Memahami
Kontrak dan Divestasi Freeport
Ginandjar Kartasasmita ; Menteri Pertambangan dan Energi 1988-1993
|
KOMPAS,
14 Juli
2018
Perpanjangan kontrak Freeport yang
sedang dirundingkan sekarang ini, mendapat perhatian luas masyarakat.
Pertambangan Freeport adalah proyek besar yang memengaruhi kepentingan rakyat
banyak, oleh karenanya perdebatan dalam masalah ini sangatlah sehat dan amat
diperlukan. Namun, perdebatan harus didasarkan atas pengetahuan cukup.
Tulisan ini sekadar upaya membantu
pemahaman itu agar berguna bagi perbincangan masyarakat dalam
masalah ini.
Persetujuan Kontrak Karya (KK)
Freeport dibuat berdasar pada Undang-undang (UU) No 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing. Kontrak ini berlaku selama 30 tahun sejak dimulainya
masa operasi. Freeport mulai beroperasi sejak 1973, dan kontrak berakhir pada
2003.
Sesuai aturan dalam KK tersebut,
pada 1988, Freeport mengajukan permohonan untuk memperpanjang KK karena
adanya indikasi mineralisasi di wilayah baru, yaitu Grasberg. Freeport
merencanakan investasi sekitar 2 miliar dollar AS, dan karena nilainya cukup
besar, permohonan diajukan oleh Freeport 15 tahun sebelum masa berlakunya
berakhir.
Namun, pemerintah menilai KK tahun
1967 itu mengandung banyak kelemahan dan terlalu menguntungkan bagi Freeport.
Antara lain, perusahaan terdaftar di Delaware, Amerika, dan tunduk kepada
hukum Amerika. Tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup. Pengaturan
perpajakan sama sekali tidak mengikuti UU perpajakan yang berlaku, baik jenis
pajak maupun strukturnya.
Tidak ada kewajiban pengembangan
masyarakat (community development). Akibatnya keberadaan Freeport tak memberi
dampak secara langsung terhadap masyarakat setempat. Tak ada ketentuan
pengalihan kepemilikan kepada pihak nasional, penggunaan tenaga kerja lokal
dan produksi dalam negeri.
Kesempatan koreksi
Permohonan perpanjangan ini
dilihat oleh pemerintah sebagai suatu kesempatan untuk melakukan koreksi
terhadap kelemahan-kelemahan tersebut. Atas dasar itu, pemerintah
memutuskan bahwa KK Generasi I itu tidak diperpanjang, tetapi diubah dengan
KK baru, yaitu KK Generasi V yang pada waktu itu terlepas dari KK Freeport,
konsepnya memang sedang disiapkan.
Dengan demikian, tidak benar ada
perpanjangan terhadap KK Freeport tahun 1967, yang ada justru
pembatalan dan pemberlakuan ketentuan-ketentuan baru, karena ketentuan yang
lama sangat merugikan.
Maka, dimulailah perundingan
menyangkut semua aspek dalam KK. Materi yang menyangkut kewajiban keuangan,
pada setiap tahapan negosiasi dilaporkan secara tertulis kepada menteri
keuangan untuk mendapatkan persetujuan.
Sebagai hasil negosiasi tersebut,
diperoleh perbaikan-perbaikan dalam KK baru yang memberi lebih banyak
keuntungan bagi negara dan bangsa Indonesia. Antara lain: harus menggunakan
perusahaan dalam bentuk PT yang terdaftar di Indonesia, dengan demikian
tunduk kepada hukum Indonesia; semua ketentuan tentang kewajiban keuangan
mengikuti sistem yang berlaku di Indonesia; harus mengikuti peraturan
perlindungan lingkungan yang berlaku.
Selain itu, wajib mengalihkan
saham ke pihak nasional Indonesia, dengan ketentuan sampai dengan 51 persen
kepada perusahaan/perorangan nasional dalam waktu 20 tahun; lima tahun
setelah penandatanganan kontrak, 20 persen sahamnya sudah harus dimiliki
pihak nasional Indonesia; melaksanakan community development bagi masyarakat
setempat; membangun smelter (sudah beroperasi di Gresik, Jawa Timur); secara
maksimal menggunakan tenaga kerja dan barang/produk dalam negeri; serta tarif
royalti rata-rata lebih tinggi.
Freeport menyetujui syarat-syarat
ini dan setelah melakukan berbagai tahap perundingan yang diikuti oleh
berbagai instansi pemerintah, dan melalui persetujuan DPR, dengan surat
persetujuan dari Presiden diberlakukan KK Generasi V pada akhir 1991.
Dengan demikian, dihentikannya KK Generasi I Freeport sebelum waktunya justru
menguntungkan Indonesia, karena telah menghentikan keuntungan bagi Freepot
yang berlebihan, 12 tahun lebih cepat.
Kelalaian pemerintah?
Mengenai divestasi, sejak KK
Generasi I Freeport, pemerintah mempunyai saham sekitar 9 persen di Freeport.
Freeport bersedia segera melepas lagi saham menjadi 20 persen, namun
menteri keuangan memutuskan hanya membeli saham 1 persen untuk membulatkan
saham pemerintah menjadi 10 persen. Dengan pertimbangan kemampuan keuangan
negara pada waktu itu, menteri keuangan menyarankan agar sisa saham 10 persen
ditawarkan kepada swasta nasional.
Pelepasan saham kepada swasta
nasional telah dilakukan oleh Freeport. Namun berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP) No 20 Tahun 1994 yang keluar pada periode kabinet berikutnya,
saham milik swasta itu dibeli kembali oleh Freeport. Hingga kini saham milik
Indonesia di Freeport kembali menjadi 10 persen yaitu yang milik pemerintah.
Sebagai perusahaan yang terdaftar
di bursa saham Amerika, Freeport sangat diawasi oleh pemerintahnya, baik
melalui United States Securities and Exchange Commission maupun oleh
aturan-aturan yang sangat ketat dalam UU anti-korupsi yang dikenakan pada
perusahaan-perusahaan Amerika yang beroperasi di luar negeri (Foreign Corrupt
Practices Act).
Bagi pengusaha yang terlibat dalam
penyuapan atau KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) hukumannya berat sekali, dan
melalui Biro Investigasi Federal (FBI), Pemerintah Amerika punya perangkat
yang sangat canggih untuk mendeteksinya. Terbongkarnya kasus korupsi mantan
Perdana Menteri Malaysia Najib Razak adalah berkat temuan FBI, juga berbagai
kasus korupsi di banyak negara terbongkar sebagai hasil penyelidikan FBI,
termasuk beberapa kasus korupsi di Indonesia.
Sekarang ada hal yang
dipertanyakan, kenapa tidak diambil alih saja tambang Freeport oleh
pemerintah pada waktu itu? Di masa sebelumnya juga ada yang mempertanyakan
mengapa Pemerintah Indonesia begitu lalai sehingga menghasilkan KK di tahun
1967 yang begitu menguntungkan Freeport.
Sesungguhnya tambang Freeport
adalah PMA pertama pada waktu Indonesia berusaha keluar dari kemelut ekonomi
1960-an. Untuk menjalankan roda pemerintahan dan memobilisasi ekonomi, Indonesia
sepenuhnya harus tergantung pada bantuan luar negeri. Pendapatan per kapita
di bawah 60 dollar AS (57 dollar AS, menurut Bank Dunia atas dasar kurs yang
berlaku), menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara termiskin di dunia.
Dalam konteks ini kita harus menengarai kebijakan pemerintah pada waktu itu.
Pilihan yang dimiliki
Sekarang sentimen yang sama muncul
lagi. Wajar saja, namun mari kita melihat kembali dalam konteksnya. Freeport
saat ini mengajukan perpanjangan kontrak sehubungan dengan rencana
mengeluarkan investasi 20 miliar dollar AS untuk pengembangan tambang bawah
tanah. Berbeda dengan tahun 1967 dan 1990, di mana rezim yang berlaku adalah
KK, sekarang kita memiliki peraturan perundangan baru, yaitu UU No 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pada tahun 1990 pendapatan per
kapita Indonesia di bawah 700 dollar AS (622 dollar AS, Bank Dunia atas dasar
dollar berlaku) menempatkan Indonesia pada kelompok negara berpenghasilan
rendah (low income country). Kondisi ekonomi sudah jauh membaik dibanding
1960-an, namun masih jauh dari kemampuan mengambilalih Freeport. Pemerintah
harus meminjam uang dari IGGI/CGI dan itupun diupayakan berupa Bantuan
Pembangunan Resmi (ODA), untuk membantu kebutuhan pendanaan pembangunan.
Sebut saja membangun infrastruktur
perhubungan yang menyambung kepulauan kita dalam satu kesatuan Nusantara,
memenuhi kebutuhan energi dari Sabang sampai Merauke, prasarana pengairan
yang membuat negara kita swasembada pangan. Pendidikan sampai mencapai Wajib
Belajar 6 tahun dan dilanjutkan menjadi 9 tahun. Kesehatan masyarakat melalui
jaringan layanan puskesmas di seluruh penjuru Tanah Air, penurunan
kemiskinan, dan berbagai kegiatan pembangunan lain di pusat maupun daerah,
dalam bidang ekonomi, sosial maupun pembangunan institusi, yang hasilnya
seperti apa yang dinikmati hari ini.
Dalam kondisi ketergantungan itu,
bagaimana pemerintah mendapat 2 miliar dollar AS untuk hanya membiayai satu
proyek? Selain masalah dana, berbagai kegiatan penambangan seperti yang
dilakukan Freeport memerlukan teknologi cukup canggih manakala penguasaan
teknis dan teknologi kita masih demikian rendah, dan BUMN-BUMN belum
berkembang seperti sekarang.
Sekarang Indonesia memiliki posisi
ekonomi yang jauh lebih baik dibanding memasuki dekade 1990-an. Indonesia
bahkan sudah termasuk 20 besar negara di dunia berdasarkan PDB (G-20), dan
berada dalam posisi ke-16. Indonesia sudah termasuk dalam negara
berpendapatan menengah (middle income country).
Pendapatan per kapita 2016
mencapai 3.570 dollar AS (Bank Dunia, atas dasar dollar AS berlaku).
Pendapatan itu artinya enam kali lebih besar dibanding 1990 atau 63 kali
dibanding 1967. Posisi ekonomi yang semakin membaik, membuat pilihan-pilihan
yang dimiliki Indonesia kini semakin luas dan tentu saja posisi tawar juga
semakin kuat dalam berunding dengan Freeport.
Perundingan dengan Freeport tentu
bukan hanya soal pemilikan saham, meskipun itu sangat penting. Tetapi juga
menyangkut banyak hal, antara lain pajak dan royalti, lingkungan terutama
limbah buangan (tailing), pembangunan masyarakat Papua, keselamatan kerja dan
teknologi tambang bawah tanah (sekarang panjang terowongan sudah sekitar 600
km, dan akan menjadi 1.000km) dan lain sebagainya. Perundingan itu harus
dikawal oleh masyarakat, oleh informed public, yang sekarang di era informasi
terbuka sudah lebih mudah dilakukan, baik melalui media tradisional maupun
media sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar