Jumat, 31 Agustus 2018

RAPBN 2019: Realistis, Adaptif

RAPBN 2019: Realistis, Adaptif
Anton Hendranata  ;  Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia Tbk
                                                      KOMPAS, 29 Agustus 2018



                                                           
Melihat tari Ratoh Jaroe pada pembukaan Asian Games 2018 membuat kita berdecak kagum, merinding, dan bangga karena penampilan yang super-apik dan memesona dari anak bangsa.

Teladan dan pesan moralnya sangat dalam, ada 1.600 penari amatir (bukan profesional), tetapi bisa menampilkan kebersamaan dan kekompakan yang penuh dinamika, harmonisasi, keindahan, energik, dan keakuratan. Satu buah hasil kerja keras, saling percaya satu sama lain, dengan tujuan sama.

Akhir-akhir ini, tantangan ekonomi global sangat menantang dan penuh ketidakpastian, serta berimbas negatif pada perekonomian nasional. Oleh karena itu, kita sangat butuh APBN yang apik, layaknya tari Ratoh Jaroe.

Kita butuh APBN yang membuat sehat dan robust perekonomian domestik walaupun guncangan dan ketidakpastian perekonomian global makin sulit diantisipasi dan dikuantifikasi. Kita butuh APBN yang mampu diterjemahkan dan diimplementasikan dengan efektif di jajaran pemerintah pusat sampai daerah dan direspons dengan sangat baik oleh pelaku usaha dan masyarakat. Bukan hanya angka-angka statistik yang tanpa makna, yang sulit diaplikasikan di sektor riil.

Hati-hati, moderat

Berdasarkan asumsi-asumsi makroekonomi yang mendasari RAPBN 2019, aura kehati-hatian sangat kental sehingga pemerintah cenderung bersifat moderat. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,3 persen, sedikit lebih baik dibandingkan 2018, yang mungkin hanya 5,1-5,2 persen. Sementara harga minyak mentah Indonesia (ICP) masih tinggi 70 dollar AS/barrel, nilai tukar rupiah sekitar Rp 14.400/dollar AS, dan inflasi 3,5 persen.

Pemerintah sangat menyadari pemulihan perekonomian global 2019 tak sekuat 2018. Normalisasi kebijakan moneter AS, perang dagang dan krisis ekonomi Turki menyebabkan pembalikan arus modal ke AS semakin kuat resonansinya sehingga dollar AS semakin berjaya terhadap mata uang dunia, termasuk rupiah.

Di RAPBN 2019, pemerintah sangat serius menjaga daya beli masyarakat, dengan target inflasi sangat rendah 3,5 persen (asumsi yang sama dengan tahun ini). Dengan asumsi inflasi yang rendah ini, secara implisit, pemerintah cenderung tidak akan melakukan penyesuaian harga yang diatur pemerintah (tarif listrik dan BBM) di tahun 2019 walaupun harga minyak dunia masih tinggi dan dollar AS menguat.

Pengalaman awal 2017, ketika terjadi kenaikan tarif listrik, dampaknya sangat negatif dan lama ke perekonomian, yaitu hampir 1-1,5 tahun. Isu pelemahan daya beli masyarakat sangat menonjol dan mengkhawatirkan waktu itu, terutama untuk masyarakat level menengah ke bawah.

Berkaca dari hal itu, pilihan rasional dan realistis adalah pemerintah tetap menyediakan bantalan subsidi energi sekitar Rp 157 triliun di RAPBN 2019 untuk menahan laju kenaikan tarif listrik dan BBM, agar daya beli masyarakat relatif terjaga. Tentu, ini bukanlah kebijakan yang ideal dan tanpa risiko, karena impor minyak bisa melonjak dan memperlebar defisit neraca transaksi berjalan, yang kemudian bisa memukul rupiah. Besarnya perhatian pemerintah terhadap daya beli masyarakat dan ekonomi juga terlihat dari insentif perpajakan kenaikan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp 23 juta (tahun 2013) menjadi Rp 54 juta dan penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) UMKM dari 1 persen menjadi 0,5 persen.

Keberpihakan

Oleh karena itu, tak elok kalau RAPBN 2019 dikatakan tak berpihak kepada kaum lemah. Buktinya, alokasi pengeluaran perlindungan sosial meningkat signifikan dari Rp 80 triliun jadi Rp 103 triliun di 2019. Ada 10 juta keluarga penerima manfaat, hampir tiga kali lipat dibandingkan 2015 yang tercatat 3,5 juta keluarga.

Yang lebih menarik lagi, di RAPBN 2019 terjadi peningkatan nilai manfaat dari rata-rata  Rp 1,7 juta menjadi sekitar dua kali lipat. Apakah karena tahun ini tahun politik menjelang pilpres? Hal ini bisa diperdebatkan, tetapi tren kenaikan jumlah KPM dan manfaatnya terus meningkat sejak 2015, bukan dadakan, tetapi rencana yang terus disempurnakan efektivitas dan pelayanannya.

Keberpihakan APBN kepada masyarakat juga terlihat dari anggaran pendidikan dan kesehatan walaupun terikat dengan amanat UU.  Anggaran pendidikan dan kesehatan secara otomatis mendapatkan masing-masing 20 persen dan 5 persen dari total belanja APBN. Anggaran pendidikan 2019 dapat jatah Rp 488 triliun, sedangkan kesehatan sekitar Rp 122 triliun dari total belanja negara Rp 2.440 triliun. Angka fantastis untuk menyiapkan SDM yang unggul, produktif, dan sehat untuk bersaing di kancah global.

Sebagai catatan, anggaran pendidikan ini tidak berarti semua dialokasikan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Rp 36 triliun), tetapi juga disalurkan melalui Kementerian Agama (Rp 52 triliun), Kementerian Riset dan Dikti (Rp 40,2 triliun), dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Rp 6,6 triliun). Ada hal yang janggal dari anggaran pendidikan ini, mengapa Kementerian Agama mendapatkan anggaran jauh lebih besar dibandingkan Kemdikbud dan Kemenristek dan Dikti? Bukankah logikanya, seharusnya lebih besar ke Kemdikbud atau Kemenristek dan Dikti dibandingkan Kementerian Agama?

Pembiayaan dan risiko

Beberapa paparan di atas baru membahas belanja dan dampaknya ke masyarakat. Tidak lengkap kalau melupakan pembiayaan dan risikonya? Apa betul pemerintah berutang untuk membayar utang? Kalau kita melihat nominal utang pemerintah, maka kita sepakat bahwa utang pemerintah naik cukup tinggi.

Pertanyaannya, apakah adil/ wajar jika hanya melihat kenaikan nilai nominalnya? Seharusnya dilihat juga kemampuan bayar dan potensi pendapatan ke depannya. Harus diingat, utang itu bersifat kumulatif. Pemerintah saat ini mendapat warisan utang dari pemerintah-pemerintah sebelumnya. Jadi, sangat tidak adil, posisi utang sekarang ditimpakan seluruhnya ke pundak pemerintah sekarang.

Kami melihat ada tren perbaikan dari pengelolaan utang pemerintah. Pertama, defisit APBN selalu dipagari di bawah 3 persen terhadap PDB. Tren defisit fiskal cenderung turun dari 2,59 persen tahun 2015 menjadi sekitar 2,12 persen di 2018 dan di RAPBN 2019 ditargetkan di bawah 2 persen, yaitu 1,84 persen. Dan kedua, keseimbangan primer menurun signifikan dari defisit Rp 143 triliun di 2015 menjadi Rp 65 triliun pada 2018 dan turun lagi hanya  Rp 22 triliun di RAPBN 2019. Hal ini menunjukkan bahwa tren gali lubang tutup lubang makin terkikis dalam anggaran pemerintah.

Jika pengelolaan utang pemerintah tidak rasional dan hati-hati, serta menimbulkan risiko tinggi, tak mungkin Indonesia mendapatkan status layak investasi dari tiga lembaga pemeringkat internasional yang mumpuni, yaitu Moody’s, S&P, dan Fitch, setelah menunggu hampir 20 tahun. Namun, kita harus tetap waspada karena rasio utang terhadap PDB cenderung meningkat dalam tiga tahun terakhir, dari 27,5 persen di 2015 menjadi 29,8 persen per Juni 2018 dan porsi utang dalam dollar AS masih sangat tinggi dan dominan.
Satu hal yang cukup mencolok dari pengelolaan APBN akhir-akhir ini. Sebagai antisipasi, melesetnya asumsi variabel makroekonomi di APBN dan kian sulitnya memprediksi perekonomian ke depan. Sejak tahun ini, pemerintah punya penyangga atau bantalan anggaran yang dimasukkan ke belanja pemerintah pusat dalam bentuk belanja lain-lain. Belanja lain-lain ini meningkat signifikan 339 persen menjadi Rp 39 triliun tahun 2018 dari Rp 8,8 triliun tahun 2017 dan naik lagi 174 persen menjadi Rp 106 triliun di RAPBN 2019.

Pos ini adalah ruang fleksibilitas bagi pemerintah untuk mengantisipasi ketidakpastian ekonomi global, tak tercapainya penerimaan pajak, pembiayaan yang tak tercapai melalui penerbitan obligasi, mungkin juga mengantisipasi jika ada bencana alam, dengan harapan tak mengganggu komitmen belanja pemerintah di kementerian dan pemerintah daerah.

RAPBN 2019 sedang meniti jalan untuk semakin kredibel, sehat, dan makin berdampak positif ke perekonomian. Oleh karena itu, mari kita sambut dan kawal RAPBN 2019 dengan lebih jernih, rasional, dan jujur untuk mendukung investasi dan daya saing melalui pembangunan SDM.

Pemerintah tak dapat berjalan sendirian dan sangat butuh dukungan semua pihak, apalagi tensi politik makin hangat dan terpolarisasi menjelang pilpres. Kegaduhan politik yang berkepanjangan mengakibatkan biaya ekonomi sangat tinggi dan pemerintah tak bisa fokus menggerakkan roda perekonomian. Ekonomi dan politik harus bergerak harmonis, kita harus berkaca dari filosofi tari Ratoh Jaroe dan menatap ke depan dengan optimistis, serta terus berbenah dan jangan cepat puas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar