Kurban
dan Kebangsaan
Agus Harimurti Yudhoyono ; Direktur Eksekutif The Yudhoyono
Institute (TYI)
|
REPUBLIKA,
24 Agustus
2018
Memasuki usia 40 tahun,
alhamdulillah saya memperoleh hadiah terindah dari Allah Swt: perjalanan haji
bersama istri tercinta.
Alhamdulillah semua proses
berjalan lancar dan mengesankan, terutama saat wukuf di Arafah, tanggal 10
Dzulhijjah lalu. Berada di padang Arafah, hanya dengan dua lembar kain,
bersama jutaan Muslim dan Muslimah dari seluruh dunia, saya seperti melihat
kilas balik kehidupan saya dan membuat saya merenung.
Pada waktu yang sama, umat Islam
di seluruh dunia merayakan Idul Adha. Di Indonesia, kita lebih akrab dengan
istilah Hari Raya Kurban. Idul Adha merupakan momentum historis saat Allah
SWT memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk mengorbankan sang buah hati yang
telah lama dinantikan kehadirannya, Ismail as, sebagai ujian ketaqwaan dan
kepasrahannya kepada Tuhan semesta alam.
Karena keteguhan hati dan keimanan
Ibrahim as beserta putranya Ismail as, Allah kemudian mengganti penyembelihan
dengan seekor domba.
Riwayat kenabian Nabi Ibrahim as
itu tentu familiar bagi kita semua, karena setiap tahun umat Islam sedunia
memperingatinya. Kendati demikian, hakikat makna dan nilai-nilai yang
terkandung dari ibadah kurban ini selalu relevan dan kontekstual untuk terus
menerus direfleksikan sebagai pengingat komitmen moral, utamanya bagi para
pemimpin bangsa, untuk senantiasa mengedepankan kepentingan rakyat di atas
kepentingan golongannya.
Secara umum, sebagaimana sering
disampaikan oleh para cendekiawan Muslim (Rahman, 1990; Hidayat, 2010;
Madjid, 2004), kurban setidaknya mengandung dua makna dasar.
Pertama, kurban berarti dekat,
yang artinya, kurban merupakan praktik ibadah yang mengekspresi ketaatan
sekaligus kepasrahan diri seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Kedua, kurban juga memiliki makna binatang sembelihan yang dikeluarkan
sebagai wujud pengorbanan sebagian rizki untuk berbagi kebahagiaan dengan
para anggota masyarakat yang berhak menerimanya.
Kedua makna kurban tersebut jelas
menegaskan bahwa Islam mengajarkan kepada kita agar senantiasa menyeimbangkan
antara kesalehan vertikal dan juga kesalehan horizontal. Kesalehan vertikal
akan kehilangan makna jika tidak diimbangi dengan kesalehan horizontal.
Demikian pula sebaliknya, kesalehan horizontal akan terasa kering jika tidak
dilandasi oleh kesalehan vertikal.
Dalam konteks kenegaraan,
nilai-nilai adiluhung ibadah kurban menjadi pengingat yang sangat efektif
bagi para pemimpin dunia untuk senantiasa menjaga keteguhan hati mereka untuk
mengutamakan nasib dan kepentingan rakyatnya.
Laiknya Ismail putra Ibrahim as,
kekuasaan hanyalah titipan yang sewaktu-waktu akan diminta dan harus
dikembalikan kepada yang Maha Memiliki. Karena itu, saat memegang amanah
kepemimpinan, ikhtiar terbaik harus dilakukan guna menghadirkan kemashalatan
yang lebih besar.
Semangat kurban juga menyiratkan
pesan luhur bagi setiap umat manusia untuk berani mengorbankan, memotong,
atau bahkan ‘menyembelih’ setiap nafsu dan sifat-sifat kebinatangan yang
tertanam di dalam jiwa setiap insan.
Adagium klasik 'homo homini lupus’
atau yang berarti ‘manusia adalah serigala bagi sesamanya’, merupakan
penegasan karakter manusia yang apabila tak mampu mengendalikan dirinya,
jiwanya akan dipenuhi oleh nafsu keserakahan.
Untuk itu, manusia diminta
berlatih untuk berani menyembelih apa-apa yang menjadi kecintaannya, termasuk
pangkat dan jabatan.
Dalam konteks kenegaraan, ibadah
kurban mengingatkan kepada kita untuk semakin matang dan dewasa di dalam
mengelola hasrat, nafsu dan syahwat kekuasaan. Semangat dasar perjuangan di
medan politik harus senantiasa diorientasikan kepada kepentingan rakyat dan
nilai-nilai kebangsaan.
Spirit itu selaras dengan apa yang
seringkali diajarkan oleh para Kiai, Ulama dan guru-guru kita, bahwa
kebijakan seorang pemimpin harus didasarkan kepada kemaslahatan rakyat yang
dia pimpin.
Selain mengajarkan semangat
perubahan, ibadah kurban juga mengajarkan kepada kita untuk berbagi kepada
sesama, khususnya mereka yang tidak mampu. Ajaran berbagi ini sarat dengan
pesan-pesan moral berdimensi sosial, yang relevan untuk mengatasi tren
menguatnya karakter individualisme dan apatisme dalam perkembangan masyarakat
modern.
Momentum kurban ini kembali mengetuk nurani
kita untuk membangkitkan empati kolektif dan bergerak untuk mencarikan
solusi-solusi alternatif bagi problem sosial kemasyarakatan.
Karena itu, penyembelihan kurban
hendaknya tidak hanya menjadi seremoni keagamaan yang dilanjutkan dengan
pembagi-bagian daging kurban, tetapi juga menjadi momentum kolektif kita
untuk kembali merapatkan barisan guna meningkatkan solidaritas sosial kita
untuk ikut turun tangan menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan.
Belum lekang dari memori kita,
bagaimana para masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) baru-baru ini
dilanda bencana gempa bumi. Ratusan nyawa menjadi korban, ribuan rumah rubuh,
infrastruktur publik hancur, dan masyarakat Muslim terpaksa merayakan Hari
Raya Kurban di tenda-tenda pengungsian. Kita harus bergerak bersama untuk
bersinergi, saling membantu, dan meringankan beban saudara-saudara kita di
sana.
Solidaritas dan kolektivitas ini
harus terus dijaga, untuk menata hati dan pikiran kita guna ikut
menyelesaikan problem-problem struktural bangsa. Tentu semua ini bukan
pekerjaan mudah. Karena itu, kita membutuhkan kegigihan dan semangat pantang
menyerah untuk menghadapi berbagai persoalan bangsa.
Pesan nilai solidaritas, kegigihan
dan sikap pantang menyerah itu pula yang terefleksikan dalam dalam tata cara
ibadah Haji, prosesi ibadah yang juga didasarkan pada napak tilas semangat
perjuangan keluarga Ibrahim as dan Siti Hajar.
Betapapun pemerintah Saudi
berupaya memudahkan jamaah dan banyak jamaah yang gunakan fasilitas Haji
Plus, tetap saja setiap jamaah harus berjuang menyelesaikannya, melawan
malas, rasa capek, hawa panas, maupun jarak serta situasi yang tidak selalu nyaman.
Ini semua menjadi refleksi
berharga bagi kehidupan sehari-hari kita untuk senantiasa bersemangat
mengatasi segala tantangan dan cobaan yang menghadang. Kita juga diingatkan
untuk terus meluruskan niat dalam
berjuang mewujudkan kepemimpinan yang adil untuk rakyat.
Ditilik dari rukun haji, ihrom
mengandung makna kesucian dan tercegahnya kemungkaran, kemudian wukuf berarti
ketundukan, lalu thawaf merefleksikan makna fokus dan penghambaan,
selanjutnya sa’i memuat makna harapan, serta tahallul diartikan sebagai
kepasrahan.
Perayaan Idul Adha sejatinya
merupakan paket pelajaran berharga bagi kita semua, untuk kembali
merefleksikan akan pentingnya nilai-nilai kepatuhan, loyalitas, kepasrahan,
pengorbanan, solidaritas, kegigihan, dan pentingnya menjaga mimpi, harapan
serta semangat perjuangan.
Dengan berkomitmen untuk merawat
dan mendedikasikan diri pada tegaknya nilai-nilai luhur tersebut, kita akan
menjadi bangsa yang kuat, sekuat Ibrahim, Hajar dan Ismail saat menghadapi
ujian dan pilihan sulit dalam perjalanan kehidupan. Semangat Idul Adha ini
mengajarkan kepada kita sebagai anak bangsa agar senantiasa kuat, matang dan
tidak gagap dalam menghadapi berbagai macam tantangan dan turbulensi yang
berpotensi mengoyak kewibawaan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar