowo, pendukungnya juga terkaget-kaget
dengan Sandiaga. Sebab, banyak yang berharap Prabowo didampingi sosok yang
berasal dari kelompok Islam.
Di dua kubu, tentu banyak yang
kecewa atau masih terperangah. Namun, semestinya pertarungan tak sekeras dulu
karena sama-sama tak terpenuhi ekspektasinya. Di kedua kubu ada suara yang
hilang, tetapi juga terkumpul suara baru. Itulah politik, penuh pragmatisme.
Pertarungan yang selama ini terkesan ”ideologis” cuma agenda politik. Seperti
Rossi dan Marquez, tikungan terakhir sangat menentukan. Di politik, tikungan
terakhir itu lebih tajam dan lebih licin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar