Anatomi
Divestasi Freeport
Christianto Wibisono ; Ketua Pendiri Pusat Data Bisnis
Indonesia
|
KOMPAS,
26 Juli
2018
Sejak berdiri tahun 1980, Pusat
Data Bisnis Indonesia mengkhususkan diri mengkaji kebijakan pemerintah dalam
mengelola kekuatan ekonomi nasional dalam wadah Indonesia Inc.
Indonesia Inc mengacu pada Japan
Inc dan Korea Inc, yang sebetulnya juga dilakukan oleh AS dan Uni Eropa dalam
bentuk yang lebih ”demokratis”.
Jepang memiliki sogoshosha dan
zaibatsu, seperti Mitsui, Mitsubishi, Marubeni, Itochu, Toyota, dan Hitachi,
yang ditiru Korea dengan chaebol Hyundai, Samsung, LG, dan Lotte. Cikal bakal
EIC dan VOC merupakan model BUMN pemegang monopoli yang ditugasi kerajaan
Inggris dan Belanda mengelola transaksi bisnis BUMN imperial itu dengan
penguasa lokal feodal tradisional di India dan Indonesia.
Kedua monopoli itu bubar karena
korupsi dan overstretch, diganti korporasi swasta plural, yaitu tiga bank
besar (”The Big Three Bank”) Belanda (NHM, NHB, dan Escompto) yang
derivatifnya sejak dinasionalisasi tahun 1957 bermetamorfosis jadi Bank
Mandiri. Sementara ”The Big Five Trading House” Borsumij, Geo Wehry,
Internatio, Jacoberg, dan Lindeteves, yang setara sogososha Jepang, setelah
dinasionalisasi mengalami keterpurukan hingga terlikuidasi dan sisanya
menjadi PT Indonesia Trade Centre (ITC) yang jauh dari peranan sogoshosha
utama.
Indonesia satu-satunya negara
jajahan yang harus menerima warisan beban utang Hindia Belanda senilai 1.150
juta dollar AS dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar, Desember 1949. Di
balik kesediaan mengambil beban itu sebetulnya ada janji AS bahwa kelak RI
akan dikucuri bantuan AS. Ternyata bantuan itu hanya berupa kredit ekspor dan
studi kelayakan untuk pembangunan pabrik Semen Gresik dan Pupuk Sriwijaya.
Namun Indonesia tetap
mempertahankan tata krama diplomatik dan transaksi komersial dalam membangun
kekuatan ekonomi nasional. Pemerintah membeli saham De Javasche Bank 1953
untuk dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia dengan harga pari di bursa
Amsterdam dan Jakarta. Status quo bulan madu Indonesia-Belanda terhenti
dengan nasionalisasi tanpa kompensasi pada 1957 dalam rangka perjuangan Irian
Barat.
Semua perusahaan Belanda diambil
alih dan dampak negatifnya masih terasa hingga kini. Sistem Reguler Liner
Service KPM lenyap tanpa pengganti sehingga biaya logistik antarpulau di
Nusantara termahal di dunia. Lebih celaka lagi, sistem ekonomi etatisme kiri
telah membuat Indonesia terpuruk karena alokasi sumber daya dicurahkan ke
persenjataan Angkatan Udara dan Angkatan Laut terkuat di belahan bumi
selatan.
Setelah Irian Barat kembali ke Ibu
Pertiwi melalui negosiasi dengan mediator Presiden Kennedy, Bung Karno
melanjutkan konfrontasi dengan Malaysia yang menelan biaya, di samping
penyelenggaraan Asian Games IV/1962 yang juga menguras tabungan nasional.
Kudeta G30S dan sanering 13 Desember 1965 berujung pergantian presiden dari
Bung Karno ke Soeharto.
Semua perusahaan Belanda yang
belum bangkrut akibat salah urus harus dikembalikan kepada pemilik pada 1967
untuk merangsang dan mengundang modal asing baru memasuki Indonesia yang
terpuruk. Di antara pendatang baru yang masuk adalah Freeport dalam bentuk
kontrak karya langsung tanpa perlu membentuk badan hukum perseroan terbatas
lokal di Indonesia. Semuanya dalam rangka UU PMA yang berlaku 30 tahun dengan
harapan setelah 30 tahun bisa terjadi proses Indonesianisasi kepemilikan
dengan ”cara legal, terhormat, dan bukan konfiskasi nasionalisasi paksa”.
Indonesia punya banyak pengalaman
dalam konflik bilateral dengan negara atau korporasi swasta. Salah satunya
aksi sepihak memindahkan lelang tembakau Indonesia dari Rotterdam ke Bremen
digugat Belanda di mahkamah di Hamburg. Tim pengacara Indonesia, diwakili
Prof Dr Gouw Giok Siong, menghadapi mantan profesornya dan beruntung hakim
Jerman lebih berpihak ke Indonesia karena Bremen menikmati keuntungan dari
mutasi lokasi lelang dan menolak gugatan Belanda mengembalikan lokasi ke
Rotterdam.
Ibnu Sutowo memimpin tim Permina
berunding membeli aset Shell dari 150 juta dollar AS menjadi 110 juta dollar
AS, terbayar lunas dengan angsuran tepat waktu sejak 1970 meski Ibnu dipecat
tahun 1976 karena gagal bayar akibat mismatch utang jangka pendek dan kegagalan
utang jangka panjang.
Blunder Ibnu mewariskan utang 10
miliar dollar AS bagi Pemerintah RI yang memerlukan tim gabungan teknokrat
konglomerat Radius Prawiro-Liem Sioe Liong untuk menyelesaikan kontrak
pembelian tanker dengan Bruce Rappaport, raja kapal Yahudi. Salim Group
mendapat order membangun kilang di Dumai dengan kontraktor Spanyol. Ibnu
Sutowo mengorbitkan Habibie sebagai anak emas Soeharto yang baru dengan
proyek mercusuar pabrik pesawat terbang IPTN dan konsolidasi 10 BUMN dalam
Badan Pengelola Industri Strategis. Sayang, eksperimen lompatan ke teknologi
tinggi itu terhenti oleh krisis moneter.
Malaysia justru meniru Pertamina
era Ibnu dengan mendirikan Petronas dan pada 1981 Mahathir Mohamad melakukan
gebrakan nasionalisasi melalui akuisisi saham perusahaan perkebunan terbesar
di dunia, Guthrie, di bursa London. ”Serangan fajar” yang menyebabkan PM
Inggris Margaret Thatcher murka besar, tetapi tak berdaya.
Indonesia juga pernah bersengketa
dengan investor Amco Asia dari Kanada dalam proyek Hotel Kartika Plaza
berpatungan dengan Inkopad. Lahan Kartika Plaza (kini UOB Plaza) bermula
milik pengusaha Orde Lama, Teuku Markam, yang disita dan diakuisisi Inkopad.
Konflik diawali penyitaan aset oleh Ketua BKPM Ismail Saleh yang diadukan ke
ICSID (mahkamah arbitrase Bank Dunia) dan makan waktu 10 tahun (24 Juni 1982
hingga 17 Desember 1992).
Kasus
Freeport
Dalam kasus Freeport, proses
Indonesianisasi 1991 berlangsung mulus dengan ”friendly hibah” oleh Menteri
Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita kepada Aburizal Bakrie yang
pada 1996 menjualnya kepada Bob Hasan. Ironis, laba emas Irian dicemplungkan
untuk mencari minyak Teluk Meksiko yang gagal. Namun, dalam fluktuasi saham
Wall Street, corporate raider seperti Carl Icahn dengan lihai menikmati keuntungan
ketika ia dengan jeli mengamati dan menjinakkan gejolak saham itu untuk
kepentingannya sebagai pemegang saham kendali Freeport.
”Kelemahan” Indonesia dalam
”business game global” ini adalah kita tak sekreatif dan seproaktif Malaysia
dalam akuisisi Guthrie. Di Indonesia, elite politiknya pecah dalam faksi
oknum-oknum pribadi yang saling memotong kepentingan sempit masing-masing,
mulai dari era ”Ginandjar Boys” dengan hibah untuk Bakrie dan dijual berlipat
kali ke Bob Hasan, lalu dijual lagi ke Freeport. Semua merupakan
perselingkuhan antar-oknum yang tak bermanfaat bagi Indonesia Inc dalam
pengertian yang kita sepakati, kekuatan ekonomi Indonesia yang tangguh dan
canggih.
Gebrakan seperti akuisisi Guthrie
tentu hanya bisa dilakukan secara konfidensial sebab bisa dinilai sebagai
perdagangan orang dalam jika digembar-gemborkan. Indonesia belum atau tak
punya sovereign wealth fund seperti Temasek Singapura atau Khazanah Malaysia
dan BUMN belum terkonsolidasi seperti Temasek. Akibatnya, peluang melakukan
aksi korporasi dengan memanfaatkan faktor kebijakan sebagai penekan-pembuat
kurs dan sebagai Indonesia Inc melakukan raid langsung ke Wall Street sulit
dilaksanakan.
Kini, semua kartu sudah terbuka.
Kita harus puas dengan belanja Freeport seperti waktu tahun 1953 kita membeli
De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Masih untung konflik ini berujung
damai. Sebab, jika sampai terjadi sengketa ke arbitrase, seperti Karaha Bodas
yang dibatalkan atas perintah IMF, Indonesia malah dihukum denda sekitar 0,5 miliar
dollar AS.
Inilah pelajaran dari sejarah
konflik ekonomi bilateral ataupun antara negara/pemerintah RI dan investor,
yang memerlukan kepiawaian dan biaya mahal jika kita tidak arif bijaksana
mengelola isu dan kasus yang menyangkut konflik kepentingan bernilai miliaran
dollar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar