Kepemimpinan
Kemerdekaan
Yudi Latif ; Pengurus Aliansi Kebangsaan; Dosen
Universitas Negeri Yogyakarta
|
KOMPAS,
16 Agustus
2018
Indonesia merdeka tampil dengan
jiwa pemenang. Sebagai pemenang revolusi, para pemimpin bangsa memandang masa
depan dengan penuh percaya diri bahwa ideal-idealnya akan tercapai. Bagi
kebanyak- an mereka, imaji demokrasi merupakan imaji dari ideal-ideal
kebangsaan itu. Demo- krasi identik dengan kebajikan dan kesento- saan
masyarakat masa depan (Feith, 1962).
Kepercayaan diri yang tinggi itu
tecermin dalam gerakan kebudayaan. Kurang dari dua bulan setelah pengakuan
internasional akan kedaulatan Indonesia, pada 18 Februari 1950 sekumpulan
seniman yang terhubung melalui mingguan Siaat melansir Surat Kepercayaan
Gelanggang. Surat pernyataan itu dibuka dengan kalimat yang sangat lantang:
”Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini
kami teruskan dengan cara kami sendiri”.
Etos kemenangan dan kepeloporan
itu tampaknya bukanlah isapan jempol. Ada masanya Indonesia menjadi inisiator
gerakan dekolonisasi, gerakan non-blok dan tatanan dunia baru yang tepercaya.
Menjelang Konferensi Asia Afrika di Bandung,
sebanyak 14 sarjana humanis terkemuka dari Amerika Serikat mengirimkan
surat kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Di antara mereka terdapat
nama-nama: Miss Emily G Back, seorang ekonom dan sosiolog, peraih hadiah
Nobel untuk Perdamaian; penulis wanita Pearl Buck, peraih hadiah Nobel, dan
juga peraih hadiah Pulitzer; SR Marlow, mahaguru agama; Lewis Munford, ahli
filsafat dan sejarah, dan lain-lain.
Surat itu berisi pengharapan pada
Indonesia: ”Banyak penduduk dunia hidup dalam kemelaratan, banyak yang hidup
dirundung ketakutan, banyak lagi yang asyik membentuk blok-blok. Di tengah-
tengah tekanan dan kekacauan situasi demikian, kami membuat surat ini…. Dunia
telah jemu akan penindasan, dogma, dan peperangan. Dunia telah jemu melihat
nafsu penjajah pelbagai negara, atau nafsu mendirikan pakta-pakta pertahanan.
Besar harapan kami kepada Tuan, mudah- mudahan Tuan dapat memecahkan semua
masalah dengan merdeka; untuk merumuskan dasar-dasar masyarakat baru…. Kami
sangat mengharap agar Tuan dapat menjadi Asoka untuk menyatukan kembali dunia
kita dalam suatu masyarakat berdasarkan cinta sesama, suatu dunia di mana
masyarakat saling mengerti, masyarakat teknik dan masyarakat seni dapat
berkembang menuju kesempurnaan”.
Dari mana ketinggian muruah
Indonesia itu bermula? Kebesaran
penduduk dan keluasan wilayah negara tak menjamin kebesaran harkat bangsanya.
Sejarawan HG Wells kerap kali mengingatkan. ”Apa yang menentukan
besar-kecilnya suatu bangsa?” Lantas ia simpulkan bahwa, ”Anasir terpenting
yang menentukan nasib suatu bangsa adalah kualitas dan kuantitas tekadnya.”
Tekad sebagai sikap mental(state of mind) yang mencerminkan kuat-lemahnya jiwa bangsa.
Oleh karena itu, Bung Karno
berulang kali menekankan perlunya membesarkan jiwa bangsa. ”Tiap-tiap bangsa
mempunyai orang-orang besar, tiap-tiap periode dalam sejarah mempunyai
orang-orang yang besar, tetapi lebih besar daripada Mahatma Gandhi adalah
jiwa Mahatma Gandhi, lebih besar daripada Stalin adalah jiwa Stalin; lebih
besar daripada Roosevelt adalah jiwa Roosevelt… lebih besar daripada
tiap-tiap orang besar adalah jiwa daripada orang besar itu. Jiwa yang besar
yang tidak tampak itu adalah di dalam dadanya tiap-tiap manusia, bahkan kita
mempunyai jiwa sebagai bangsa. Maka, kita sebagai manusia mempunyai kewajiban
untuk membesarkan kita punya jiwa sendiri dan membesarkan jiwa bangsa yang
kita menjadi anggota daripadanya.”
Dalam pandangan Bung Hatta, sebuah
bangsa tidaklah eksis dan besar dengan sendirinya, tetapi tumbuh atas
landasan suatu keyakinan dan sikap batin yang perlu dibina dan dipupuk
sepanjang masa, terlebih kebangsaan Indonesia sebagai konstruksi politik yang
meleburkan aneka (suku) bangsa ke dalam suatu unit kebangsaan baru, ”untuk
mempertahankannya tiap orang harus berusaha dengan segala tenaga dan
kemampuannya”.
Masa
depan bangsa
Harapan dan peringatan kedua Bapak
Bangsa di atas patut direnungkan menjelang pemilihan umum kelima di era
Reformasi. Telah berlalu masa yang panjang ketika karunia kekayaan dan
keindahan negeri ini tak sebanding dengan martabat bangsanya: kekayaan alam
tak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tak memperkuat daya saing,
kemajemukan kebangsaan tak memperkuat ketahanan budaya, dan keberagamaan tak
mendorong keinsafan berbudi.
Berdiri di awal milenium baru,
dalam abad kebangkitan Asia, menyentuh rasa hirau kita tentang masa depan
bangsa. Bagaimana mungkin suatu negara-bangsa yang pernah menjadi pelopor
kebangkitan Asia-Afrika justru menjadi pengekor dalam perkembangan kawasan?
Mestinya kita bisa kembali ke jalur pemenang. Kita mewarisi sisa-sisa modal
sejarah. Kita pun masih memiliki sumber daya yang cukup untuk bangkit dari
keterpurukan. Yang diperlukan adalah menyatukan segala elemen kekuatan
nasional serta menyalurkan energi nasional untuk sesuatu yang lebih
produktif.
Kepemimpinan politik harus mampu
mengarahkan energi nasional untuk memenangi masa depan, bukan untuk terus-
terusan mengutuk dan memolitisasi masa lalu. Kebiasaan kita untuk mengutuk
masa lalu dengan mengulanginya, bukan dengan melampauinya, membuat perilaku
politik Indonesia tak pernah melampaui fase kekanak-kanakannya (regressive
politics). Melampaui masa lalu diperlukan konsepsi patriotisme yang lebih
progresif. Patriotisme yang tidak cuma
bersandar pada apa yang bisa dilawan, tetapi juga pada apa yang bisa
ditawarkan. Proyek historisnya bukan hanya
mempertahankan, melainkan juga memperbaiki keadaan negeri.
Seturut dengan tujuan nasional,
patriotisme progresif berorientasi melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia melalui perwujudan keamanan-kesejahteraan, ekonomi-kesejahteraan,
politik-kesejahteraan, birokrasi kesejahteraan, dan budaya-kesejahteraan.
Untuk itu, demokrasi yang
dibayangkan sebagai manifestasi dari hal-hal yang ideal perlu dibumikan dalam
kepenuhan substansinya. Demokrasi prosedural yang berhenti sebatas
ritual-ritual pemilihan padat modal dengan gonta-ganti peraturan dan desain
kelembagaan politik tidak memiliki signifikansi bagi kesejahteraan dan
kemajuan bangsa.
Eric Weiner (2016) menengarai
bahwa tidak ada korelasi antara era keemasan kenegaraan dan demokrasi.
Substansi yang perlu dihadirkan adalah kebebasan kreatif, bukan demokrasi
semata. China tidak pernah memiliki demokrasi, tetapi memiliki autokrat
tercerahkan yang memberi ruang kreatif bagi warganya untuk mengembangkan
potensi diri dan memenuhi tugas kewargaan. Demokrasi sejati mestinya
mengandung iklim kebebasan yang lebih luas dan sehat, dengan semangat
kewargaan yang menghormati nalar dan moral publik.
Di sini, budaya literasi kuat.
Talenta, toleransi, dan teknologi berkembang.
Semangat mencintai tanah air (amore patria) menjadi kebajikan
kewargaan. Pemimpin menjadi penuntun; warga menjadi garda republik. Dalam
menjalankan demokrasi substantif tersebut, kepresidenan memainkan peran
sangat menentukan. Sebagai pejabat negara yang dipilih langsung (secara
teoretis) oleh seluruh rakyat, presiden melambangkan harapan rakyat. ”Tugas
terberat seorang presiden,” ujar Lyndon B Johnson, presiden ke-36 Amerika
Serikat, ”bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang
benar.” Untuk mengetahui apa yang benar, seorang presiden harus menemukan
panduan dari dasar filsafat dan konstitusi negara.
Komitmen kepemimpinan negara
berlandaskan konstitusi adalah berkhidmat pada upaya mengamankan dan mencari
keseimbangan dalam pemenuhan tiga pokok kemaslahatan publik (public goods).
Hal ini berkisar pada persoalan legitimasi demokrasi, kesejahteraan ekonomi,
dan identitas kolektif. Basis legitimasi dari institusi-institusi demokrasi
berangkat dari asumsi bahwa institusi-institusi tersebut merepresentasikan
kepentingan dan aspirasi seluruh rakyat secara imparsial.
Klaim ini bisa dipenuhi jika
segala keputusan politik yang diambil secara prinsip terbuka bagi
proses-proses perdebatan publik (public deliberation) secara bebas, setara,
dan rasional. Hanya dengan penghormatan terhadap prosedur-prosedur public
deliberation seperti itulah peraturan dan keputusan yang diambil memiliki
legitimasi demokratis yang mengikat semua warga, dan pemerintah bisa
melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu (strong).
Setelah basis legitimasi
diperjuangkan, kemaslahatan publik selanjutnya adalah kesejahteraan ekonomi.
Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa demokratisasi di bidang
ekonomi. Pancasila sendiri mengisyaratkan, bahwa ujung pencapaian nilai-nilai
ideal kebangsaan harus bermuara pada ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Selama era Reformasi, Indonesia telah mencapai kemajuan berarti
dalam penciptaan masyarakat yang lebih transparan dan terbuka di bidang
politik.
Namun, capaian-capaian ini sering
kali dimentahkan oleh keterpurukan dan kesenjangan ekonomi. Dalam pandangan
Joseph E Stiglitz (2005), menciptakan kesejahteraan umum di negara berkembang
seperti Indonesia memerlukan keseimbangan antara peran pemerintah dan pasar.
Dalam hal ini, negara berkembang harus lebih bebas dan leluasa menentukan
pilihan-pilihan kebijakan ekonominya.
Pemimpin negara harus memiliki
keberanian untuk menjalankan amanat konstitusi dalam penguasaan bumi, air,
udara, dan kekayaan alam bagi kesejahteraan rakyat. Pemimpin negara, sebagai
mata-hati dan mata-nalar rakyat, harus berani mengambil sikap pro-rakyat
dalam kasus eksplorasi kekayaan alam yang merugikan bangsa dan negara.
Semuanya itu merupakan prakondisi bagi terpeliharanya kebajikan ketiga: yakni
identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia. Kemunculan Indonesia sebagai
bangsa multikultural menghendaki perwujudan civic nationalism, dengan
semangat Bhinneka Tunggal Ika, berlandaskan Pancasila sebagai titik temu,
titik tumpu dan titik tuju bersama dari segala keragaman.
Kesinambungan
perjuangan
Dalam meruyaknya tarikan ke arah
populisme dan politik identitas, fungsi pemimpin negara sebagai kekuatan
moderasi di antara ekstremitas masyarakat benar-benar sedang diuji. Betapa
pun mereka tampil karena dukungan partai atau kelompok tertentu, sebagai
pemimpin nasional, mestinya harus tetap berdiri kokoh di atas landasan
republikanisme. Terlalu mahal harganya jika segala bangunan konsensus
nasional dirobohkan demi mobilisasi dukungan dalam mengejar kepentingan
politik jangka pendek.
Suasana memasuki peringatan Hari
Kemerdekaan tahun ini diwarnai oleh momen politik yang sangat krusial, berupa
penentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres). Persinggungan antara kedua peristiwa penting
itu mestinya menjadi momen pengingat, bahwa hakikat sesungguhnya dari estafet
kepemimpinan nasional adalah kesinambungan perjuangan mencapai cita- cita
kemerdekaan: mewujudkan perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur.
Kemerdekaan dari penjajahan
bukanlah akhir segalanya. Ia adalah permulaan yang membangkitkan tantangan
sekaligus menuntut jawaban. Tantangan bangsa Indonesia yang begitu besar,
baik karena warisan laten maupun persoalan baru, hanya bisa dijawab oleh para
pemimpin dengan jiwa besar. Jiwa yang memiliki keluasan mental seluas wilayah
Indonesia dan kekayaan rohani sebanyak penduduk Indonesia. Jiwa yang selalu
bertanya apa yang bisa diberikan kepada negara, bukan apa yang bisa diambil
dari negara. Jiwa yang tidak mengorbankan keselamatan bangsa dan rakyat
keseluruhan hanya demi karena ambisi kekuasaan.
Jiwa besar yang memiliki cipta
besar dan mampu mengemban tanggung jawab besar. Seperti diingatkan Bung
Hatta, ”Indonesia, luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya.
Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka
yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan
amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita jika kita
sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat,
keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapat rasa tanggung jawab
yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik diri kita dengan rasa cinta akan
kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati kita harus penuh dengan cita-cita
besar, lebih besar dan lebih lama umurnya daripada kita sendiri.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar