Senin, 27 Agustus 2018

Mengembalikan Kemuliaan Politik

Mengembalikan Kemuliaan Politik
Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
                                                 KORAN SINDO, 10 Agustus 2018



                                                           
Aristoteles (384-322 SM) yang dianggap sebagai peletak dasar tradisi ilmu politik Barat secara eksplisit menyatakan ilmu dan karier politik itu sangat mulia. Mengapa?

Karena pemanfaatan semua kemajuan ilmu pengetahuan yang lain pada akhirnya akan di tentukan oleh politisi, pemegang kekuasaan tertinggi sebuah negara. Berbagai capaian riset para ilmuwan anak-anak bangsa terbaik, misalnya, yang menentukan anggaran sampai penggunaan akhir adalah keputusan politik. Terlebih lagi riset dalam pengembangan senjata nuklir, keputusan terakhir penggunaannya bukan ditangan ilmuwan, tetapi keputusan politik. Maka itu, Aristoteles berpandangan bahwa politik adalah seni dan ilmu tertinggi karena berfungsi mengendalikan arah dan penggunaan ilmu-ilmu yang lain. Pandangan Aristoteles ini sangat dipengaruhi gurunya, Plato, yang menawarkan formula King-Philosopher.

Bahwa penguasa tertinggi sebuah negara adalah juga yang paling pintar dan paling bijak, sebuah gabungan kualitas raja dan filosof, bagaikan kepala bagi sosok tubuh. Posisinya paling tinggi sekaligus juga paling memiliki kapasitas kecerdasan. Kepala akan selalu menunjukkan jalan yang benar, jangan sampai mencelakakan tubuhnya. Demikianlah pendeknya politik itu mulia karena yang dipikirkan adalah menjaga keselamatan dan kenyamanan rakyatnya, bagaikan kepala memikirkan tubuhnya sendiri. Pikiran Aristoteles ini sejalan dengan misi dan tipologi kepemimpinan nabi (prophetic leader).

Kekuasaan diabdikan untuk mencerdaskan, menyejahterakan, dan mendekatkan umat pada Tuhan. Pemimpin itu berkorban, tidak memiliki kepentingan untuk meraih kemegahan pribadi. Namun dalam panggung sejarah, yang terjadi sering kali justru sebaliknya. Niat, citra, dan tujuan mulia politik bisa jatuh terhina oleh perilaku para politisi. Demokrasi digelar yang niat awalnya menjaring dan memanggil anak-anak bangsa terbaik agar tampil ikut kontestasi memegang jabatan publik demi kebaikan rakyat, berubah menjadi panggung gladiator antarfigur-figur yang haus kekuasaan untuk meraih self glory.

Politisi bukannya mewakili dan memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi suara rakyat dibeli karena posisi rakyat tak lebih bagaikan sebuah angka. Mengingat dalam demokrasi prosedural jumlah kepala lebih berharga ketimbang isi kepalanya. Darimana politisi punya uang? Di sinilah pintu masuk para pemodal dan investor politik “menyumbang dana” kepada kontestan yang nanti jika menang dan meraih jabatan publik, akan membayar kembali dengan cara memanipulasi kebijakan publik berupa proyek-proyek atas nama pembangunan. Sedemikian busukkah politik? Tanyakan saja pada para politisi dan pengamat.

Sebagai dosen yang lebih akrab dengan kajian akademis, tentu saja politik baik dan sangat diperlukan untuk menyelenggarakan sebuah pemerintahan. Karena itu, di berbagai universitas besar selalu ada program studi ilmu politik. Tetapi, politik sebagai teori yang diajarkan oleh para profesor rupanya berbeda dari realitas politik dalam panggung perebutan kekuasaan. Etika politik yang dipelajari sewaktu kuliah tidak berlaku ketika terjun langsung ke dunia nyata perpolitikan kita. Lalu di mana letak kesalahannya? Pertumbuhan dan praktik politik yang menyeruakkan bau busuk hendaknya jadi bahan renungan, kajian, dan perbaikan oleh semua pihak.

Introspeksi dan evaluasi radikal sangat diperlukan. Terlebih lagi ketika sentimen keagamaan dan para ulama mulai terlibat serta dilibatkan dalam proses perebutan kekuasaan, semata untuk menjaring massa. Ini sebuah jebakan bagi demokrasi dan juga bagi muruah agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar