Mengembalikan
Kemuliaan Politik
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 10 Agustus 2018
Aristoteles
(384-322 SM) yang dianggap sebagai peletak dasar tradisi ilmu politik Barat
secara eksplisit menyatakan ilmu dan karier politik itu sangat mulia.
Mengapa?
Karena
pemanfaatan semua kemajuan ilmu pengetahuan yang lain pada akhirnya akan di
tentukan oleh politisi, pemegang kekuasaan tertinggi sebuah negara. Berbagai
capaian riset para ilmuwan anak-anak bangsa terbaik, misalnya, yang menentukan
anggaran sampai penggunaan akhir adalah keputusan politik. Terlebih lagi riset
dalam pengembangan senjata nuklir, keputusan terakhir penggunaannya bukan
ditangan ilmuwan, tetapi keputusan politik. Maka itu, Aristoteles
berpandangan bahwa politik adalah seni dan ilmu tertinggi karena berfungsi mengendalikan
arah dan penggunaan ilmu-ilmu yang lain. Pandangan Aristoteles ini sangat
dipengaruhi gurunya, Plato, yang menawarkan formula King-Philosopher.
Bahwa
penguasa tertinggi sebuah negara adalah juga yang paling pintar dan paling bijak,
sebuah gabungan kualitas raja dan filosof, bagaikan kepala bagi sosok tubuh.
Posisinya paling tinggi sekaligus juga paling memiliki kapasitas kecerdasan.
Kepala akan selalu menunjukkan jalan yang benar, jangan sampai mencelakakan
tubuhnya. Demikianlah pendeknya politik itu mulia karena yang dipikirkan
adalah menjaga keselamatan dan kenyamanan rakyatnya, bagaikan kepala memikirkan
tubuhnya sendiri. Pikiran Aristoteles ini sejalan dengan misi dan tipologi
kepemimpinan nabi (prophetic leader).
Kekuasaan
diabdikan untuk mencerdaskan, menyejahterakan, dan mendekatkan umat pada
Tuhan. Pemimpin itu berkorban, tidak memiliki kepentingan untuk meraih
kemegahan pribadi. Namun dalam panggung sejarah, yang terjadi sering kali justru
sebaliknya. Niat, citra, dan tujuan mulia politik bisa jatuh terhina oleh
perilaku para politisi. Demokrasi digelar yang niat awalnya menjaring dan memanggil
anak-anak bangsa terbaik agar tampil ikut kontestasi memegang jabatan publik
demi kebaikan rakyat, berubah menjadi panggung gladiator antarfigur-figur
yang haus kekuasaan untuk meraih self glory.
Politisi
bukannya mewakili dan memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi suara rakyat
dibeli karena posisi rakyat tak lebih bagaikan sebuah angka. Mengingat dalam
demokrasi prosedural jumlah kepala lebih berharga ketimbang isi kepalanya.
Darimana politisi punya uang? Di sinilah pintu masuk para pemodal dan investor
politik “menyumbang dana” kepada kontestan yang nanti jika menang dan meraih
jabatan publik, akan membayar kembali dengan cara memanipulasi kebijakan
publik berupa proyek-proyek atas nama pembangunan. Sedemikian busukkah politik?
Tanyakan saja pada para politisi dan pengamat.
Sebagai
dosen yang lebih akrab dengan kajian akademis, tentu saja politik baik dan
sangat diperlukan untuk menyelenggarakan sebuah pemerintahan. Karena itu, di
berbagai universitas besar selalu ada program studi ilmu politik. Tetapi,
politik sebagai teori yang diajarkan oleh para profesor rupanya berbeda dari
realitas politik dalam panggung perebutan kekuasaan. Etika politik yang dipelajari
sewaktu kuliah tidak berlaku ketika terjun langsung ke dunia nyata perpolitikan
kita. Lalu di mana letak kesalahannya? Pertumbuhan dan praktik politik yang
menyeruakkan bau busuk hendaknya jadi bahan renungan, kajian, dan perbaikan
oleh semua pihak.
Introspeksi
dan evaluasi radikal sangat diperlukan. Terlebih lagi ketika sentimen keagamaan
dan para ulama mulai terlibat serta dilibatkan dalam proses perebutan
kekuasaan, semata untuk menjaring massa. Ini sebuah jebakan bagi demokrasi
dan juga bagi muruah agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar