Meiliana
dan Martir Kordoba
Hilmi Amin Sobari ; Esais, bermukim di Kota Bekasi, Jawa Barat
|
DETIKNEWS,
23 Agustus
2018
Titimangsa 850 Masehi.
Saat itu di tengah musim panas yang hangat. Seorang biarawan alim sedang
menikmati hiruk-pikuk kehidupan urban di kota Kordoba (Cordova), Andalusia.
Kota yang saat ini merupakan bagian dari Spanyol modern itu adalah pusat
kerajaan Islam dari Dinasti Umayyah di negeri barat lama. Kerajaan ini
diinisiasi oleh Abdurrahman Ad-Dakhil, sang pewaris takhta terakhir Dinasti
Umayyah di timur yang ambruk karena digerogoti oleh Keluarga Abbasiyah.
Biarawan itu bernama
Perfectus. Ketika sedang berada di pusat perdagangan dan menikmati aktivitas
belanjanya, ia didekati sekelompok anak muda bertampang Arab. Entah iseng
atau memang serius, anak-anak muda itu menggoda Perfectus dengan sebuah
pertanyaan provokatif. Siapakah di antara dua Nabi yang statusnya terbesar,
mana lebih mulia: Yesus atau Muhammad?
Untuk diketahui, sebagai
pusat kerajaan Islam, Kordoba menerapkan kebijakan terbuka mengenai
heterogenitas agama. Pemeluk Kristen dan Yahudi bebas menganut keyakinan.
Aktivitas beribadahnya dilindungi. Kemajemukan merupakan bagian dari karakter
Kordoba dan kota-kota lain di bawah Kerajaan Umayyah di barat lama itu.
Sangat mengherankan pertanyaan provokatif seperti itu bisa menyeruak ke
permukaan.
Sayang nasi sudah menjadi
bubur. Pertanyaan sudah diajukan. Harga diri dan keimanan tak bisa lagi
ditawar. Sebagai seorang biarawan alim, Perfectus seorang yang jujur. Tapi,
ia menyadari posisinya. Maka disampaikan keyakinannya secara sangat
berhati-hati. Sayang seribu kali sayang kisah ini tak berakhir bahagia. Entah
karena tak mampu menahan amarah atau bisa jadi karena pemicu lain, Perfectus
meledak. Ia tiba-tiba membentak dan berteriak-teriak sambil menyebut Nabi
Muhammad sebagai dukun klenik, orang sesat dan anti-Kristus.
Karuan saja perkara ini
menarik atensi khalayak. Aturannya jelas. Menghina Nabi Muhammad di wilayah
kerajaan Islam adalah kejahatan kriminal saat itu. Segera Perfectus dibawa
aparat dan dijebloskan ke dalam gaol (penjara). Awalnya hakim memutus bebas.
Hakim berpendapat, ucapannya itu bukan timbul dari kesadaran melainkan buah
provokasi. Kata-kata dari bibir seringkali tak terkendali saat seseorang
diselimuti amarah tidak dapat dijadikan landasan vonis. Sebuah keputusan
hukum yang sangat bijak dan berhati-hati.
Namun, entah kenapa Perfectus
malah berulah. Setelah bebas ia mengulangi lagi perbuatannya. Kali ini tanpa
provokasi. Perfectus dengan sadar dan tanpa tedeng aling-aling menyebut Nabi
Muhammad dengan istilah-istilah yang sangat kasar. Akibatnya, hakim tidak
punya pilihan selain menghukumnya. Perfectus dieksekusi mati.
Ishaq, biarawan lain
tersulut. Ia memprotes keras eksekusi itu. Di depan hakim ia menyerang Nabi
Muhammad dan Islam sedemikian rupa. Hakim menamparnya karena mengira Ishaq
sedang mabuk. Tapi, Ishaq bergeming. Ia terus-menerus melakukan penghinaan
itu sehingga hakim tak punya pilihan selain mengeksekusinya juga. Ishaq
menjadi korban kedua.
Kedua peristiwa itu
menyulut amarah besar dari umat Kristiani dan menginspirasi mereka untuk
melawan. Perfectus dan Ishaq disemati gelar pahlawan atau martir.
Berturut-turut, para martir baru hadir. Sejarah mencatat, hanya di musim
panas itu saja paling tidak terdapat 50 martir mati dieksekusi. Mereka dalam
sejarah dikenal sebagai Martir Kordoba. Peristiwa yang kemudian menggerogoti kerajaan
dan menjadi cikal bakal runtuhnya Dinasti Umayyah di Andalusia.
***
Titimangsa 1888 Masehi.
Indonesia belum lahir. Banten masa itu masih hidup di bawah kekangan dan
penjajahan kolonial Belanda. Satu waktu tersiar kabar di bawah tanah bahwa
pejabat pemerintah Belanda bertindak zalim kepada umat Islam. Larangan
mengumandangkan azan yang diperbincangkan dengan riuh. Penyebabnya karena
istri Johan Hendrik Hubbert Gubbels bernama Anna Elizabeth van Zutphen
menderita sakit kepala kronis.
Suara azan yang
dikumandangkan dari masjid yang terletak di tanah pribumi tak jauh dari tempat
tinggalnya semakin mengusik sakitnya. Gubbels adalah asisten residen di
Anyer, pejabat yang berwenang. Tapi, larangan azan ternyata hanya awalan.
Desas-desus lain muncul. Kabarnya selain azan juga muncul larangan untuk
jenis ibadah lain yang aktivitasnya bersuara keras seperti zikir, pesta
perkawinan dan khitanan dengan arak-arakan, hingga takbiran.
Sontak saja hal itu
membakar amarah umat Islam. Emosi yang selama ini terpendam akibat larangan
azan kini semakin menguat dan dampaknya meluas. Ketegangan yang dimotori oleh
ketidaksepahaman keyakinan pribumi dengan pejabat kolonial yang berkuasa itu
kemudian meletus menjadi pemberontakan yang dikenal sebagai Geger 1888. Pada
peristiwa itu, Gubbels dan anak-istrinya terbunuh. Jumlah korban jiwa dari
pribumi jauh lebih banyak.
***
Basuki Tjahaja Purnama
atau Ahok dikenai pasal penistaan agama karena kalimat sensitif dalam
pidatonya di Kepulauan Seribu saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Peristiwa "Al Maidah 51" yang kemudian melahirkan gelombang protes
hingga demo yang dikenal dengan "212". Hal itu mengejutkan banyak
pihak. Para pendemo berasal dari lintas kalangan dan ormas. Harga diri umat
tercolek. Ahok kemudian divonis bersalah. Hingga saat ini Ahok masih
menjalani hukumannya.
Berbeda dengan Ahok,
Meiliana bukanlah seorang pejabat. Bila Ahok diyakini terkena efek politisasi
menjelang pilgub, Meiliana dianggap korban dari ketidakadilan sistem hukum di
negara ini. Persoalan lama yang masih belum terpecahkan. Meiliana, seperti
Gubbels dan Ahok, menjadi korban konfrontasi yang lahir dari isu primordial
antara "pribumi" versus "orang yang dianggap liyan".
Meiliana sebagai penganut
Buddha dan warga negara keturunan China, seperti ungkapan para saksi di
pengadilannya, dianggap telah melecehkan azan yang merupakan bagian dari
ajaran Islam. Meiliana pada satu siang mendatangi tetangganya yang muslim dan
memprotes, "Kak, tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu,
Kak sakit kupingku, ribut." Meiliana divonis 18 bulan penjara oleh
hakim, melengkapi 147 vonis penistaan agama sejak 2004.
Meiliana bukan Perfectus
yang hidup di bawah naungan kerajaan Islam. Meiliana juga bukan Gubbels yang
diperangi karena melarang azan dikumandangkan. Kasus Meiliana mirip Ahok.
Terjadi karena kesalahpahaman yang tidak bisa diselesaikan secara damai. Lalu
dibawa ke pengadilan. Sayangnya, aturan hukum yang menangani persoalan
seperti ini masih gagal menghadirkan solusi yang adil bagi para pihak yang
bersengketa.
Persoalan ini bukanlah
remeh-temeh seperti dianggap beberapa pihak. Menuding lemahnya rasionalitas
jamaah masjid dalam menerima kritik agama dan juga arogansi mayoritas sebagai
dalang di balik kasus-kasus serupa tidak akan membawa kasus ini ke arah yang
lebih baik. Yang semestinya perlu dihadirkan adalah saling pengertian di
antara para pihak.
Kasus Perfectus
menggambarkan suasana kebatinan umat Islam. Menghina ajaran berkonsekuensi
berat. Hal ini bisa jadi tidak terdapat di agama lain. Sehingga kasus Meiliana
menjadi masuk akal. Meiliana yang merasa tidak sedang menghina ajaran agama
tetapi sedang mengkritik perilaku penganut itu dipahami berbeda karena
sejarahnya yang berbeda. Ucapan Meiliana yang sebenarnya rasional itu menjadi
tak lagi bisa diterima karena suasana kebatinan yang sifatnya sakral itu.
Di internal umat Islam
perlu ada otokritik. Doktrin keagamaan harus dipisahkan dengan realitas.
Kritik terhadap perilaku umatnya tidaklah sama dengan kritik terhadap agama
itu sendiri. Tak kalah pentingnya adalah peneladanan atas sikap hakim yang
memilih membebaskan Perfectus pada peristiwa provokasi itu. Kebijaksanaan dan
kehati-hatian perlu dikedepankan.
Memahami bahwa mereka yang
berbeda keyakinan memiliki pengalaman yang tidak sama terhadap ajaran agama
juga penting untuk dilakukan. Namun, yang terpenting persoalan seperti ini
sebaiknya diselesaikan lewat jalur damai, bukan melalui jalur pengadilan.
Kehidupan saling bersinergi antarumat beragama harus menjadi tujuan bersama.
Saya berharap pihak-pihak terkait mau duduk bersama membahas mekanismenya.
Jika pun harus lewat
pengadilan maka pasal-pasalnya perlu direvisi agar pengenaan pidana hanya
diterapkan pada penghinaan yang sifatnya tafsir-tunggal. Kita bisa ambil
contoh yaitu sengaja membakar atau menginjak kitab suci dengan maksud
melecehkan. Atau, perilaku lain yang serupa.
Semoga tidak ada Meiliana
lain esok hari, lusa, atau kapan pun nanti. Itu demi masa depan bangsa ini
agar tidak runtuh seperti halnya Dinasti Umayyah di Andalusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar