Rabu, 29 Agustus 2018

Merdeka sebagai Proses

Merdeka sebagai Proses
Ignas Kleden  ;  Sosiolog
                                                      KOMPAS, 24 Agustus 2018



                                                           
Kemerdekaan adalah suatu kenyataan dan sekaligus proses, dan proses itu terus kita alami sepanjang hayat sebagai keterlibatan yang tak terelakkan.

Pada 17 Agustus 1945, melalui Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta, kemerdekaan Republik Indonesia dihadirkan dalam sejarah dunia sebagai suatu realitas politik yang berangsur-angsur diakui oleh bangsa dan negara lain.

Realitas itu dicoba disangkal dan dihapus kembali oleh kekuatan kolonial Belanda. Namun, proses penyangkalan itu dikontestasi oleh berbagai perlawanan kekuatan rakyat yang akhirnya membuat dunia semakin yakin bahwa kemerdekaan itu bukanlah sekadar gertakan sepihak dari beberapa golongan pribumi di bekas Hindia Belanda, melainkan jadi realisasi general will dalam membebaskan diri dari kekuasaan asing untuk menjadi   bangsa dan negara yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, atas namanya sendiri.

Sedari awal kemerdekaan itu terlibat dalam proses  mengafirmasi kehendak tersebut sambil berhadapan dengan pahit getir berbagai tantangan.  Jauh sebelum revolusi kemerdekaan, sudah berulang kali ada usaha di berbagai tempat untuk membebaskan penduduk setempat dari kungkungan kekuasaan kolonial.

Teuku Umar, Teuku Cik di Tiro, Panglima Polem, dan Cut Nya Dien di Aceh; Imam Bonjol di Sumatera Barat; Pangeran Diponegoro di Jawa, dan Sultan Hasanuddin di Sulawesi Selatan adalah beberapa nama yang memimpin percobaan yang meluas dan berlangsung lama, serta menelan biaya besar untuk kedua belah pihak yang terlibat pertempuran bertahun.

Perang Diponegoro atau disebut juga Perang Jawa selama lima tahun (1825-1830) menguras keuangan Pemerintah Hindia Belanda,  yang semakin memperparah keuangan pemerintah di negeri Belanda sendiri akibat runtuhnya Uni Belanda-Belgia yang terbentuk  dalam Kongres Vienna 1815, setelah Napoleon Bonaparte kalah telak dalam pertempuran Waterloo pertengahan Juni 1815. Pemberontakan Belgia pada 1830, yang meruntuhkan Uni Belanda-Belgia, dicoba dipadamkan oleh Belanda untuk merebut kembali daerah kekuasaannya yang terancam hilang oleh kemerdekaan Belgia.  Dalam perang Belanda-Belgia, 1831-1832, Belanda kalah oleh Belgia, yang kemerdekaannya terpaksa diakui Belanda pada 1839.

Peperangan yang dihadapi Belanda di Eropa dan di Hindia Belanda pada tiga dekade pertama abad ke-19 telah mengeruk habis dana pemerintah baik di Belanda maupun di Hindia Belanda.  Berbagai pihak diminta menyusun proposal tentang kiat mengisi kembali kas pemerintah yang sudah habis terkuras.  Akhirnya proposal yang disusun oleh Van den Bosch diterima oleh Ratu Belanda, yang kemudian mengangkat Van den Bosch menjadi gubernur jenderal di Hindia Belanda, 1830-1833.

Di Jawa, Van den Bosch langsung menerapkan proposalnya yang kemudian dikenal sebagai Cultuurstelsel atau Tanam Paksa yang diberlakukan selama 40 tahun (1830-1870). Kebijakan itu mengharuskan petani Jawa menyerahkan seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor, khususnya tebu, kopi, dan indigo atau 66 hari kerja dalam setahun untuk bekerja di perkebunan pemerintah. Hasil tanaman ekspor dari seperlima tanah petani harus dijual kepada pemerintah dengan harga yang  ditetapkan  pemerintah.

Sistem tanam paksa yang membuat petani Jawa miskin dan merana, membawa hasil luar biasa untuk keuntungan pihak pemerintah kolonial dan negara induknya. Sebelum 1850, jumlah uang yang dikirim dari Hindia Belanda ke negeri Belanda adalah setara dengan 19 persen dari seluruh penerimaan negara (state revenue), sedangkan dalam masa  1851-1860 uang yang dikirim ke negeri Belanda dari Hindia Belanda setara dengan 32 persen dari seluruh penerimaan negara. Amsterdam menjadi pasar dunia yang terpenting untuk hasil pertanian tropis, khususnya gula dan kopi.

Sutan Takdir Alisjahbana (STA), dalam Polemik Kebudayaan tahun 1930-an, pernah mengajukan kritik bahwa menganggap Diponegoro, Hasanuddin, Imam Bonjol, Teuku Umar, dan Cut Nya Dien sebagai pahlawan-pahlawan nasional bukanlah pendapat yang berdasarkan pada kenyataan sejarah. Sebab, para pemimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial pada waktu itu berperang dan berjuang bukan untuk Indonesia yang belum ada, melainkan untuk daerah mereka masing- masing. Mereka mungkin penting sebagai pahlawan lokal untuk daerahnya, tetapi bukan pahlawan nasional.

Gerakan kebangsaan

Kritik STA itu tidak menafikan kenyataan sejarah bahwa ada usaha di beberapa daerah di Nusantara untuk melepaskan diri dari kungkungan kuasa kolonial, bahkan dengan jalan peperangan. Kenyataan ini tentu saja masuk dalam memori kolektif berbagai kelompok lain di Tanah Air serta memberikan keberanian dan motivasi untuk membebaskan diri dari kekuasaan asing dengan cara-cara yang dimungkinkan.

Gerakan kebangsaan dalam arti sebenarnya baru dimulai pada awal abad ke-20 setelah paham nasionalisme yang berkembang di Eropa mulai diserap oleh kesadaran dan pemikiran kaum terpelajar yang memperoleh pendidikan Barat sebagai implementasi kebijakan balas budi kepada kaum pribumi, yang didorong oleh kaum liberal di negeri Belanda.

Ada dua sifat yang membedakan gerakan kebangsaan dengan gerakan-gerakan sebelumnya. Pertama, gerakan kebangsaan tak lahir dari sekadar rasa tidak puas terhadap kebijakan kolonial atas nasib daerah tertentu, tetapi dari keyakinan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa sehingga kolonialisme merupakan pelanggaran suatu hak yang bersifat universal dan harus ditolak.

Kedua, gerakan kebangsaan tidak lagi memakai perlawanan bersenjata sebagai jalan utama menghadapi pihak penjajah, tetapi mengubah perlawanannya menjadi suatu perjuangan politik.  Dalam sistem hukum kolonial perjuangan bersenjata dengan mudah dianggap pemberontakan yang ilegal secara hukum, sedangkan perjuangan politik adalah aksi yang legal secara hukum meskipun selalu dapat dicari dalih untuk menjadikannya ilegal.

Gerakan politik ini dimulai dengan menggoyang basis materiil kebijakan kolonial yang berusaha memecah belah kekuatan ekonomi penduduk dengan membaginya ke dalam strata yang bersifat etnis. Pembagian kerja menurut stratifikasi etnis (sosiologi menyebutnya the ethnically stratified division of labor) diterapkan dalam perdagangan. Orang Eropa menguasai perdagangan internasional, kelompok Timur Asing atau foreign orientals, termasuk di sini kelompok etnis Arab, Tionghoa, dan India, diberi wewenang atas perdagangan antar-pulau, sedangkan kelompok pribumi hanya diperbolehkan bergerak dalam perdagangan kecil atau petty trade.

Perlawanan pertama terhadap pembagian kerja ini terlihat dari usaha seorang pedagang batik yang sukses di Surakarta, Haji Samanhudi, yang mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1911 dalam bentuk koperasi pedagang batik, yang bertujuan meningkatkan daya saing pribumi menghadapi kelompok Tionghoa dalam perdagangan. Setahun kemudian Tirtoadisurio turut memimpin organisasi ini dan mengubah nama organisasi menjadi Sarekat Islam.  Oemar Said Tjokroaminoto kemudian meneruskan kepemimpinan dan memberi watak politik kepada organisasi ini dan membuatnya berkembang pesat dan menjadi besar.

Perkembangan watak organisasi dengan pola ini terlihat juga sebelumnya dalam Budi Utomo yang didirikan oleh seorang dokter Jawa, Wahidin Soedirohoesodo, pada 1908, sebagai organisasi kebudayaan dan pendidikan dengan anggota-anggota pendukung utama para priayi Jawa dan Sunda, serta meliputi Pulau Jawa dan Madura. Budi Utomo diterjemahkan oleh para pendirinya ke dalam bahasa Belanda sebagai het schoone streven yang bisa bermakna ikhtiar yang indah atau perjuangan yang indah.

Pada Oktober 1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Yogyakarta. Dalam kongres itu muncul pandangan-pandangan lain tentang arah Budi Utomo. Sayap radikal dalam organisasi itu dipimpin oleh dr Tjipto Mangunkusumo menghendaki organisasi itu menjadi partai politik untuk mengangkat martabat rakyat daripada menjadi tempat berkumpul para priayi. Dia juga mengusulkan bahwa ruang gerak Budi Utomo tidak hanya terbatas pada Pulau Jawa dan Madura, tetapi meliputi semua tempat yang menderita akibat penjajahan Belanda.

Pola yang terlihat adalah bahwa organisasi yang menempuh jalan memutar untuk berpolitik kemudian berubah menjadi organisasi yang tegas menyatakan diri sebagai parpol yang memperjuangkan tujuan politik dan bukan tujuan komersial dalam perdagangan, atau tujuan memuliakan suatu kebudayaan yang dianggap punya nilai-nilai luhur yang superior.

Melalui berbagai percobaan dan pengalaman, tujuan politik itu dibuat eksplisit terutama dalam Partai Nasional Indonesia yang dipimpin Soekarno sejak berdirinya pada 1928, yang tanpa ragu menyatakan tujuan organisasinya adalah mencapai Indonesia Merdeka, berdasarkan kekuatan massa rakyat yang dikerahkan melalui samenbundeling van alle revolutionaire krachten atau penyatupaduan semua kekuatan revolusioner. Politik adalah pembentukan kekuasaan dan penggunaan kekuasaan, atau menurut  Soekarno machtsvorming dan machtsaanwending.

Mengetahui sejarah, khususnya sejarah bangsa sendiri, sedikit atau banyak akan membuat kita sanggup melihat kehidupan masa kini dengan perspektif waktu. Sebab, adanya pemahaman bahwa masa sekarang tidak pernah berdiri sendiri, tetapi sudah bercampur dengan ingatan masa lampau dan harapan masa depan.

Masa sekarang dengan ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan, kehidupan agama, dan pencarian spiritual, serta ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah suatu titik yang terpencil di tengah alam semesta, melainkan hanya bagian dari suatu geografi kosmologis yang selalu punya kaitan dengan proses sejarah yang berlangsung terus-menerus. Manusia, seperti kita orang Indonesia, tak membuat alam semesta, tetapi dapat mengatur dan menjaganya. Meski demikian, kita adalah pihak yang membuat sejarah kita sendiri, gemilang atau memalukan, dan kita sekaligus dibuat oleh sejarah itu, menjadi makhluk yang bermanfaat dengan  jejak-langkah yang ada maknanya untuk ditandai di waktu mendatang atau hanya kesia-siaan yang patut disesali di kemudian hari, yang bahkan sulit dipahami sebagai perilaku makhluk yang dikaruniai akal budi dan hati nurani.

Sejarah dunia dan sejarah kita sendiri telah memberi bahan pelajaran yang lebih dari cukup untuk memahami proses menuju kemerdekaan dan apa saja halangan yang harus diatasi dalam proses tersebut. Bisa diandaikan ada beragam jenis halangan dalam proses tersebut yang lahir dari kondisi obyektif atau akibat kelalaian sendiri. Tidak mungkin membicarakan semuanya dalam ruang terbatas ini. Namun, satu hal dapat dibahas, yaitu masalah kekuasaan dan hubungannya dengan kemerdekaan.

Kekuasaan dan kebebasan

Semua orang tahu, merdeka berarti pembebasan. Dalam pembebasan itu berlangsung dua peristiwa, yaitu bebas dari kekuasaan asing dan bebas untuk mendapat dan menggunakan kekuasaan sendiri. Sementara itu, kekuasaan itu sendiri ibarat buah simalakama.

Tak mungkin mengatur kehidupan suatu masyarakat dan suatu bangsa tanpa ada kekuasaan di tangan pemerintahan yang dipilih rakyatnya secara sah. Sementara itu, kita sadar bahwa kekuasaan yang diberikan itu akan sangat mungkin disalahgunakan karena watak kekuasaan adalah cenderung memperbesar dirinya (dan tak pernah mau membatasi dirinya), cenderung membenarkan diri (dan sulit sekali mempersalahkan dirinya), serta cenderung memusatkan drinya pada satu atau beberapa orang (dan sulit sekali membagi dirinya secara seimbang kepada beberapa pihak yang juga memerlukan kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan).

Orang dapat melihat kekuasaan sebagai tujuan dan selanjutnya memakai apa saja sebagai alat untuk memperbesar kekuasaannya hingga mengorbankan kepentingan masyarakat, atau orang dapat juga memandang kekuasaan tidak lebih dari sekadar alat untuk mewujudkan suatu tujuan yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan ketenteraman kehidupan bersama.

Seberapa besar kekuasaan yang diperlukan untuk mengatur ketertiban masyarakat berdasarkan hukum, merupakan perdebatan teoretis yang terus berlangsung di antara para teoretisi politik, baik dari kalangan filosof politik maupun dari kalangan ahli ilmu politik. Namun, ukuran kebebasan dan kekuasaan dapat dilihat dalam pelaksanaan demokrasi sebagai sistem politik yang tujuannya merealisasikan kebebasan setiap orang dalam suatu negara. Demokrasi  diwujudkan melalui prosedur yang dihasilkan melalui konsensus politik dan ditetapkan oleh hukum, tetapi prosedur itu dapat mengabaikan tujuan demokrasi dan pada akhirnya membunuh demokrasi itu sendiri.

Terkenang kita akan HM Subchan ZE, seorang pemimpin Nahdlatul Ulama yang progresif, pribadi yang colourful dalam gaya hidup, saudagar yang berhasil dan politisi dengan inteligensi tinggi, serta pengkritik rezim pada awal Orde Baru dengan pandangan amat berani, dan kemudian mengalami kematian misterius di Tanah Suci selagi menjalankan ibadah haji dan dimakamkan di padang pasir. Tahun 1970-an, dia sudah berkata lantang, ”Demokrasi bisa terbunuh oleh lembaga demokratis lewat prosedur yang demokratis”.

Atas cara yang sama kemerdekaan dapat membawa kepada keadaan tidak merdeka melalui perwujudan kebebasan yang diberikan oleh kemerdekaan. Kebebasan tak patut menjadi hutan rimba tempat orang memburu kekuasaan dengan menghancurkan kemerdekaan orang lain, seperti pemburu yang puas membunuh seekor rusa untuk menguji kemampuannya menembak sasaran. Kemerdekaan menegaskan bahwa tiap warga dan tiap orang bukanlah sasaran, melainkan tujuan yang harus dibela dan diselamatkan oleh kemerdekaan itu, yang untuk memperolehnya banyak sekali sesama anggota bangsa telah gugur dan menyerahkan nyawanya  demi kemerdekaan yang tak pernah dinikmatinya sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar