Merdeka
sebagai Proses
Ignas Kleden ; Sosiolog
|
KOMPAS,
24 Agustus
2018
Kemerdekaan adalah suatu
kenyataan dan sekaligus proses, dan proses itu terus kita alami sepanjang
hayat sebagai keterlibatan yang tak terelakkan.
Pada 17 Agustus 1945,
melalui Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta, kemerdekaan Republik
Indonesia dihadirkan dalam sejarah dunia sebagai suatu realitas politik yang
berangsur-angsur diakui oleh bangsa dan negara lain.
Realitas itu dicoba
disangkal dan dihapus kembali oleh kekuatan kolonial Belanda. Namun, proses
penyangkalan itu dikontestasi oleh berbagai perlawanan kekuatan rakyat yang
akhirnya membuat dunia semakin yakin bahwa kemerdekaan itu bukanlah sekadar
gertakan sepihak dari beberapa golongan pribumi di bekas Hindia Belanda,
melainkan jadi realisasi general will dalam membebaskan diri dari kekuasaan
asing untuk menjadi bangsa dan negara
yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, atas namanya sendiri.
Sedari awal kemerdekaan
itu terlibat dalam proses mengafirmasi
kehendak tersebut sambil berhadapan dengan pahit getir berbagai
tantangan. Jauh sebelum revolusi
kemerdekaan, sudah berulang kali ada usaha di berbagai tempat untuk
membebaskan penduduk setempat dari kungkungan kekuasaan kolonial.
Teuku Umar, Teuku Cik di
Tiro, Panglima Polem, dan Cut Nya Dien di Aceh; Imam Bonjol di Sumatera
Barat; Pangeran Diponegoro di Jawa, dan Sultan Hasanuddin di Sulawesi Selatan
adalah beberapa nama yang memimpin percobaan yang meluas dan berlangsung
lama, serta menelan biaya besar untuk kedua belah pihak yang terlibat
pertempuran bertahun.
Perang Diponegoro atau
disebut juga Perang Jawa selama lima tahun (1825-1830) menguras keuangan
Pemerintah Hindia Belanda, yang
semakin memperparah keuangan pemerintah di negeri Belanda sendiri akibat
runtuhnya Uni Belanda-Belgia yang terbentuk
dalam Kongres Vienna 1815, setelah Napoleon Bonaparte kalah telak
dalam pertempuran Waterloo pertengahan Juni 1815. Pemberontakan Belgia pada
1830, yang meruntuhkan Uni Belanda-Belgia, dicoba dipadamkan oleh Belanda
untuk merebut kembali daerah kekuasaannya yang terancam hilang oleh
kemerdekaan Belgia. Dalam perang
Belanda-Belgia, 1831-1832, Belanda kalah oleh Belgia, yang kemerdekaannya
terpaksa diakui Belanda pada 1839.
Peperangan yang dihadapi
Belanda di Eropa dan di Hindia Belanda pada tiga dekade pertama abad ke-19
telah mengeruk habis dana pemerintah baik di Belanda maupun di Hindia
Belanda. Berbagai pihak diminta
menyusun proposal tentang kiat mengisi kembali kas pemerintah yang sudah
habis terkuras. Akhirnya proposal yang
disusun oleh Van den Bosch diterima oleh Ratu Belanda, yang kemudian
mengangkat Van den Bosch menjadi gubernur jenderal di Hindia Belanda,
1830-1833.
Di Jawa, Van den Bosch
langsung menerapkan proposalnya yang kemudian dikenal sebagai Cultuurstelsel
atau Tanam Paksa yang diberlakukan selama 40 tahun (1830-1870). Kebijakan itu
mengharuskan petani Jawa menyerahkan seperlima tanahnya untuk ditanami
tanaman ekspor, khususnya tebu, kopi, dan indigo atau 66 hari kerja dalam
setahun untuk bekerja di perkebunan pemerintah. Hasil tanaman ekspor dari
seperlima tanah petani harus dijual kepada pemerintah dengan harga yang ditetapkan
pemerintah.
Sistem tanam paksa yang
membuat petani Jawa miskin dan merana, membawa hasil luar biasa untuk
keuntungan pihak pemerintah kolonial dan negara induknya. Sebelum 1850,
jumlah uang yang dikirim dari Hindia Belanda ke negeri Belanda adalah setara
dengan 19 persen dari seluruh penerimaan negara (state revenue), sedangkan
dalam masa 1851-1860 uang yang dikirim
ke negeri Belanda dari Hindia Belanda setara dengan 32 persen dari seluruh
penerimaan negara. Amsterdam menjadi pasar dunia yang terpenting untuk hasil
pertanian tropis, khususnya gula dan kopi.
Sutan Takdir Alisjahbana
(STA), dalam Polemik Kebudayaan tahun 1930-an, pernah mengajukan kritik bahwa
menganggap Diponegoro, Hasanuddin, Imam Bonjol, Teuku Umar, dan Cut Nya Dien
sebagai pahlawan-pahlawan nasional bukanlah pendapat yang berdasarkan pada
kenyataan sejarah. Sebab, para pemimpin perlawanan terhadap pemerintah
kolonial pada waktu itu berperang dan berjuang bukan untuk Indonesia yang
belum ada, melainkan untuk daerah mereka masing- masing. Mereka mungkin
penting sebagai pahlawan lokal untuk daerahnya, tetapi bukan pahlawan
nasional.
Gerakan
kebangsaan
Kritik STA itu tidak
menafikan kenyataan sejarah bahwa ada usaha di beberapa daerah di Nusantara
untuk melepaskan diri dari kungkungan kuasa kolonial, bahkan dengan jalan
peperangan. Kenyataan ini tentu saja masuk dalam memori kolektif berbagai
kelompok lain di Tanah Air serta memberikan keberanian dan motivasi untuk
membebaskan diri dari kekuasaan asing dengan cara-cara yang dimungkinkan.
Gerakan kebangsaan dalam
arti sebenarnya baru dimulai pada awal abad ke-20 setelah paham nasionalisme
yang berkembang di Eropa mulai diserap oleh kesadaran dan pemikiran kaum
terpelajar yang memperoleh pendidikan Barat sebagai implementasi kebijakan
balas budi kepada kaum pribumi, yang didorong oleh kaum liberal di negeri
Belanda.
Ada dua sifat yang
membedakan gerakan kebangsaan dengan gerakan-gerakan sebelumnya. Pertama,
gerakan kebangsaan tak lahir dari sekadar rasa tidak puas terhadap kebijakan
kolonial atas nasib daerah tertentu, tetapi dari keyakinan bahwa kemerdekaan
adalah hak segala bangsa sehingga kolonialisme merupakan pelanggaran suatu
hak yang bersifat universal dan harus ditolak.
Kedua, gerakan kebangsaan
tidak lagi memakai perlawanan bersenjata sebagai jalan utama menghadapi pihak
penjajah, tetapi mengubah perlawanannya menjadi suatu perjuangan
politik. Dalam sistem hukum kolonial
perjuangan bersenjata dengan mudah dianggap pemberontakan yang ilegal secara
hukum, sedangkan perjuangan politik adalah aksi yang legal secara hukum meskipun
selalu dapat dicari dalih untuk menjadikannya ilegal.
Gerakan politik ini
dimulai dengan menggoyang basis materiil kebijakan kolonial yang berusaha
memecah belah kekuatan ekonomi penduduk dengan membaginya ke dalam strata
yang bersifat etnis. Pembagian kerja menurut stratifikasi etnis (sosiologi
menyebutnya the ethnically stratified division of labor) diterapkan dalam
perdagangan. Orang Eropa menguasai perdagangan internasional, kelompok Timur
Asing atau foreign orientals, termasuk di sini kelompok etnis Arab, Tionghoa,
dan India, diberi wewenang atas perdagangan antar-pulau, sedangkan kelompok
pribumi hanya diperbolehkan bergerak dalam perdagangan kecil atau petty
trade.
Perlawanan pertama
terhadap pembagian kerja ini terlihat dari usaha seorang pedagang batik yang
sukses di Surakarta, Haji Samanhudi, yang mendirikan Sarekat Dagang Islam
(SDI) pada 1911 dalam bentuk koperasi pedagang batik, yang bertujuan
meningkatkan daya saing pribumi menghadapi kelompok Tionghoa dalam
perdagangan. Setahun kemudian Tirtoadisurio turut memimpin organisasi ini dan
mengubah nama organisasi menjadi Sarekat Islam. Oemar Said Tjokroaminoto kemudian
meneruskan kepemimpinan dan memberi watak politik kepada organisasi ini dan
membuatnya berkembang pesat dan menjadi besar.
Perkembangan watak
organisasi dengan pola ini terlihat juga sebelumnya dalam Budi Utomo yang
didirikan oleh seorang dokter Jawa, Wahidin Soedirohoesodo, pada 1908,
sebagai organisasi kebudayaan dan pendidikan dengan anggota-anggota pendukung
utama para priayi Jawa dan Sunda, serta meliputi Pulau Jawa dan Madura. Budi
Utomo diterjemahkan oleh para pendirinya ke dalam bahasa Belanda sebagai het
schoone streven yang bisa bermakna ikhtiar yang indah atau perjuangan yang
indah.
Pada Oktober 1908, Budi
Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Yogyakarta. Dalam kongres
itu muncul pandangan-pandangan lain tentang arah Budi Utomo. Sayap radikal
dalam organisasi itu dipimpin oleh dr Tjipto Mangunkusumo menghendaki
organisasi itu menjadi partai politik untuk mengangkat martabat rakyat
daripada menjadi tempat berkumpul para priayi. Dia juga mengusulkan bahwa
ruang gerak Budi Utomo tidak hanya terbatas pada Pulau Jawa dan Madura,
tetapi meliputi semua tempat yang menderita akibat penjajahan Belanda.
Pola yang terlihat adalah
bahwa organisasi yang menempuh jalan memutar untuk berpolitik kemudian
berubah menjadi organisasi yang tegas menyatakan diri sebagai parpol yang
memperjuangkan tujuan politik dan bukan tujuan komersial dalam perdagangan,
atau tujuan memuliakan suatu kebudayaan yang dianggap punya nilai-nilai luhur
yang superior.
Melalui berbagai percobaan
dan pengalaman, tujuan politik itu dibuat eksplisit terutama dalam Partai
Nasional Indonesia yang dipimpin Soekarno sejak berdirinya pada 1928, yang
tanpa ragu menyatakan tujuan organisasinya adalah mencapai Indonesia Merdeka,
berdasarkan kekuatan massa rakyat yang dikerahkan melalui samenbundeling van
alle revolutionaire krachten atau penyatupaduan semua kekuatan revolusioner.
Politik adalah pembentukan kekuasaan dan penggunaan kekuasaan, atau
menurut Soekarno machtsvorming dan
machtsaanwending.
Mengetahui sejarah,
khususnya sejarah bangsa sendiri, sedikit atau banyak akan membuat kita
sanggup melihat kehidupan masa kini dengan perspektif waktu. Sebab, adanya
pemahaman bahwa masa sekarang tidak pernah berdiri sendiri, tetapi sudah
bercampur dengan ingatan masa lampau dan harapan masa depan.
Masa sekarang dengan
ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan, kehidupan agama, dan pencarian
spiritual, serta ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah suatu titik yang
terpencil di tengah alam semesta, melainkan hanya bagian dari suatu geografi
kosmologis yang selalu punya kaitan dengan proses sejarah yang berlangsung
terus-menerus. Manusia, seperti kita orang Indonesia, tak membuat alam
semesta, tetapi dapat mengatur dan menjaganya. Meski demikian, kita adalah
pihak yang membuat sejarah kita sendiri, gemilang atau memalukan, dan kita
sekaligus dibuat oleh sejarah itu, menjadi makhluk yang bermanfaat dengan jejak-langkah yang ada maknanya untuk
ditandai di waktu mendatang atau hanya kesia-siaan yang patut disesali di
kemudian hari, yang bahkan sulit dipahami sebagai perilaku makhluk yang
dikaruniai akal budi dan hati nurani.
Sejarah dunia dan sejarah
kita sendiri telah memberi bahan pelajaran yang lebih dari cukup untuk
memahami proses menuju kemerdekaan dan apa saja halangan yang harus diatasi
dalam proses tersebut. Bisa diandaikan ada beragam jenis halangan dalam
proses tersebut yang lahir dari kondisi obyektif atau akibat kelalaian
sendiri. Tidak mungkin membicarakan semuanya dalam ruang terbatas ini. Namun,
satu hal dapat dibahas, yaitu masalah kekuasaan dan hubungannya dengan
kemerdekaan.
Kekuasaan
dan kebebasan
Semua orang tahu, merdeka
berarti pembebasan. Dalam pembebasan itu berlangsung dua peristiwa, yaitu
bebas dari kekuasaan asing dan bebas untuk mendapat dan menggunakan kekuasaan
sendiri. Sementara itu, kekuasaan itu sendiri ibarat buah simalakama.
Tak mungkin mengatur
kehidupan suatu masyarakat dan suatu bangsa tanpa ada kekuasaan di tangan
pemerintahan yang dipilih rakyatnya secara sah. Sementara itu, kita sadar
bahwa kekuasaan yang diberikan itu akan sangat mungkin disalahgunakan karena
watak kekuasaan adalah cenderung memperbesar dirinya (dan tak pernah mau
membatasi dirinya), cenderung membenarkan diri (dan sulit sekali
mempersalahkan dirinya), serta cenderung memusatkan drinya pada satu atau
beberapa orang (dan sulit sekali membagi dirinya secara seimbang kepada
beberapa pihak yang juga memerlukan kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan).
Orang dapat melihat
kekuasaan sebagai tujuan dan selanjutnya memakai apa saja sebagai alat untuk
memperbesar kekuasaannya hingga mengorbankan kepentingan masyarakat, atau
orang dapat juga memandang kekuasaan tidak lebih dari sekadar alat untuk
mewujudkan suatu tujuan yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan
ketenteraman kehidupan bersama.
Seberapa besar kekuasaan
yang diperlukan untuk mengatur ketertiban masyarakat berdasarkan hukum,
merupakan perdebatan teoretis yang terus berlangsung di antara para teoretisi
politik, baik dari kalangan filosof politik maupun dari kalangan ahli ilmu
politik. Namun, ukuran kebebasan dan kekuasaan dapat dilihat dalam
pelaksanaan demokrasi sebagai sistem politik yang tujuannya merealisasikan
kebebasan setiap orang dalam suatu negara. Demokrasi diwujudkan melalui prosedur yang dihasilkan
melalui konsensus politik dan ditetapkan oleh hukum, tetapi prosedur itu
dapat mengabaikan tujuan demokrasi dan pada akhirnya membunuh demokrasi itu
sendiri.
Terkenang kita akan HM
Subchan ZE, seorang pemimpin Nahdlatul Ulama yang progresif, pribadi yang
colourful dalam gaya hidup, saudagar yang berhasil dan politisi dengan
inteligensi tinggi, serta pengkritik rezim pada awal Orde Baru dengan pandangan
amat berani, dan kemudian mengalami kematian misterius di Tanah Suci selagi
menjalankan ibadah haji dan dimakamkan di padang pasir. Tahun 1970-an, dia
sudah berkata lantang, ”Demokrasi bisa terbunuh oleh lembaga demokratis lewat
prosedur yang demokratis”.
Atas cara yang sama
kemerdekaan dapat membawa kepada keadaan tidak merdeka melalui perwujudan
kebebasan yang diberikan oleh kemerdekaan. Kebebasan tak patut menjadi hutan
rimba tempat orang memburu kekuasaan dengan menghancurkan kemerdekaan orang
lain, seperti pemburu yang puas membunuh seekor rusa untuk menguji
kemampuannya menembak sasaran. Kemerdekaan menegaskan bahwa tiap warga dan
tiap orang bukanlah sasaran, melainkan tujuan yang harus dibela dan
diselamatkan oleh kemerdekaan itu, yang untuk memperolehnya banyak sekali
sesama anggota bangsa telah gugur dan menyerahkan nyawanya demi kemerdekaan yang tak pernah
dinikmatinya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar