Selasa, 21 Agustus 2018

Memahami Kontrak dan Divestasi Freeport

Memahami Kontrak dan Divestasi Freeport
Ginandjar Kartasasmita ;  Menteri Pertambangan dan Energi 1988-1993
                                                          KOMPAS, 14 Juli 2018



                                                           
Perpanjangan kontrak Freeport yang sedang dirundingkan sekarang ini, mendapat perhatian luas masyarakat. Pertambangan Freeport adalah proyek besar yang memengaruhi kepentingan rakyat banyak, oleh karenanya perdebatan dalam masalah ini sangatlah sehat dan amat diperlukan. Namun, perdebatan harus didasarkan atas pengetahuan cukup.

Tulisan ini sekadar upaya membantu pemahaman itu agar berguna bagi  perbincangan masyarakat  dalam masalah ini.

Persetujuan Kontrak Karya (KK) Freeport dibuat berdasar pada Undang-undang (UU) No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kontrak ini berlaku selama 30 tahun sejak dimulainya masa operasi. Freeport mulai beroperasi sejak 1973, dan kontrak berakhir pada 2003.

Sesuai aturan dalam KK tersebut, pada 1988, Freeport mengajukan permohonan untuk memperpanjang KK karena adanya indikasi mineralisasi di wilayah baru, yaitu Grasberg.  Freeport merencanakan investasi sekitar 2 miliar dollar AS, dan karena nilainya cukup besar, permohonan diajukan oleh Freeport 15 tahun sebelum masa berlakunya berakhir.

Namun, pemerintah menilai KK tahun 1967 itu mengandung banyak kelemahan dan terlalu menguntungkan bagi Freeport. Antara lain, perusahaan terdaftar di Delaware, Amerika, dan tunduk kepada hukum Amerika. Tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup. Pengaturan perpajakan sama sekali tidak mengikuti UU perpajakan yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya.

Tidak ada kewajiban pengembangan masyarakat (community development). Akibatnya keberadaan Freeport tak memberi dampak secara langsung terhadap masyarakat setempat.  Tak ada ketentuan pengalihan kepemilikan kepada pihak nasional, penggunaan tenaga kerja lokal dan produksi dalam negeri.

Kesempatan koreksi

Permohonan perpanjangan ini dilihat oleh pemerintah sebagai suatu kesempatan untuk melakukan koreksi terhadap kelemahan-kelemahan tersebut.  Atas dasar itu, pemerintah memutuskan bahwa KK Generasi I itu tidak diperpanjang, tetapi diubah dengan KK baru, yaitu KK Generasi V yang pada waktu itu terlepas dari KK Freeport, konsepnya memang sedang disiapkan.

Dengan demikian, tidak benar ada perpanjangan terhadap  KK Freeport tahun 1967, yang ada justru pembatalan dan pemberlakuan ketentuan-ketentuan baru, karena ketentuan yang lama sangat merugikan.
Maka, dimulailah perundingan menyangkut semua aspek dalam KK. Materi yang menyangkut kewajiban keuangan, pada setiap tahapan negosiasi dilaporkan secara tertulis kepada menteri keuangan untuk mendapatkan persetujuan.

Sebagai hasil negosiasi tersebut, diperoleh perbaikan-perbaikan dalam KK baru yang memberi lebih banyak keuntungan bagi negara dan bangsa Indonesia. Antara lain: harus menggunakan perusahaan dalam bentuk PT yang terdaftar di Indonesia, dengan demikian tunduk kepada hukum Indonesia; semua ketentuan tentang kewajiban keuangan mengikuti sistem yang berlaku di Indonesia; harus mengikuti peraturan perlindungan lingkungan yang berlaku.

Selain itu, wajib mengalihkan saham ke pihak nasional Indonesia, dengan ketentuan sampai dengan 51 persen kepada perusahaan/perorangan nasional dalam waktu 20 tahun; lima tahun setelah penandatanganan kontrak, 20 persen sahamnya sudah harus dimiliki pihak nasional Indonesia; melaksanakan community development bagi masyarakat setempat; membangun smelter (sudah beroperasi di Gresik, Jawa Timur); secara maksimal menggunakan tenaga kerja dan barang/produk dalam negeri; serta tarif royalti rata-rata lebih tinggi.

Freeport menyetujui syarat-syarat ini dan setelah melakukan berbagai tahap perundingan yang diikuti oleh berbagai instansi pemerintah, dan melalui persetujuan DPR, dengan surat persetujuan dari Presiden diberlakukan KK Generasi V pada akhir 1991.  Dengan demikian, dihentikannya KK Generasi I Freeport sebelum waktunya justru menguntungkan Indonesia, karena telah menghentikan keuntungan bagi Freepot yang berlebihan, 12 tahun lebih cepat.

Kelalaian pemerintah?

Mengenai divestasi, sejak KK Generasi I Freeport, pemerintah mempunyai saham sekitar 9 persen di Freeport. Freeport bersedia segera melepas lagi saham menjadi 20 persen, namun  menteri keuangan memutuskan hanya membeli saham 1 persen untuk membulatkan saham pemerintah menjadi 10 persen. Dengan pertimbangan kemampuan keuangan negara pada waktu itu, menteri keuangan menyarankan agar sisa saham 10 persen ditawarkan kepada swasta nasional.

Pelepasan saham kepada swasta nasional telah dilakukan oleh Freeport. Namun berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 20 Tahun 1994 yang keluar pada periode kabinet berikutnya, saham milik swasta itu dibeli kembali oleh Freeport. Hingga kini saham milik Indonesia di Freeport kembali menjadi 10 persen yaitu yang milik pemerintah.

Sebagai perusahaan yang terdaftar di bursa saham Amerika, Freeport sangat diawasi oleh pemerintahnya, baik melalui United States Securities and Exchange Commission maupun oleh aturan-aturan yang sangat ketat dalam UU anti-korupsi yang dikenakan pada perusahaan-perusahaan Amerika yang beroperasi di luar negeri (Foreign Corrupt Practices Act).

Bagi pengusaha yang terlibat dalam penyuapan atau KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) hukumannya berat sekali, dan melalui Biro Investigasi Federal (FBI), Pemerintah Amerika punya perangkat yang sangat canggih untuk mendeteksinya. Terbongkarnya kasus korupsi mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak adalah berkat temuan FBI, juga berbagai kasus korupsi di banyak negara terbongkar sebagai hasil penyelidikan FBI, termasuk beberapa kasus korupsi di Indonesia.

Sekarang ada hal yang dipertanyakan, kenapa tidak diambil alih saja tambang Freeport oleh pemerintah pada waktu itu? Di masa sebelumnya juga ada yang mempertanyakan mengapa Pemerintah Indonesia begitu lalai sehingga menghasilkan KK di tahun 1967 yang begitu menguntungkan Freeport.

Sesungguhnya tambang Freeport adalah PMA pertama pada waktu Indonesia berusaha keluar dari kemelut ekonomi 1960-an. Untuk menjalankan roda pemerintahan dan memobilisasi ekonomi, Indonesia sepenuhnya harus tergantung pada bantuan luar negeri. Pendapatan per kapita di bawah 60 dollar AS (57 dollar AS, menurut Bank Dunia atas dasar kurs yang berlaku), menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara termiskin di dunia. Dalam konteks ini kita harus menengarai kebijakan pemerintah pada waktu itu.

Pilihan yang dimiliki

Sekarang sentimen yang sama muncul lagi. Wajar saja, namun mari kita melihat kembali dalam konteksnya. Freeport saat ini mengajukan perpanjangan kontrak sehubungan dengan rencana mengeluarkan investasi 20 miliar dollar AS untuk pengembangan tambang bawah tanah. Berbeda dengan tahun 1967 dan 1990, di mana rezim yang berlaku adalah KK, sekarang kita memiliki peraturan perundangan baru, yaitu UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pada tahun 1990 pendapatan per kapita Indonesia di bawah 700 dollar AS (622 dollar AS, Bank Dunia atas dasar dollar berlaku) menempatkan Indonesia pada kelompok negara berpenghasilan rendah (low income country). Kondisi ekonomi sudah jauh membaik dibanding 1960-an, namun masih jauh dari kemampuan mengambilalih Freeport. Pemerintah harus meminjam uang dari IGGI/CGI dan itupun diupayakan berupa Bantuan Pembangunan Resmi (ODA), untuk membantu kebutuhan pendanaan pembangunan.

Sebut saja membangun infrastruktur perhubungan yang menyambung kepulauan kita dalam satu kesatuan Nusantara, memenuhi kebutuhan energi dari Sabang sampai Merauke, prasarana pengairan yang membuat negara kita swasembada pangan. Pendidikan sampai mencapai Wajib Belajar 6 tahun dan dilanjutkan menjadi 9 tahun. Kesehatan masyarakat melalui jaringan layanan puskesmas di seluruh penjuru Tanah Air, penurunan kemiskinan, dan berbagai kegiatan pembangunan lain di pusat maupun daerah, dalam bidang ekonomi, sosial maupun pembangunan institusi, yang hasilnya seperti apa yang dinikmati hari ini.

Dalam kondisi ketergantungan itu, bagaimana pemerintah mendapat 2 miliar dollar AS untuk hanya membiayai satu proyek? Selain masalah dana, berbagai kegiatan penambangan seperti yang dilakukan Freeport memerlukan teknologi cukup canggih manakala penguasaan teknis dan teknologi kita masih demikian rendah, dan BUMN-BUMN belum berkembang seperti sekarang.

Sekarang Indonesia memiliki posisi ekonomi yang jauh lebih baik dibanding memasuki dekade 1990-an. Indonesia bahkan sudah termasuk 20 besar negara di dunia berdasarkan PDB (G-20), dan berada dalam posisi ke-16. Indonesia sudah termasuk dalam negara berpendapatan menengah (middle income country).

Pendapatan per kapita  2016 mencapai 3.570 dollar AS (Bank Dunia, atas dasar dollar AS berlaku). Pendapatan itu artinya enam kali lebih besar dibanding 1990 atau 63 kali dibanding 1967. Posisi ekonomi yang semakin membaik, membuat pilihan-pilihan yang dimiliki Indonesia kini semakin luas dan tentu saja posisi tawar juga semakin kuat dalam berunding dengan Freeport.

Perundingan dengan Freeport tentu bukan hanya soal pemilikan saham, meskipun itu sangat penting. Tetapi juga menyangkut banyak hal, antara lain pajak dan royalti, lingkungan terutama limbah buangan (tailing), pembangunan masyarakat Papua, keselamatan kerja dan teknologi tambang bawah tanah (sekarang panjang terowongan sudah sekitar 600 km, dan akan menjadi 1.000km) dan lain sebagainya. Perundingan itu harus dikawal oleh masyarakat, oleh informed public, yang sekarang di era informasi terbuka sudah lebih mudah dilakukan, baik melalui media tradisional maupun media sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar