Jihadis
Literasi
Said Aqil Siraj ; Ketua Umum PBNU
|
KOMPAS,
29 Agustus
2018
Deradikalisasi kerap
diibaratkan sebagai upaya diagnostik terhadap ”penyakit” radikal yang diidap seseorang
dan kemudian mencari pengobatan yang tepat.
Ketepatan bisa berkait
jenis obatnya, takarannya, dan juga cara pengobatannya. Namun, tahapan deradikalisasi yang dilalui secara sistemis ini sering
kali masih saja ”terpental” oleh ganasnya ”virus” radikal yang melilit
seseorang, padahal sudah melibatkan para pakar yang jawara mendiagnosis,
diperkuat tim peneliti dan penindak berpengalaman serta didukung dana besar.
Faktanya, radikalisme terus bertumbuh dan terorisme masih jadi ancaman.
Ada yang berceloteh
mungkin hal ini karena militansi pegiat deradikalisasinya yang masih ”loyo”.
Tak sekuat militansi kalangan radikal yang siap bekerja atas nama jihad.
Entah kenapa mereka ini mudah tersihir oleh paham radikal sehingga tanpa
pakai ”ransum” yang menggiurkan mereka
siap berjihad untuk menggalang kekuatan. Mereka mau dibodohi pakai
dalil-dalil keagamaan yang disampaikan secara picik, tanpa pendidikan
literasi yang sesuai standar (mu’tabar). Dan, nyatanya, mampu membakar
semangat dan militansi yang menyala tiada padam.
Sungguh ini seakan
membalik-balik logika mapan. Lagi-lagi kisah satu keluarga yang bersedia
melakukan aksi bom bunuh diri di gereja di Surabaya, serta sederet cerita
tentang tindakan melawan akal sehat lainnya, membuat kita terus mengaduk-aduk
pikir sembari mencari jalan terbaik untuk deradikalisasi dan pencegahan dari
paham radikal. Ternyata kita juga tidak lantas boleh ”kalap” dengan melakukan
kegiatan deradikalisasi dan pencegahan radikal secara masif, yang akhirnya
tampak bersifat ”seremonial” dan ”selebrasi”.
Merintis
yang tercecer
Saya dibuat terkagum saat
bertemu seorang pegiat deradikalisasi ”partikelir”. Dia bekerja sendirian dan
dengan pendanaan mandiri. Istilahnya, ini ”gerakan klandestin” (tandzim
sirri). Ya, layaklah saya sebut dia ”beraksi” secara ”lone wolf”. Dari
keheningan dan semak-semak rimbun tak terlihat mata khalayak, tiba-tiba dia
bergerak begitu gesit sehingga menghasilkan amaliyat yang bermanfaat. Saya
berharap gerakannya ini kelak bisa lebih berkembang menembus batas sekaligus
mampu membobol kebuntuan dalam program deradikalisasi dan pencegahan
radikalisme.
Ceritanya, dia mendirikan
sebuah komunitas baca dengan nama ”Rumah Daulat Buku” (Rudalku) yang punya
tagline: ”Banyak Baca Jadi Terbuka, Banyak Bacaan Jadi Toleran”. Rumah baca
ini khusus diampu oleh eks narapidana teroris (napiter). Dengan militansi
yang tinggi, dia berusaha mendorong eks napiter untuk mau mendirikan rumah
buku, cukup di rumahnya. Tidak perlu buat tempat khusus yang hanya akan
memakan biaya besar. Rumah bisa dijadikan tempat yang cocok untuk taman baca
dan membangun kreasi serta ikhtiar yang bermanfaat secara nyata bagi penghuni
dan masyarakat sekitarnya.
Saat ini sudah terbentuk
beberapa rumah daulat buku di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara
(Medan), dan Sumatera Selatan (Palembang). Jumlah ini masih akan terus
berkembang berkat semangat, ketelatenan, dan kegigihannya mendekati serta
mendorong eks napiter untuk mendirikan rumah baca tersebut.
Sepaket itu, dia juga
mengadakan pengajian bulanan khusus bagi eks napiter secara berkala. Dalam
pengajian ini dikumpulkan sekitar 10 eks napiter. Penceramahnya dari kalangan
yang punya basis keilmuan keagamaan yang memadai. Dalam pengajian itu juga
digunakan rujukan buku atau kitab untuk mendukung dan membuktikan kebenaran
sikap moderat (wasathiyah).
Konsepnya sederhana. Eks napiter ini dulunya adalah orang-orang
biasa yang menjalankan kehidupan keagamaannya secara normal. Bahkan tak
jarang di antara mereka yang tadinya aktif di ormas keagamaan moderat dan
kemudian ”hijrah” ke jemaah radikal. Setelah mereka mengikuti pengajian dari
para mentor yang keras, akhirnya mereka beralih wajah menjadi keras pula.
Pengajian yang mereka
ikuti sifatnya kecil-kecilan, cukup di masjid atau juga di rumah. Bentuknya
seperti lazim dipakai kalangan radikal adalah halaqoh, tarbiyah, atau usroh.
Sebenarnya bukan semata ”bentuk” indoktrinasinya, tetapi yang menarik adalah
semangat dan ketelatenan dari mentornya untuk menanamkan pandangan-pandangan
radikal keagamaannya. Dengan sikap mental seperti ini membuahkan hasil. Maka,
tidak sedikit yang terbuai oleh doktrin keras mereka dan jadilah
militan-militan yang tangguh yang siap berkorban demi cita-cita utopia.
Di sinilah model pengajian
kelompok radikal ini dicoba copy paste. Lalu dibuatlah pengajian secara rutin
dengan metode yang tidak jauh beda dengan yang dilakukan jemaah radikal.
Tentu saja bedanya pengajian yang ini tujuannya untuk mengindoktrinasi
moderasi keagamaan. Melalui pengajian moderasi dalam lingkup kecil ini,
ternyata lebih tepat sasaran dan tepat metode.
Hasilnya cukup
mengagetkan. Para eks napiter yang mengikuti pengajian tersebut merasa
mendapat ilmu baru. Misalnya, mereka menjadi sadar ternyata tidak semudah itu
menafsirkan ayat Al Quran dan hadis. Perlu metodologi dan rujukan ulama yang
benar-benar tepercaya. Tidak seperti sebelumnya, mereka hanya mendapatkan
informasi soal ayat yang disajikan secara ”instan” seperti tentang jihad,
tanpa ada penelaahan secara menyeluruh dengan berbasiskan metode penafsiran
yang mendalam.
Pengajian ini satu paket
dengan pendirian rumah buku, yang sesungguhnya menjadi landasan awal untuk
moderasi bagi eks napiter dan juga pencegahan. Konsep literasi ini berdasar
pada tesis bahwa radikalisme bisa menjangkiti seseorang karena kurangnya
membaca. Sebaliknya, semakin seseorang banyak membaca, dia akan terbuka
wawasan dan pengetahuannya sehingga tidak mudah terpengaruh paham radikal.
Agenda terpenting dalam
pendirian rumah buku ini sejatinya hendak mendorong para eks napiter yang
mendirikannya menjadi ”agen perubahan” bagi masyarakat, minimal masyarakat
sekitar rumah tinggalnya. Dengan rumah buku ini, mereka didorong untuk mampu
menebarkan budaya baca dan menaburkan pikiran moderat kepada warga sekitar.
Tujuan ini sekaligus bermanfaat di dua ranah, yaitu deradikalisasi dan
pencegahan masyarakat dari bujuk rayu radikalisme.
Jihad
baru
Upaya deradikalisasi
selama ini belum merambah pada literasi untuk eks napiter. Gerakan literasi
yang ada lebih banyak menyasar masyarakat umum dalam rangka pencegahan
radikalisme, seperti pelatihan anti-hoaks atau mengelola media sosial yang
sehat.
Komunitas pecinta buku dan
taman bacaan memang sudah cukup bertumbuh di sejumlah daerah. Ini tentu fakta
yang menggembirakan. Hanya saja, komunitas buku yang terbentuk hampir
semuanya tidak menjamah para eks napiter. Artinya, para eks napiter belum
diposisikan sebagai figur yang mampu mengelola taman baca. Mereka masih lebih
banyak dijadikan sebagai ”komoditas” yang ujungnya menjadikan mereka ”anak
manja” dan ”matre”, yang bila tidak ada bantuan materi mereka enggan untuk
mengikuti program seperti deradikalisasi. Selain itu, mereka belum dipandang
sebagai insan-insan yang bisa diubah haluannya dari ”jihadis teror” ke
”jihadis literasi” sebagai rintisan
mewujudkan ”jihad baru”.
Kita perlu melahirkan
lebih banyak ”jihadis literasi” yang punya militansi tinggi, bekerja tanpa
iming-iming, serta ditempa kegigihan dan ketelatenan. Radikalisme yang
akarnya juga bersumber dari akibat kurang baca sudah seharusnya ditandingi
dengan menggalakkan gerakan literasi untuk moderasi dan membentengi
masyarakat dari pengaruh radikalisme. Kita yakin, literasi bisa mengikis
radikalisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar