G30S/Militer
:
Bagaimana
Soeharto Mendalangi Pembantaian 1965?
Jess Melvin ; Menamatkan studi doktoral di
University of Melbourne (2014); Disertasinya diterbitkan Routledge...
|
TIRTO.ID,
15 Agustus
2018
Meski sudah 20 tahun kediktatoran
Soeharto runtuh, mitos yang menjustifikasi pendirian rezim Orde Baru (dan
juga masa pemerintahan setelahnya) masih berdiri tegak.
Menurut narasi resmi negara,
militer terpaksa turun tangan untuk menyelamatkan bangsa dari kudeta komunis
yang gagal pada dini hari 1 Oktober 1965. Tentara Nasional Indonesia (TNI)
dan narasumber Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa militer bertindak
demi memadamkan pergolakan “spontan”—dan mengakibatkan pertumpahan darah di
seantero Indonesia—yang digerakkan oleh rakyat biasa yang membenci
orang-orang komunis di sekeliling mereka.
Rentetan peristiwa yang
digambarkan oleh internal CIA sebagai salah satu pembunuhan massal terburuk
pada abad ke-20, dikenal di Indonesia sebagai G30S/PKI—sebuah istilah yang
yang menyiratkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) bertanggung jawab atas
kudeta gagal yang dipimpin Gerakan 30 September (G30S).
Faktanya, militerlah yang
mengerahkan kudeta pada 1 Oktober 1965 tersebut. Perencanaan kudeta ini
dimulai di bawah pemerintahan Demokrasi Terpimpin Sukarno. Waktu itu, tentara
dan PKI tengah bersaing memperebutkan kekuasaan.
Upaya Soeharto menggunakan rantai
komando yang ada untuk membawa militer ke tampuk kekuasaan kini lebih bisa
dijelaskan. Buku saya yang berjudul The Army and the Indonesian Genocide:
Mechanics of Mass Murder menunjukkan bagaimana militer Indonesia memulai dan
melakukan pembunuhan massal 1965-66. Artikel ini berfokus pada proses kudeta
militer.
Persiapan
Kudeta
Pada 1965, di tengah ambisi
kudeta, militer Indonesia menemukan sekutu utamanya: pemerintah Amerika
Serikat. Setelah kegagalan Paman Sam memisahkan Sumatera dari Indonesia pada
akhir 1950-an, TNI dan Washington menemukan titik temu dalam politik
anti-komunisme.
Pimpinan TNI yang baru diangkat
menerima pelatihan dan pendanaan dari Amerika. Washington sendiri berharap
TNI bisa menjadi “negara dalam negara” dan mampu menggulingkan Presiden
Sukarno yang tak pernah merahasiakan simpatinya atas ideologi Marxisme.
Awalnya, para pimpinan militer
bermaksud menunggu Sukarno untuk "meninggalkan gelanggang". Tapi
rencana berubah dan dimajukan pada Agustus 1965 karena mereka takut Sukarno
dan PKI akan menggunakan kampanye Ganyang Malaysia untuk melemahkan monopoli
TNI atas angkatan bersenjata.
Sebelum membahas bagaimana TNI
naik ke tampuk kekuasaan, penting untuk mengetahui struktur TNI menjelang
peristiwa 1 Oktober 1965.
Sukarno sebagai panglima tertinggi
TNI secara resmi memiliki kontrol atas angkatan bersenjata. Langsung di bawah
Sukarno, Panglima Angkatan Darat (Pangad) Jenderal Ahmad Yani memegang
kontrol teknis.
Sejak masa revolusi nasional
(1945-1949), angkatan bersenjata terorganisir menurut struktur komando
teritorial. Komando internal ABRI, yang dikenal sebagai Kodam, memiliki
posisi sejajar dengan pemerintah sipil sampai ke tingkat desa. Pada 1965,
Ahmad Yani menguasai struktur Kodam ini.
Yani juga mengendalikan sejumlah
struktur komando khusus, termasuk Kostrad yang dipimpin oleh Mayor Jenderal
Soeharto, dan Pasukan Khusus RPKAD yang dikendalikan oleh Kolonel Sarwo Edhie
Wibowo.
Selain itu, Ahmad Yani menjabat
kepala staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI). KOTI mengoordinasikan
keterlibatan militer dalam kampanye Ganyang Malaysia.
Pada Oktober 1964, Komando Mandala
Siaga (Kolaga) didirikan di bawah rantai komando KOTI di Sumatera dan
Kalimantan untuk memfasilitasi kampanye Ganyang Malaysia di tingkat lokal.
Komandan Kolaga adalah marsekal Angkatan Udara Omar Dhani, dengan Soeharto
sebagai wakil pertamanya. Omar Dhani nantinya terlibat dalam Gerakan 30
September. Komando KOTI dan Kolaga kelak menjadi medan konflik internal dalam
perebutan negara.
Permainan
Berbahaya
Pada September 1964, sebuah
undang-undang baru memberikan kuasa kepada KOTI untuk menyatakan darurat
militer tanpa terlebih dahulu meminta izin dari Sukarno. Ada kemungkinan
Sukarno bermaksud menggunakan KOTI dan Kolaga untuk mengantarkan kaum komunis
ke puncak kekuasaan. Selain menempatkan sekutunya (Dhani) sebagai komandan
Kolaga, Sukarno juga menyetujui mobilisasi 21 juta sukarelawan pada Mei 1964.
Mobilisasi ini seolah-olah dilakukan untuk mengantisipasi potensi konflik
dengan Malaysia, tetapi militer khawatir jika sukarelawan digunakan untuk
melawan TNI.
Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila militer pun mengambil keuntungan dari undang-undang baru
ini. Komandan Mandala I Sumatera Letnan Jenderal Ahmad Mokoginta yang
anti-komunis, menggunakan Kolaga untuk mulai menjalankan latihan uji coba
militer (dikenal sebagai Operasi Singgalang) sejak Maret 1965. Uji coba
tersebut dilakukan untuk menguji kesiapan komando militer dalam memobilisasi
warga sipil. Warga sipil yang dilatih selama periode ini di kemudian hari
berfungsi sebagai pasukan kejut (shock troops) dalam serangan TNI terhadap
PKI.
Permainan berbahaya ini mencapai
puncaknya pada Agustus 1965, ketika Sukarno mengumumkan pembentukan
"Angkatan Kelima" atau tentara rakyat. Meskipun Sukarno mengklaim
angkatan ini hanya akan digunakan untuk memajukan rencananya untuk
memobilisasi warga sipil dalam mendukung kampanye Ganyang Malaysia, pihak
militer sangat khawatir. Jika TNI tidak lagi memonopoli kekuatan bersenjata
di Indonesia, maka kemungkinan PKI merebut tampuk kekuasaan di Indonesia akan
tak terhindarkan.
Militer pun tak lagi ingin
menunggu Sukarno turun panggung. Sebaliknya, di saat masih menjadi kekuatan
bersenjata yang paling berkuasa di Indonesia, mereka berusaha memancing
konfrontasi.
Para pimpinan TNI tak ingin
terlihat sebagai aktor yang memulai kudeta. Sukarno dan PKI terlalu populer pada
masa itu. Sebaliknya, seperti dijelaskan John Roosa, TNI berharap mampu
menciptakan sebuah keadaan yang dapat dimanfaatkan sebagai "dalih"
agar militer bisa membungkus tindakakan-tindakannya sebagai pertahanan diri.
Tindakan Gerakan 30 September—yang menculik dan membunuh enam perwira kunci
TNI, termasuk Ahmad Yani, pada dini hari 1 Oktober—adalah dalihnya.
Saya berargumen bahwa
tindakan-tindakan militer yang dilakukan selanjutnya mengandung unsur-unsur
pra-perencanaan dan improvisasi: ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan
negara pada pagi hari 1 Oktober, dia mendasarkan tindakannya pada perencanaan
jangka panjang yang telah dilakukan sebelumnya oleh kepemimpinan militer di
bawah Yani, dan Soeharto juga menambahkan sentuhannya sendiri.
Kudeta
Militer Indonesia 1 Oktober 1965
Ketika Gerakan 30 September
membunuh pimpinan militer pada 1 Oktober, mereka gagal melumpuhkan komando
militer di tingkat nasional. Soeharto justru mengisi kepemimpinan yang
ditinggalkan Ahmad Yani, secara aktif mengabaikan wewenang Sukarno. Soeharto
juga mempertahankan posisi strategisnya sebagai Komandan Kostrad, sementara
Komandan RPKAD Sarwo Edhie membuktikan dirinya sebagai salah satu deputi
paling setia Soeharto.
Sedikit yang tahu bahwa Soeharto
juga merebut posisi Komandan KOTI. Menariknya, tidak ada indikasi bahwa Omar
Dhani, sekutu Sukarno, berusaha memobilisasi KOTI, meskipun KOTI secara resmi
berada di bawah komandonya pada pagi 1 Oktober 1965.
Selama ini Soeharto dikisahkan
sekadar membuat pengumuman publik pada tanggal 1 Oktober, ketika ia
menyatakan bahwa TNI sudah berhasil mengendalikan situasi, termasuk di
“pusat” dan “daerah”. Tidak diketahui apa yang dimaksud dengan pernyataan
ini. Soeharto juga tidak bisa dibuktikan telah melakukan kudeta pada 1
Oktober. Alih-alih, bukti-bukti yang ada selama ini hanya menunjukkan bahwa
ia bersikap tidak patuh pada Sukarno ketika diperintahkan turun dari posisi
komandan ABRI.
Kini dapat diungkapkan Soeharto
bertindak lebih aktif dalam mengonsolidasikan posisinya dan bergerak secara
mandiri dari Sukarno. Bukti-bukti baru berupa dokumen menunjukkan bahwa
Soeharto mengirim telegram ke panglima-panglima regional pada pagi 1 Oktober,
dalam posisinya sebagai komandan ABRI. Ia menyatakan bahwa kudeta yang
dipimpin Gerakan 30 September telah terjadi di ibu kota. Perintah ini
kemudian diikuti dengan instruksi kiriman Komandan Mandala I Sumatera Letjen
Ahmad Mokoginta, yang menyatakan bahwa para komandan militer harus
“[m]enunggu perintah/instruksi selandjutnja dari Panglatu”.
Komando-komando lanjutan ini
datang pada tengah malam ketika Mokoginta mengumumkan melalui radio bahwa
seluruh perintah Soeharto harus “dipatuhi”, bertentangan dengan perintah
Sukarno kepada Soeharto untuk mengundurkan diri. Mokoginta pun memerintahkan
“segenap anggota Angkatan Bersendjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas
contra-revolusi ini dan segala bentuk penchianatan2 dan sematjamnja sampai
keakar2nja.” Dari instruksi-instruksi sejenis yang bisa diketahui, pesan
inilah yang muncul paling awal.
Tindakan Mokoginta mengeluarkan
instruksi tersebut dalam posisinya sebagai komandan Mandala I punya nilai
yang sangat penting. Kini bisa diketahui bahwa komando daerah Sumatera
diaktifkan pada pagi hari 1 Oktober untuk tujuan eksplisit memfasilitasi
kampanye pemusnahan oleh militer. Darurat militer juga diberlakukan di
seluruh Sumatera.
Sementara itu di Jakarta, Kostrad
dan RPKAD digunakan untuk meluluhlantakkan Gerakan 30 September dari 1 hingga
2 Oktober. Pada 3 Oktober, Jakarta dinyatakan dalam keadaan perang. Selama
beberapa hari berikutnya, Soeharto menuntut sumpah setia dari para komandan
militer di seluruh negeri. Pada saat bersamaan, pers dibungkam dan para
pemimpin sipil dilumpuhkan.
Pengambilalihan angkatan
bersenjata dan penundukkan atas ruang-ruang sipil oleh militer memuncak pada
pidato Soeharto pada hari ulang tahun TNI pada 5 Oktober di Jakarta. Tepat di
saat Sukarno sulit mengambil keputusan, Soeharto secara terbuka memunculkan
dirinya sebagai kingmaker tanpa pesaing. Soeharto tidak menyatakan kudeta pada
1 Oktober karena memang tak perlu melakukannya.
Rantai
Komando
Aksi-aksi pembunuhan mulai
bergulir beberapa hari setelah militer berhasil merebut negara. Pada saat
itu, fase-fase kekerasan terlihat jelas. Setelah menyatakan niatnya untuk
“membasmi” Gerakan 30 September pada tengah malam 1 Oktober, TNI
memerintahkan warga sipil untuk berpartisipasi dalam kampanye militer sejak 4
Oktober. TNI pun mendirikan "Ruang Yudha" (sentral koordinasi
perang non-konvensional terhadap PKI) di Aceh pada 14 Oktober untuk
memfasilitasi kampanye pemusnahan oleh militer. Pada setiap saat, seluruh
tindakan militer dikoordinasikan melalui sistem komunikasi dua arah yang
kompleks dan membentang sampai ke tingkat desa. Militer menggunakan banyak
rantai komando untuk menggelar kampanye ini secara nasional.
Gerakan 30 September membagi
Indonesia menjadi empat wilayah: Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Indonesia
Timur. Militer memfokuskan fase pertama serangannya di Sumatera dan Jawa,
keduanya sebagai pusat ekonomi dan penduduk, sebelum memperluas jangkauannya.
Seiring militer bersiap menggelar "operasi penumpasan" terhadap
kelompok komunis, pembagian kerja pun mulai dilakukan di seantero negeri.
Di Sumatera, sangat masuk akal
bagi pucuk pimpinan militer untuk menggunakan KOTI, Kolaga, dan komando
regional di bawah kepemimpinan Mokoginta. Dokumen internal kedutaan besar AS
menunjukkan bahwa Sumatera digunakan sebagai "test case" (daerah
percobaan) oleh militer karena mereka bisa menerapkan darurat militer di
daerah ini. Artinya, para komandan tak hanya mampu mengendalikan angkatan
bersenjata tetapi juga penduduk sipil. Di Sumatera, pembunuhan di muka umum
dimulai pada 7 Oktober dan berlanjut ke tahap pembunuhan massal secara
sistematis yang dimulai pada 14 Oktober.
Di Jawa dan Bali, angkatan
bersenjata mengoordinasikan serangan melalui komando Kostrad dan RPKAD. Pada
dasarnya, komando-komando ini sangat lincah (mobile). Mereka dapat beroperasi
tanpa koordinasi dengan Kodam setempat yang, di Jawa, misalnya, dianggap
telah cacat karena bersimpati pada Gerakan 30 September. Sebenarnya, Jawa
Tengah adalah satu-satunya tempat di mana komando militer lokalnya mendukung
Gerakan 30 September (sekalipun Bali dan Sumatera Utara memiliki gubernur
yang berafiliasi dengan PKI).
Kostrad pertama kali digunakan
untuk melumpuhkan Gerakan 30 September di ibukota sebelum akhirnya memelopori
serangan-serangan di Jawa Tengah sejak tanggal 18 Oktober. Pada Desember,
RPKAD pindah ke Bali. Komandan RPKAD juga ditugaskan untuk mengoordinasi
sebuah jaringan nasional regu-regu pembunuh yang terdiri dari orang-orang
sipil.
Seperti halnya di Sumatera,
militer di Kalimantan memiliki komando Mandala-nya sendiri di bawah komando
KOTI dan Kolaga. Namun, meskipun komando Mandala II (di bawah Mayor Jenderal
Maraden Panggabean) memiliki potensi operasional yang sama dengan Mandala I,
tidak tampak ada kampanye pemusnahan militer di wilayah tersebut hingga
Oktober 1967. Demikian pula kampanye pemusnahan militer di Indonesia Timur
yang tidak dimulai hingga Desember 1965.
Alasan penundaan disebabkan oleh
minimnya kepentingan strategis pemerintah di daerah-daerah ini. Sumatera dan
Jawa adalah pusat ekonomi dan memiliki demografi terpadat. Sementara Bali,
yang dikenal sebagai pusat aktivitas PKI, menjadi prioritas serangan militer
gelombang kedua. Ketika kendali militer meluas, skala pembunuhan massal pun
membesar.
Pada akhir 1965, sebuah upaya
untuk memusatkan kampanye penumpasan oleh militer pun dimulai. Soeharto
mendirikan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada
6 Desember. Kendati komando ini banyak disorot karena berperan mengoordinasi
serangan militer, tapi kenyataannya keberadaan Kopkamtib tidak diperlukan
dalam kampanye awal pemusnahan yang digalakkan militer. Pembantaian terburuk
di Aceh (yang mengawali episode pembunuhan massal dalam kurun waktu
1965-1966), misalnya, sudah berakhir pada saat Kopkamtib didirikan di
Sumatera.
Walaupun kepemimpinan militer
nasional memilih untuk mengoordinasikan kudeta dan kampanye pemusnahan
melalui jaringan komando yang semi-otonom dan berbasis wilayah, hal tersebut
tidak mengurangi taraf sentralisasi koordinasi militer di balik genosida.
Demikian pula, cara kerja semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia.
Genosida terhadap orang Yahudi atau Holocaust yang dilakukan Nazi di Jerman
juga dikoordinasi melalui banyak rantai komando yang berbasis wilayah.
Tingkat koordinasi di tingkat
lokal inilah yang memungkinkan berkembangnya pola-pola berskala nasional yang
terlihat jelas dalam pembunuhan-pembunuhan selanjutnya. Tujuan utama dari
kekerasan ini adalah untuk mengonsolidasikan perebutan kekuasaan negara oleh
militer.
Sekarang jelas bahwa Soeharto
memainkan peran penting dalam koordinasi di balik kudeta militer dan kampanye
penumpasan setelahnya. Militer tidak segan-segan mengambil langkah untuk
"menyelamatkan" negara dari kudeta 1 Oktober 1965. Malah, mereka
secara aktif berusaha merebut kekuasaan, dengan cara memanfaatkan aksi-aksi
Gerakan 30 September sebagai katalis guna menjalankan rencana jangka panjang kudeta
militer.
Dalam pengambilalihan kepemimpinan
pada hari itu, Soeharto tak hanya merespons aksi Gerakan 30 September, tetapi
juga menjalankan skenario jangka panjang dalam kepemimpinan militer (rencana
kudeta). Pembunuhan massal setelahnya digunakan untuk meneror penduduk dan
menghilangkan seluruh potensi perlawanan terhadap rezim militer baru.
Trauma periode ini masih
menghantui Indonesia hingga sekarang. Dua puluh tahun sejak reformasi dan 53
tahun sejak Orde Baru berkuasa, ini saat yang tepat untuk membicarakan kudeta
militer Indonesia 1965 secara terbuka.
Untuk meruntuhkan propaganda Orde
Baru, saya mengusulkan agar peristiwa ini dinamakan kembali sebagai
"G30S/Militer". ●
|
Catatan :
Tulisan ini diterjemahkan oleh Irma
Garnesia dari "There’s now proof that Soeharto orchestrated the 1965
killings" yang dimuat di “Indonesia at Melbourne” pada 26 Juni 2018.
Penerjemahan dan penerbitan di Tirto atas seizin penulis dan penerbit. Edisi
Indonesia sudah diperiksa oleh Jess Melvin sebagai penulis.
http://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/theres-now-clear-proof-that-soeharto-orchestrated-the-1965-killings/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar