Pertarungan
Dua Pasang Kuda Pacuan
Dari sisi
kepentingan partai-partai di Pemilu 2024, KH Ma'ruf Amin dianggap lebih
“aman” jika dibandingkan dengan Mahfud MD
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta;
Presidium Asosiasi Ilmuan
Komunikasi Politik Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Agustus 2018
GEGAP
gempitanya proses kandidasi sudah usai. Kini rakyat Indonesia sudah mengetahui
siapa yang akan menjadi penantang Jokowi di Pemilu Presiden 2019. Istilah
populer untuk menggambarkan kompetisi ini sebagai two-horse race. Dalam
Oxford Dictionary maupun dalam Collins Dictionary istilah two-horse race itu
dimaknai sebagai kompetisi, pemilu yang diikuti dua pasangan kandidat yang
sama-sama memiliki peluang menang.
Pertandingan
ulang (rematch) antara Jokowi vs Prabowo mungkin sudah banyak diprediksi
banyak kalangan. Yang mengejutkan justru pilihan mereka terkait dengan calon
wakil presiden yang akan mendampingi. Menarik untuk menganalisis kekuatan dan
kelemahan masing-masing, dilihat dari beberapa variabel yang kerap menentukan
dalam pertarungan elektoral.
Misteri kandidasi
Untuk
kesekian kalinya ilustrasi Michael Gallagher dalam tulisannya, Candidate
Selection in Comparative Perspective: The Secret Garden of Politics (1998),
yang menyebutkan kandidasi ibarat kebun rahasia politik (the secret garden of
politics) terkonfirmasi dalam pemilihan cawapres Jokowi maupun Prabowo.
Banyak
misteri yang tak terungkap secara detail di khalayak luas karena kerap kali
ragam aktivitas dalam penentuan pasangan calon dipertukarkan dari, oleh, dan
untuk elite utama. Bahkan sejumlah nama yang digadang-gadang menjadi kandidat
kuat sebagai cawapres pun hingga detik-detik terakhir proses pengumuman tak
mengetahui persis perubahan politik yang begitu dinamis. Misalnya Mahfud MD,
nama yang berada di urutan teratas sebagai calon wakil presiden mendampingi
Jokowi, baru tahu namanya tidak jadi diambil Jokowi justru di penghujung
waktu jelang deklarasi.
Di
saat detik-detik menegangkan jelang pengumuman, Mahfud MD sempat bersiap di
lokasi yang tidak berjauhan dengan lokasi pengumuman cawapres Jokowi di Menteng.
Inilah salah satu elegi yang kerap mewarnai perjalanan kandidasi. Mahfud MD
secara luar biasa bijak menyikapi hal ini. "Keputusan Pak Jokowi itu
adalah realitas politik yang tak terhindarkan. Meski kaget, saya tidak
kecewa. Saya sudah bertemu berdua dengan Pak Jokowi. Saya memaklumi pilihan
itu sulit dihindarkan. Saya bilang, Pak Jokowi tak perlu merasa bersalah. Itu
hak beliau untuk memutuskan yang terbaik."
Komentar
Mahfud MD ini memberi pesan dua hal. Pertama, kandidasi kerap memunculkan
situasi serbasulit yang membuat calon presiden dalam pilihan-pilihan
dilematis sehingga putusan akhir kerap kali harus realistis. Kedua, kandidasi
melibatkan sejumlah variabel pokok, yakni kekuatan figur, jejaring dukungan
politik, dan strategi dan kepentingan setiap kekuatan politik menyangkut
konteks politik hari ini dan di masa mendatang.
Mengapa
KH Ma'ruf Amin yang akhirnya dipilih Jokowi? Ada sejumlah argumen yang bisa
dikemukan untuk menganalisis fenomena ini. Tentu, sekali lagi bacaan
berdasarkan perspektif orang luar (outsider) yang kerap memiliki keterbatasan
akses ke panggung belakang (backstage) kandidasi yang penuh misteri. Pertama,
Kiai Ma'ruf Amin dianggap figur yang pas dalam menjaga titik keseimbangan
politik.
Sebagaimana
diketahui, Jokowi diusung enam partai parlemen (PDI Perjuangan, PKB, PPP,
Hanura, NasDem, dan Golkar) dan tiga partai nonparlemen (Perindo, PSI, dan
PKPI). Sebagian di antara partai pengusung menyodorkan nama figur utama
menjadi cawapres mereka. Seperti Muhaimin Iskandar (PKB), Romahurmuziy (PPP),
Airlangga Hartarto (Golkar), dan sejumlah nama nonpolitikus yang didukung
baik partai-partai pengusung maupun pendukung.
Suasana
ini berpotensi menimbulkan ego sektoral tiap kekuatan yang harus dijembatani
melalui komunikasi politik yang sangat intens. Bandul politik tentu mengarah
ke sosok di luar ketua umum tiap partai. Pertimbangannya, tentu saja, sosok
yang bisa diterima semua partai. Nama Mahfud MD, KH Ma'ruf Amin, Moeldoko,
dan lain-lain mengemuka.
Di
penghujung kandidasi, variabel figur yang bisa diterima semua partai inilah
yang menjadi realitas politik pilihan Jokowi atas Ma'ruf Amin. Sosok KH Ma'ruf Amin dianggap lebih aman dalam bacaan
kepentingan partai-partai di Pemilu 2024 jika dibandingkan dengan Mahfud MD.
Kedua,
KH Ma'ruf Amin secara simbolis dan fungsional dianggap lebih
merepresentasikan basis pemilih santri. Terutama kaum nahdiyin dari NU
sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia jika dibandingkan dengan
Mahfud MD. Soal representasi, Hanna Pitkin dalam tulisan di buku klasiknya,
The Concept of Representation (1967), menyatakan ada beberapa komponen dalam
representasi. Komponen-komponen tersebut ialah kelompok yang
merepresentasikan (wakil, organisasi, gerakan, negara, dll), kelompok yang
direpresentasikan (konstituen, client, dan lain-lain), sesuatu yang
direpresentasikan (opini, perspektif, kepentingan, diskursus, dan lain-lain),
dan konteks politik yang menjadi latar aktivitas representasi.
KH
Ma'ruf Amin dianggap lebih merepresentasikan NU dan kaum santri, yang direprentasikannya
ialah ceruk konstituen pemilih muslim yang jumlahnya mayoritas di Indonesia.
Opini soal perpaduan ulama-umara, nasionalis-religius sebagai opini atau
perspektif yang direpresentasikannya. Konteksnya tentu saja menghadirkan
suasana tenang, terkendali dalam pemilu dengan mengurangi ketegangan akibat
serangan berbasis isu primordial terutama agama.
Drama
juga terjadi di kubu Prabowo. Pasangan Prabowo-Sandiaga Uno sejujurnya juga
merupakan anomali dalam kandidasi. Karena biasanya paket pasangan
memadumadankan orang dari kekuatan politik berbeda untuk menjadi penambah
suara. Prabowo dan Sandiaga Uno berasal dari satu partai.
Saat
Prabowo menjalin komunikasi politik yang sangat intens dengan SBY dan Partai
Demokrat, terbentuk persepsi dan prediksi bahwa AHY yang akan mendampingi
Prabowo menantang Jokowi. Realitasnya berbeda 180 derajat. Justru muncul
kekisruhan dalam pola hubungan dengan mencuatnya cicitan pengurus Partai
Demokrat, Andi Arief, melalui akun Twitter-nya. Serangan jenderal kardus
terhadap Prabowo, terutama soal mahar politik, menjadi penanda tidak
tercapainya kesepakatan politik yang akan menyandingkan Prabowo-AHY dalam
satu paket.
Figur
Sandiaga Uno ternyata lebih bisa diterima di politik akomodasinya PAN dan
PKS. Lagi-lagi, misteri apa yang membuat PAN dan PKS bisa menerima sosok
Sandiaga dalam kandidasi tak akan bisa diakses secara leluasa oleh publik.
Rumor soal mahar politik dan ragam gosip seputar isu pengkhianatan menjadi
bumbu-bumbu drama yang membuat kandidasi selalu menyimpan misteri hingga
kini.
Persoalan
ini mengingatkan kita pada tulisannya Gary W Cox dalam Making Vote Count
(1997) bahwa pertimbangan dalam perspektif elite soal struktur peluang
(opportunity structure) selalu melibatkan tiga faktor, yakni probabilitas
perolehan suara dari figur, biaya memasuki gelanggang pertarungan (cost of
entry), dan keuntungan dalam kekuasaan.
Pada
akhirnya, Partai Demokrat pun bersikap realistis dengan tetap mendukung
pasangan Prabowo-Sandiaga Uno saat pendaftaran ke KPU. Ketidakhadiran SBY
baik saat deklarasi maupun saat pendaftaran juga menjadi misteri. Wajar jika
hal itu memunculkan tafsir politis, soal kegalauan yang dialami Partai
Demokrat. Dukungannya pada pasangan Prabowo-Sandi diragukan keseriusannya
oleh banyak kalangan, terutama menyangkut daya ikat dukungan Demokrat pada
basis konstituen mereka.
Kekuatan dan kelemahan
Yang
jelas, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang sudah didaftarkan ke
KPU menarik untuk dianalisis dari sudut peta kekuatan dan kelemahannya.
Terutama analisis tentang cawapres tiap pasangan. Bacaan ini penting untuk
memprediksi seberapa ketat persaingan dua kuda pacuan ini. Apakah KH Ma'ruf
Amin dan Sandiaga Uno bisa menjadi insentif elektoral atau tidak bagi
pasangan masing-masing?
Ada
tiga kekuatan utama yang dimiliki KH Ma'ruf Amin saat berposisi sebagai
pendamping Jokowi dalam kompetisi. Pertama, KH Ma'ruf berpotensi mengambil
suara kaum santri, khususnya pemilih nahdiyin yang ceruknya besar di
Indonesia. Figur Ma'ruf sebagai ulama karismatik, Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI), sosok penting dalam organisasi NU, tentu saja diharapkan
dapat mengikat basis-basis pemilih tradisional muslim dengan ketokohan dan
keulamaannya itu.
Tentu
saja, lapis pemilih dalam pemilu selalu ada ceruk basis pemilih sosiologis,
psikologis, dan rasional. Pemilih sosiologis dibangun dengan asumsi bahwa
perilaku memilih ditentukan karakteristik sosiologis para pemilih terutama
kelas sosial, agama, dan kelompok etnik, kedaerahan, dan bahasa. Model ini
dikembangkan secara memadai sebagai model SES (socioeconomic status) lalu
disempurnakan dengan civic voluntary model (CVM).
Selain
lapis sosiologis, tentu ada pemilih psikologis dan rasional yang harus
sama-sama dipersuasi KH Ma'ruf Amin, partai-partai pengusung, dan juga Jokowi
sendiri. Jika Ma'ruf Amin bisa mengoptimalkan politik representasi kaum
santri terutama basis pemilih NU, tentu akan memberi sumbangan suara
signifikan pada keterpilihan Jokowi di periode kedua.
Kedua,
KH Ma'ruf berpotensi menjadi jangkar pemersatu ego sektoral tiap partai
pengusung. Salah satu hal krusial yang dihadapi Jokowi di tengah kekuatan
politik pengusung dan pendukung yang terfragmentasi ialah konsolidasi. Jika
barisan pendukung pecah, akan menjadi masalah. Kehadiran KH Ma'ruf Amin menjadi
semacam jaring pengaman politik dalam rajutan komunikasi politik lintas
partai yang akan sangat membantu proses konsolidasi kekuatan.
Ma'ruf
Amin dinilai tidak menjadi ancaman bagi tiap partai yang berkongsi sehingga
semua kekuatan pengusung dan pendukung bisa secara leluasa bekerja
memenangkan Jokowi sambil mengoptimalkan dampak elektoral dukungan mereka
bagi peningkatan perolehan suara di pemilu legislatif.
Ketiga,
Ma'ruf Amin dapat turut menjaga Jokowi dalam meristriksi isu-isu SARA yang
kerap kali diarahkan kepada Jokowi. Persandingan nasionalis-religius dan
ulama-umara menjadi narasi yang banyak dikemukakan pasangan ini sejak
deklarasi hingga pendaftaran di KPU. Bahkan diprediksi narasi ini juga akan
intens dikonstruksikan saat kampanye sehingga serangan terhadap Jokowi dengan
menggunakan isu SARA tak lagi relevan.
Dengan
demikian, Jokowi bisa lebih fokus mendiseminasikan capaian-capaian
pemerintahannya di periode pertama. Selain bisa fokus, juga mengenalkan
gagasan-gagasan solutif atas problematika yang masih menjadi kekurangan dan
kelemahan Kabinet Kerja yang dipimpinnya.
Kelemahan
KH Ma'ruf tentu ialah jarak komunikasi (communication gap) dengan kalangan
pemilih muda, terutama kelompok milenial yang jumlahnya signifikan juga dalam
Pilpres 2019. Pemilih milenial (generasi Y), plus minus ada 40%-an di Pemilu
2019. Istilah generasi Y dapat kita lacak dari tulisan Don Tapscott, Grown Up
Digital: How the Net Generation is Changing the World (2009).
Generasi
Y atau the echo of the baby boom yang lahir 1977-1997 dan generasi Z yang
lahir 1998 hingga sekarang jumlahnya sangat besar. Jika kedua generasi ini
digabung, pemilih dalam rentang usia 17 hingga 40 tahun ini ada sekitar plus
minus 100 jutaan atau lebih dari separuh jumlah pemilih di Pemilu 2019.
Karakter
kuat generasi Y dan Z sangat lekat dengan model pilihan bebas, jejaring,
kecepatan, integritas, menikmati percakapan yang menyenangkan, dan menjadikan
inovasi sebagai bagian kehidupan mereka. Dalam memilih pemimpin,
kecenderungan generasi Y dan Z tak suka yang bergaya aristokrat dan elitis.
Pola komunikasinya tidak menyukai model linear, tetapi timbal-balik sehingga
interaksi yang tak berbatas menjadi ciri dominannya.
Generasi
ini sering disebut juga sebagai net generation karena sangat intens
berinteraksi melalui kanal media online seperti media sosial. Karakter inilah
yang mesti diantisipasi kubu Jokowi, yakni bandul kelompok milenial yang
sepertinya masih sulit menerima atau tersambung dengan pembawaan KH Ma'ruf
Amin dan sekaligus akan sangat intens digarap Sandiaga Uno.
Bicara
Sandiaga Uno, ada tiga kekuatan utamanya. Pertama, Sandi memiliki tren
dukungan yang terpolarisasi setelah memenangi kontestasi di DKI bersama-sama
Anies Baswedan. Sandi tentu akan mengapitalisasi panggung kemenangannya di
DKI ini untuk memperluas area dukungan terhadapnya di basis-basis pemilih
terutama yang tidak suka, tidak menerima, dan tidak akan memilih Jokowi.
Kedua,
kekuatan logistik yang dimilikinya akan turut membantu pembiayaan proses
pemasaran politik pasangan Prabowo-Sandi, terutama dalam skala kampanye yang
bersifat nasional. Ketiga, gaya komunikasikanya yang masih memungkinkan Sandi
bisa masuk ke kalangan milenial.
Namun,
Sandi juga bisa menjadi kelemahan jika tak mampu mengoordinasikan dan
mengonsolidasikan mesin pemenangan. Misalnya terkait dengan dukungan
Demokrat. Apakah benar Demokrat akan solid mendukung pasangan
Prabowo-Sandiaga Uno setelah prosesi kandidasi yang dianggap cukup
menyakitkan SBY dan Demokrat? Pun demikian dengan PAN dan PKS.
Satu
hal yang pasti, tanding ulang Jokowi dan Prabowo ini akan mendinamisasi pasar
pemilih. Bagi publik, sesungguhnya pertarungan dan pertaruhan kedua pasangan
ini jangan sampai menyebabkan tercederainya kualitas pemilu. Sudah saatnya
kita menyelenggarakan pemilu presiden yang naik kelas! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar