Jumat, 31 Agustus 2018

Meiliana dan Martir Kordoba

Meiliana dan Martir Kordoba
Hilmi Amin Sobari ;  Esais, bermukim di Kota Bekasi, Jawa Barat
                                                   DETIKNEWS, 23 Agustus 2018



                                                           
Titimangsa 850 Masehi. Saat itu di tengah musim panas yang hangat. Seorang biarawan alim sedang menikmati hiruk-pikuk kehidupan urban di kota Kordoba (Cordova), Andalusia. Kota yang saat ini merupakan bagian dari Spanyol modern itu adalah pusat kerajaan Islam dari Dinasti Umayyah di negeri barat lama. Kerajaan ini diinisiasi oleh Abdurrahman Ad-Dakhil, sang pewaris takhta terakhir Dinasti Umayyah di timur yang ambruk karena digerogoti oleh Keluarga Abbasiyah.

Biarawan itu bernama Perfectus. Ketika sedang berada di pusat perdagangan dan menikmati aktivitas belanjanya, ia didekati sekelompok anak muda bertampang Arab. Entah iseng atau memang serius, anak-anak muda itu menggoda Perfectus dengan sebuah pertanyaan provokatif. Siapakah di antara dua Nabi yang statusnya terbesar, mana lebih mulia: Yesus atau Muhammad?

Untuk diketahui, sebagai pusat kerajaan Islam, Kordoba menerapkan kebijakan terbuka mengenai heterogenitas agama. Pemeluk Kristen dan Yahudi bebas menganut keyakinan. Aktivitas beribadahnya dilindungi. Kemajemukan merupakan bagian dari karakter Kordoba dan kota-kota lain di bawah Kerajaan Umayyah di barat lama itu. Sangat mengherankan pertanyaan provokatif seperti itu bisa menyeruak ke permukaan.

Sayang nasi sudah menjadi bubur. Pertanyaan sudah diajukan. Harga diri dan keimanan tak bisa lagi ditawar. Sebagai seorang biarawan alim, Perfectus seorang yang jujur. Tapi, ia menyadari posisinya. Maka disampaikan keyakinannya secara sangat berhati-hati. Sayang seribu kali sayang kisah ini tak berakhir bahagia. Entah karena tak mampu menahan amarah atau bisa jadi karena pemicu lain, Perfectus meledak. Ia tiba-tiba membentak dan berteriak-teriak sambil menyebut Nabi Muhammad sebagai dukun klenik, orang sesat dan anti-Kristus.

Karuan saja perkara ini menarik atensi khalayak. Aturannya jelas. Menghina Nabi Muhammad di wilayah kerajaan Islam adalah kejahatan kriminal saat itu. Segera Perfectus dibawa aparat dan dijebloskan ke dalam gaol (penjara). Awalnya hakim memutus bebas. Hakim berpendapat, ucapannya itu bukan timbul dari kesadaran melainkan buah provokasi. Kata-kata dari bibir seringkali tak terkendali saat seseorang diselimuti amarah tidak dapat dijadikan landasan vonis. Sebuah keputusan hukum yang sangat bijak dan berhati-hati.

Namun, entah kenapa Perfectus malah berulah. Setelah bebas ia mengulangi lagi perbuatannya. Kali ini tanpa provokasi. Perfectus dengan sadar dan tanpa tedeng aling-aling menyebut Nabi Muhammad dengan istilah-istilah yang sangat kasar. Akibatnya, hakim tidak punya pilihan selain menghukumnya. Perfectus dieksekusi mati.

Ishaq, biarawan lain tersulut. Ia memprotes keras eksekusi itu. Di depan hakim ia menyerang Nabi Muhammad dan Islam sedemikian rupa. Hakim menamparnya karena mengira Ishaq sedang mabuk. Tapi, Ishaq bergeming. Ia terus-menerus melakukan penghinaan itu sehingga hakim tak punya pilihan selain mengeksekusinya juga. Ishaq menjadi korban kedua.

Kedua peristiwa itu menyulut amarah besar dari umat Kristiani dan menginspirasi mereka untuk melawan. Perfectus dan Ishaq disemati gelar pahlawan atau martir. Berturut-turut, para martir baru hadir. Sejarah mencatat, hanya di musim panas itu saja paling tidak terdapat 50 martir mati dieksekusi. Mereka dalam sejarah dikenal sebagai Martir Kordoba. Peristiwa yang kemudian menggerogoti kerajaan dan menjadi cikal bakal runtuhnya Dinasti Umayyah di Andalusia.

                                                      ***

Titimangsa 1888 Masehi. Indonesia belum lahir. Banten masa itu masih hidup di bawah kekangan dan penjajahan kolonial Belanda. Satu waktu tersiar kabar di bawah tanah bahwa pejabat pemerintah Belanda bertindak zalim kepada umat Islam. Larangan mengumandangkan azan yang diperbincangkan dengan riuh. Penyebabnya karena istri Johan Hendrik Hubbert Gubbels bernama Anna Elizabeth van Zutphen menderita sakit kepala kronis.

Suara azan yang dikumandangkan dari masjid yang terletak di tanah pribumi tak jauh dari tempat tinggalnya semakin mengusik sakitnya. Gubbels adalah asisten residen di Anyer, pejabat yang berwenang. Tapi, larangan azan ternyata hanya awalan. Desas-desus lain muncul. Kabarnya selain azan juga muncul larangan untuk jenis ibadah lain yang aktivitasnya bersuara keras seperti zikir, pesta perkawinan dan khitanan dengan arak-arakan, hingga takbiran.

Sontak saja hal itu membakar amarah umat Islam. Emosi yang selama ini terpendam akibat larangan azan kini semakin menguat dan dampaknya meluas. Ketegangan yang dimotori oleh ketidaksepahaman keyakinan pribumi dengan pejabat kolonial yang berkuasa itu kemudian meletus menjadi pemberontakan yang dikenal sebagai Geger 1888. Pada peristiwa itu, Gubbels dan anak-istrinya terbunuh. Jumlah korban jiwa dari pribumi jauh lebih banyak.

                                                        ***

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dikenai pasal penistaan agama karena kalimat sensitif dalam pidatonya di Kepulauan Seribu saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Peristiwa "Al Maidah 51" yang kemudian melahirkan gelombang protes hingga demo yang dikenal dengan "212". Hal itu mengejutkan banyak pihak. Para pendemo berasal dari lintas kalangan dan ormas. Harga diri umat tercolek. Ahok kemudian divonis bersalah. Hingga saat ini Ahok masih menjalani hukumannya.

Berbeda dengan Ahok, Meiliana bukanlah seorang pejabat. Bila Ahok diyakini terkena efek politisasi menjelang pilgub, Meiliana dianggap korban dari ketidakadilan sistem hukum di negara ini. Persoalan lama yang masih belum terpecahkan. Meiliana, seperti Gubbels dan Ahok, menjadi korban konfrontasi yang lahir dari isu primordial antara "pribumi" versus "orang yang dianggap liyan".

Meiliana sebagai penganut Buddha dan warga negara keturunan China, seperti ungkapan para saksi di pengadilannya, dianggap telah melecehkan azan yang merupakan bagian dari ajaran Islam. Meiliana pada satu siang mendatangi tetangganya yang muslim dan memprotes, "Kak, tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu, Kak sakit kupingku, ribut." Meiliana divonis 18 bulan penjara oleh hakim, melengkapi 147 vonis penistaan agama sejak 2004.

Meiliana bukan Perfectus yang hidup di bawah naungan kerajaan Islam. Meiliana juga bukan Gubbels yang diperangi karena melarang azan dikumandangkan. Kasus Meiliana mirip Ahok. Terjadi karena kesalahpahaman yang tidak bisa diselesaikan secara damai. Lalu dibawa ke pengadilan. Sayangnya, aturan hukum yang menangani persoalan seperti ini masih gagal menghadirkan solusi yang adil bagi para pihak yang bersengketa.

Persoalan ini bukanlah remeh-temeh seperti dianggap beberapa pihak. Menuding lemahnya rasionalitas jamaah masjid dalam menerima kritik agama dan juga arogansi mayoritas sebagai dalang di balik kasus-kasus serupa tidak akan membawa kasus ini ke arah yang lebih baik. Yang semestinya perlu dihadirkan adalah saling pengertian di antara para pihak.

Kasus Perfectus menggambarkan suasana kebatinan umat Islam. Menghina ajaran berkonsekuensi berat. Hal ini bisa jadi tidak terdapat di agama lain. Sehingga kasus Meiliana menjadi masuk akal. Meiliana yang merasa tidak sedang menghina ajaran agama tetapi sedang mengkritik perilaku penganut itu dipahami berbeda karena sejarahnya yang berbeda. Ucapan Meiliana yang sebenarnya rasional itu menjadi tak lagi bisa diterima karena suasana kebatinan yang sifatnya sakral itu.

Di internal umat Islam perlu ada otokritik. Doktrin keagamaan harus dipisahkan dengan realitas. Kritik terhadap perilaku umatnya tidaklah sama dengan kritik terhadap agama itu sendiri. Tak kalah pentingnya adalah peneladanan atas sikap hakim yang memilih membebaskan Perfectus pada peristiwa provokasi itu. Kebijaksanaan dan kehati-hatian perlu dikedepankan.

Memahami bahwa mereka yang berbeda keyakinan memiliki pengalaman yang tidak sama terhadap ajaran agama juga penting untuk dilakukan. Namun, yang terpenting persoalan seperti ini sebaiknya diselesaikan lewat jalur damai, bukan melalui jalur pengadilan. Kehidupan saling bersinergi antarumat beragama harus menjadi tujuan bersama. Saya berharap pihak-pihak terkait mau duduk bersama membahas mekanismenya.

Jika pun harus lewat pengadilan maka pasal-pasalnya perlu direvisi agar pengenaan pidana hanya diterapkan pada penghinaan yang sifatnya tafsir-tunggal. Kita bisa ambil contoh yaitu sengaja membakar atau menginjak kitab suci dengan maksud melecehkan. Atau, perilaku lain yang serupa.

Semoga tidak ada Meiliana lain esok hari, lusa, atau kapan pun nanti. Itu demi masa depan bangsa ini agar tidak runtuh seperti halnya Dinasti Umayyah di Andalusia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar