Binatang
Politik
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
25 Agustus
2018
Politik itu kejam. Naluri
untuk mengalahkan demi berebut kekuasaan adalah sifat alamiah politik. Di politik,
unsur ancaman dan kekerasan yang merupakan sifat-sifat hewani, lebih menonjol
ketimbang sifat-sifat manusia yang rasional, dialogis, komunikatif,
koperatif, dan konsensual. Aristoteles (384-322 SM) mendefinisikan manusia
sebagai “binatang politik” (zoon politikon) untuk menyebut sebagai makhluk
sosial. Memang, dalam diri manusia selalu terbalut dua sifat alamiah: baik
dan jahat, kasar dan lembut, adil dan tidak adil.
Thomas Hobbes (1588-1679)
mendeskripsikan manusia sebagai pemangsa. Manusia ibarat serigala bagi sesama
manusia (homo homini lupus). Istilah “manusia serigala” itu dicetuskan
penulis drama Plautus (254–184 SM). Kata Plautus, manusia adalah serigalanya
manusia (lupus est homo homini). Ini menandakan manusia sering menikam sesama
manusia lain. Narasi yang terbangun di politik terlihat dominan soal
kekerasan, kekejaman, saling menjatuhkan. Perebutan kekuasaan menjadi target
dari nafsu kekerasan tersebut.
Dengan konteks itu, dapat
ditelusuri bagaimana kerasnya pertarungan di panggung demokrasi, seperti
pilkada atau pilpres. Sejak Pilpres 2014, pertarungan sengit telah membelah
dua kubu: pendukung Jokowi Widodo dan pendudung Prabowo Subianto. Oleh karena
karakter yang saling memangsa seperti sifat binatang, sampai-sampai dua kubu
itu saling mengejek dengan sebutan binatang. Fans Jokowi dicap “kecebong” dan
fans Prabowo dicap “kampret”. Perang antara “cebonger” versus “kampreter”
begitu akut, sampai ada seruan untuk dihentikan. Perdebatan antar dua kubu
itu di media sosial sungguh tidak produktif, bahkan destruktif.
Apakah demikian sifat
berpolitik? Pertanyaan paling sah diajukan kepada Machiavelli (1469-1527),
tokoh yang “menghalalkan segala cara” demi kekuasaan. Tipu muslihat, licik,
dan kejam sangat efektif untuk mempertahankan kekuasaan. Ini karena,
Machiavelli melihat manusia memiliki sisi lain semirip sifat-sifat binatang
yang rakus, bengis, kejam. Penguasa, menurut Machiavelli, bisa berlagak
seperti singa ( atau rubah. Penguasa yang berkarakter singa sangat kejam dan
menindas, sedangkan penguasa berwatak rubah begitu licik dengan tipu daya.
Sepertinya politik tak
jauh-jauh dari sifat-sifat binatang. Ada “politik dagang sapi”. Istilah itu
menunjuk praktik transaksional, tawar-menawar, atau permufakatan politik
untuk bagi-bagi kekuasaan. Pada era demokrasi parlementer dekade 1950-an,
kabinet sering jatuh-bangun, karena praktik politik dagang sapi. Saking
gusarnya dengan kelakuan politik dagang sapi, Presiden Sukarno menyerukan
untuk mengubur partai politik pada 1956. Sukarno lalu menunjuk tokoh
nonpartai seperti Ir Juanda untuk membentuk kabinet kerja pada 1957.
Ada lagi “kutu loncat”.
Maksudnya politikus berpindah-pindah partai politik. Dalam daftar calon
anggota legislatif Pemilu 2019, tidak sedikit kader partai politik loncat ke
partai lain. Telah lama terjadi kutu-kutu berloncatan setiap menjelang
Pemilu. Banyak yang sinis dengan kutu loncat karena dianggap sebagai pengabdi
pragmatisme politik. Ada yang menilai fenomena kutu loncat memperlihatkan
moralitas politikus yang rendah. Ini karena partai politik identik dengan
komitmen ideologi yang menjadi dasar perjuangan politik.
Binatang berpolitik itu
istilah dan juga kelakuan. Sifat-sifat kebinatangan yang bengis sering
dijumpai di arena politik. Menyerang lawan untuk tujuan mematikan bukanlah
sifat-sifat manusia waras. Lewat media sosial, politik mematikan dilancarkan
dengan menebar berita bohong, hinaan, hujatan, fitnah, kebencian. Serangan
bertubi-tubi agar lawan terpojok dan tak berdaya. Gaya singa maupun rubah
terkadang campur baur.
Munculnya dua pasangan
calon presiden dan wakil presiden di Pilpres 2019, Joko Widodo-Ma’ruf Amin
dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang mengubah konstelasi politik
diharapkan juga mengubah peta persaingan. Politik identitas boleh jadi tak
lagi mujarab. Namun, tetap saja ada ide aneh. Misalnya, ada yang minta lomba
renang capres-cawapres, yang langsung dibalas lomba baca kitab suci. Ada juga
yang mengangkat lagi isu debat capres menggunakan bahasa Inggris. Padahal
baru saja kita terpukau dengan Presiden Rusia Vladimir Putin yang berpidato
dalam bahasa Rusia saat membuka Piala Dunia 2018, Juni lalu.
Lalu, satu lagi kelakuan
binatang yang “berjaya” di politik adalah kerakusan. Sifat rakus menimbulkan
korupsi yang terus merajalela. Negeri ini sudah terlalu berat digelendoti
korupsi. Sudah banyak politikus dan pejabat negara ditangkap KPK, tetapi
korupsi tidak mati-mati. Hari Jumat (24/8/2018) kemarin terdengar Idrus
Marham mundur dari jabatan sebagai menteri sosial karena kasus dugaan suap
PLTU Riau-1.
Itulah anomali politik,
yang sedari awal dikonstruksikan sebagai tempat tersemainya watak-watak
mulia. Dalam “binatang politik”, Aristoteles justru menunjukkan manusia
merupakan satu-satunya “binatang” yang mendapat anugerah kemampuan
berkomunikasi. Bukan justru menunjukkan sifat-sifat kebinatangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar