RAPBN
2019: Realistis, Adaptif
Anton Hendranata ; Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia Tbk
|
KOMPAS,
29 Agustus
2018
Melihat tari Ratoh Jaroe
pada pembukaan Asian Games 2018 membuat kita berdecak kagum, merinding, dan
bangga karena penampilan yang super-apik dan memesona dari anak bangsa.
Teladan dan pesan moralnya
sangat dalam, ada 1.600 penari amatir (bukan profesional), tetapi bisa
menampilkan kebersamaan dan kekompakan yang penuh dinamika, harmonisasi,
keindahan, energik, dan keakuratan. Satu buah hasil kerja keras, saling
percaya satu sama lain, dengan tujuan sama.
Akhir-akhir ini, tantangan
ekonomi global sangat menantang dan penuh ketidakpastian, serta berimbas
negatif pada perekonomian nasional. Oleh karena itu, kita sangat butuh APBN
yang apik, layaknya tari Ratoh Jaroe.
Kita butuh APBN yang
membuat sehat dan robust perekonomian domestik walaupun guncangan dan
ketidakpastian perekonomian global makin sulit diantisipasi dan dikuantifikasi.
Kita butuh APBN yang mampu diterjemahkan dan diimplementasikan dengan efektif
di jajaran pemerintah pusat sampai daerah dan direspons dengan sangat baik
oleh pelaku usaha dan masyarakat. Bukan hanya angka-angka statistik yang
tanpa makna, yang sulit diaplikasikan di sektor riil.
Hati-hati,
moderat
Berdasarkan asumsi-asumsi
makroekonomi yang mendasari RAPBN 2019, aura kehati-hatian sangat kental
sehingga pemerintah cenderung bersifat moderat. Pertumbuhan ekonomi
diperkirakan 5,3 persen, sedikit lebih baik dibandingkan 2018, yang mungkin
hanya 5,1-5,2 persen. Sementara harga minyak mentah Indonesia (ICP) masih
tinggi 70 dollar AS/barrel, nilai tukar rupiah sekitar Rp 14.400/dollar AS,
dan inflasi 3,5 persen.
Pemerintah sangat
menyadari pemulihan perekonomian global 2019 tak sekuat 2018. Normalisasi
kebijakan moneter AS, perang dagang dan krisis ekonomi Turki menyebabkan
pembalikan arus modal ke AS semakin kuat resonansinya sehingga dollar AS
semakin berjaya terhadap mata uang dunia, termasuk rupiah.
Di RAPBN 2019, pemerintah
sangat serius menjaga daya beli masyarakat, dengan target inflasi sangat
rendah 3,5 persen (asumsi yang sama dengan tahun ini). Dengan asumsi inflasi
yang rendah ini, secara implisit, pemerintah cenderung tidak akan melakukan penyesuaian
harga yang diatur pemerintah (tarif listrik dan BBM) di tahun 2019 walaupun
harga minyak dunia masih tinggi dan dollar AS menguat.
Pengalaman awal 2017,
ketika terjadi kenaikan tarif listrik, dampaknya sangat negatif dan lama ke
perekonomian, yaitu hampir 1-1,5 tahun. Isu pelemahan daya beli masyarakat
sangat menonjol dan mengkhawatirkan waktu itu, terutama untuk masyarakat
level menengah ke bawah.
Berkaca dari hal itu,
pilihan rasional dan realistis adalah pemerintah tetap menyediakan bantalan
subsidi energi sekitar Rp 157 triliun di RAPBN 2019 untuk menahan laju
kenaikan tarif listrik dan BBM, agar daya beli masyarakat relatif terjaga.
Tentu, ini bukanlah kebijakan yang ideal dan tanpa risiko, karena impor
minyak bisa melonjak dan memperlebar defisit neraca transaksi berjalan, yang
kemudian bisa memukul rupiah. Besarnya perhatian pemerintah terhadap daya
beli masyarakat dan ekonomi juga terlihat dari insentif perpajakan kenaikan
pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp 23 juta (tahun 2013) menjadi Rp 54
juta dan penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) UMKM dari 1 persen menjadi
0,5 persen.
Keberpihakan
Oleh karena itu, tak elok
kalau RAPBN 2019 dikatakan tak berpihak kepada kaum lemah. Buktinya, alokasi
pengeluaran perlindungan sosial meningkat signifikan dari Rp 80 triliun jadi
Rp 103 triliun di 2019. Ada 10 juta keluarga penerima manfaat, hampir tiga
kali lipat dibandingkan 2015 yang tercatat 3,5 juta keluarga.
Yang lebih menarik lagi,
di RAPBN 2019 terjadi peningkatan nilai manfaat dari rata-rata Rp 1,7 juta menjadi sekitar dua kali lipat.
Apakah karena tahun ini tahun politik menjelang pilpres? Hal ini bisa
diperdebatkan, tetapi tren kenaikan jumlah KPM dan manfaatnya terus meningkat
sejak 2015, bukan dadakan, tetapi rencana yang terus disempurnakan
efektivitas dan pelayanannya.
Keberpihakan APBN kepada
masyarakat juga terlihat dari anggaran pendidikan dan kesehatan walaupun
terikat dengan amanat UU. Anggaran
pendidikan dan kesehatan secara otomatis mendapatkan masing-masing 20 persen dan
5 persen dari total belanja APBN. Anggaran pendidikan 2019 dapat jatah Rp 488
triliun, sedangkan kesehatan sekitar Rp 122 triliun dari total belanja negara
Rp 2.440 triliun. Angka fantastis untuk menyiapkan SDM yang unggul,
produktif, dan sehat untuk bersaing di kancah global.
Sebagai catatan, anggaran
pendidikan ini tidak berarti semua dialokasikan ke Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Rp 36 triliun), tetapi juga disalurkan melalui Kementerian Agama
(Rp 52 triliun), Kementerian Riset dan Dikti (Rp 40,2 triliun), dan
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Rp 6,6 triliun). Ada hal
yang janggal dari anggaran pendidikan ini, mengapa Kementerian Agama
mendapatkan anggaran jauh lebih besar dibandingkan Kemdikbud dan Kemenristek
dan Dikti? Bukankah logikanya, seharusnya lebih besar ke Kemdikbud atau
Kemenristek dan Dikti dibandingkan Kementerian Agama?
Pembiayaan
dan risiko
Beberapa paparan di atas
baru membahas belanja dan dampaknya ke masyarakat. Tidak lengkap kalau
melupakan pembiayaan dan risikonya? Apa betul pemerintah berutang untuk
membayar utang? Kalau kita melihat nominal utang pemerintah, maka kita
sepakat bahwa utang pemerintah naik cukup tinggi.
Pertanyaannya, apakah
adil/ wajar jika hanya melihat kenaikan nilai nominalnya? Seharusnya dilihat
juga kemampuan bayar dan potensi pendapatan ke depannya. Harus diingat, utang
itu bersifat kumulatif. Pemerintah saat ini mendapat warisan utang dari
pemerintah-pemerintah sebelumnya. Jadi, sangat tidak adil, posisi utang
sekarang ditimpakan seluruhnya ke pundak pemerintah sekarang.
Kami melihat ada tren
perbaikan dari pengelolaan utang pemerintah. Pertama, defisit APBN selalu
dipagari di bawah 3 persen terhadap PDB. Tren defisit fiskal cenderung turun
dari 2,59 persen tahun 2015 menjadi sekitar 2,12 persen di 2018 dan di RAPBN
2019 ditargetkan di bawah 2 persen, yaitu 1,84 persen. Dan kedua,
keseimbangan primer menurun signifikan dari defisit Rp 143 triliun di 2015
menjadi Rp 65 triliun pada 2018 dan turun lagi hanya Rp 22 triliun di RAPBN 2019. Hal ini
menunjukkan bahwa tren gali lubang tutup lubang makin terkikis dalam anggaran
pemerintah.
Jika pengelolaan utang
pemerintah tidak rasional dan hati-hati, serta menimbulkan risiko tinggi, tak
mungkin Indonesia mendapatkan status layak investasi dari tiga lembaga
pemeringkat internasional yang mumpuni, yaitu Moody’s, S&P, dan Fitch,
setelah menunggu hampir 20 tahun. Namun, kita harus tetap waspada karena
rasio utang terhadap PDB cenderung meningkat dalam tiga tahun terakhir, dari
27,5 persen di 2015 menjadi 29,8 persen per Juni 2018 dan porsi utang dalam
dollar AS masih sangat tinggi dan dominan.
Satu hal yang cukup
mencolok dari pengelolaan APBN akhir-akhir ini. Sebagai antisipasi,
melesetnya asumsi variabel makroekonomi di APBN dan kian sulitnya memprediksi
perekonomian ke depan. Sejak tahun ini, pemerintah punya penyangga atau
bantalan anggaran yang dimasukkan ke belanja pemerintah pusat dalam bentuk
belanja lain-lain. Belanja lain-lain ini meningkat signifikan 339 persen
menjadi Rp 39 triliun tahun 2018 dari Rp 8,8 triliun tahun 2017 dan naik lagi
174 persen menjadi Rp 106 triliun di RAPBN 2019.
Pos ini adalah ruang
fleksibilitas bagi pemerintah untuk mengantisipasi ketidakpastian ekonomi
global, tak tercapainya penerimaan pajak, pembiayaan yang tak tercapai
melalui penerbitan obligasi, mungkin juga mengantisipasi jika ada bencana
alam, dengan harapan tak mengganggu komitmen belanja pemerintah di
kementerian dan pemerintah daerah.
RAPBN 2019 sedang meniti
jalan untuk semakin kredibel, sehat, dan makin berdampak positif ke
perekonomian. Oleh karena itu, mari kita sambut dan kawal RAPBN 2019 dengan
lebih jernih, rasional, dan jujur untuk mendukung investasi dan daya saing
melalui pembangunan SDM.
Pemerintah tak dapat
berjalan sendirian dan sangat butuh dukungan semua pihak, apalagi tensi
politik makin hangat dan terpolarisasi menjelang pilpres. Kegaduhan politik
yang berkepanjangan mengakibatkan biaya ekonomi sangat tinggi dan pemerintah
tak bisa fokus menggerakkan roda perekonomian. Ekonomi dan politik harus
bergerak harmonis, kita harus berkaca dari filosofi tari Ratoh Jaroe dan
menatap ke depan dengan optimistis, serta terus berbenah dan jangan cepat
puas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar