Cak
Nur dan Teladan Demokrasi
Muhammad Wahyuni Nafis ; Ketua Nurcholish Madjid Society
(NCMS); Direktur Sekolah Madania
|
KOMPAS,
28 Agustus
2018
Hari ini, 29 Agustus, 13
tahun lalu cendekiawan Nurcholish Madjid (Cak Nur) wafat.
Banyak pemikiran yang Cak
Nur torehkan semasa hidupnya, yang hari ini masih sangat relevan untuk dikaji
dan diterapkan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama di Tanah
Air. Pemikiran tentang demokrasi dan oposisi, keterbukaan, pluralisme,
”Islam, yes; Partai Islam, no”, sampai peneguhan eksistensi Indonesia sebagai
negara bangsa adalah beberapa pemikiran Cak Nur yang saat ini dipandang masih
sangat relevan.
Dari beberapa pemikiran
itu, ide tentang ”Islam, yes; Partai Islam, no”—yang dilontarkan Cak Nur pada
awal 1970—terasa menemukan konteksnya kembali pada tahun politik ini. Oleh
karena itu, Nurcholish Madjid Society (NCMS) mengangkat tema haul Cak Nur
kali ini ”Politisasi Agama: Membaca Kembali Islam, Yes; Partai Islam, No”.
Islam
dan demokrasi
Pernyataan Cak Nur tentang
”Islam, yes; Partai Islam, no” sebenarnya bukanlah pernyataan yang berdiri
sendiri. Ia merupakan subtema dari suatu tema besar tentang perlunya upaya
sekularisasi pemikiran Islam yang ditulis dalam artikel ”Keharusan Pembaruan
Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.
Ada dua tema besar lain
dalam artikel yang dipresentasikan pada acara halalbihalal, 3 Januari 1970,
yang diadakan oleh PII, HMI, GPI, dan Persami tersebut, yaitu kebebasan
berpikir serta idea of progress dan sikap terbuka. Ide sekularisasi ini
dinilai sangat penting bukan karena banyak orang menentang, mengkritik, dan
gagal-paham dengan apa yang dimaksudkan oleh Cak Nur, melainkan ide ini juga
bagaikan pintu gerbang yang di dalamnya terdapat ide-ide pembaruan pemikiran
Islam lainnya. Makna tauhid, tidak ada negara Islam, hubungan antara agama
dan politik, sampai pada gagasan kembali kepada Al Quran dan Al-Sunnah adalah
bagian yang terdapat dalam ide perlunya sekularisasi.
Umat Islam dalam bacaan
Cak Nur saat itu banyak yang tidak mampu membedakan antara nilai-nilai yang
termasuk transendental (ukhrawi) dan temporal (duniawi). Mereka sering
memperlakukan hierarki nilai itu dalam keadaan terbalik, yang transendental
jadi temporal dan sebaliknya. Atau bahkan memandang semua hal bernilai
transendental, dianggap semuanya bersifat ukhrawi, tanpa kecuali. Akibat
pandangan itu Islam dinilai jadi semacam tradisi dan menjadi Islam sederajat
dengan menjadi tradisionalis. Dengan konsep ini, sikap-sikap yang memandang
kehidupan dan aktivitas duniawi (secara sosiologis) sebagai suci tidaklah
dibenarkan.
Dalam keadaan umat Islam
semacam inilah Cak Nur merasakan perlunya upaya sekularisasi, yaitu
menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan
melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.
Sekularisasi di sini tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan
mengubah kaum Muslim menjadi sekularis.
Dalam konteks inilah
pernyataan ”Islam, yes; Partai Islam, no” diletakkan. Partai politik Islam
dan aktivitas sosial-politik lainnya adalah bersifat duniawi. Tak boleh
dipandang sebagai bernilai transendental (ukhrawi). Tidak dibenarkan kualitas
keislaman seseorang karena ia berpartai Islam atau bukan. Sebab, kriteria
berislam dengan kriteria berpartai Islam adalah jauh berbeda. Yang satu
berpedoman pada kitab suci, yang lain mengikuti hukum dan kaidah-kaidah
duniawi. Islam dalam pandangan Cak Nur tidak mengenal sistem teokrasi. Juga
tidak mengenal sekularisme. Islam justru menerima dan cocok dengan sistem
demokrasi.
Mengapa demokrasi? Dengan
demokrasi memungkinkan orang-orang yang terpilih jadi pemimpin nasional
adalah yang memiliki kompetensi dan kualitas kepemimpinan yang mampu menjawab
persoalan-persoalan bangsa. Bukan karena agama tertentu lalu yang
bersangkutan didukung dan dipilih jadi pemimpin tanpa memedulikan kompetensi
dan kualitas kepemimpinan. Jadi pernyataan ”Islam, yes; Partai Islam, no”
bisa juga dibaca sebagai penolakan adanya gerakan politisasi Islam.
Di sinilah Cak Nur dalam
hal berdemokrasi memberikan teladan. Awal 1970, saat Cak Nur jadi Ketua Umum
PB HMI periode kedua, ia diajak untuk mendukung Golkar pada Pemilu 1971. Cak
Nur menolak. Mengapa? Sebab, Golkar menurut Cak Nur sudah pasti menang karena
didukung oleh 3M: money, military, dan machine (birokrasi). Menurut Cak Nur,
para pemuda dan mahasiswa harusnya mendukung partai, bukan mendukung Golkar
agar kekuatan partai relatif seimbang dengan Golkar dan agar demokrasi bisa
tumbuh sehat.
Teladan demokrasi yang Cak
Nur lakukan bisa dilihat juga pada keterlibatannya berkampanye untuk PPP pada
Pemilu 1977. Banyak orang tak memahami apa maksud di balik tindakan kampanye
Cak Nur untuk PPP saat itu. Tidak sedikit orang mengecam Cak Nur sebagai
orang yang tidak konsisten dengan pernyataan ”Islam, yes; Partai Islam, no”
sehingga mengubahnya jadi ”Islam, yes; Partai Islam, yes”. Padahal, apa yang
dilakukan Cak Nur adalah keberpihakan pada partai politik yang lemah agar tak
terjadi adanya kekuatan politik dominan sehingga proses check and balance
bisa dijalankan dengan efektif. Karena itu, tindakan demokrasi yang dilakukan
Cak Nur yang diistilahkan oleh Mahbub Djunaedi ”memompa ban kempes” itu
dilakukannya demi berjalannya demokrasi yang sehat. Ia tidak berharap dapat
keuntungan politis apa pun dari PPP.
Demokrasi
dan oposisi
Apa yang dilakukan Cak Nur
sebenarnya biasa dilakukan para cendekiawan di negeri-negeri Barat sebagai
langkah pemihakan kepada kaum pinggiran dan kelompok yang bakal kalah. Dengan
kata lain, Cak Nur melakukan apa yang disebut critical participation,
partisipasi yang menentukan demi suatu keseimbangan.
Dan, untuk menguatkan apa
yang telah Cak Nur lakukan itu, jauh setelah aktivitas kampanyenya itu
berlalu, yakni sekitar 17 tahun kemudian, tepatnya pada 7 Februari 1994,
dalam suatu seminar di LIPI, ia membuat makalah berjudul ”Demokrasi,
Demokratisasi dan Oposisi”. Makalah itu berisi pemaparan tentang makna dan
hakikat demokrasi dan pentingnya oposisi loyal yang telah diperankannya jauh
sebelum makalah itu dibuat. Karena itu, jika dilihat dari perspektif ini,
keterlibatan Cak Nur dalam kampanye untuk PPP pada 1977, lalu aktifnya Cak
Nur sebagai anggota Dewan Pertimbangan Komite Independen Pemantau Pemilu
(KIPP) yang dideklarasikan pada 15 Maret 1996 oleh Goenawan Mohamad dan
kawan-kawan adalah selaras dengan ide yang mendukung partai—bukan Golkar—pada
1970.
Bagi Cak Nur, keberadaan
partai oposisi dibutuhkan di Indonesia untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi.
Kehadiran partai oposisi akan mengefektifkan terjadinya kontrol serta check
and balance dalam kehidupan bernegara. Dan, pembicaraan soal demokrasi serta
perlunya partai oposisi saat ini masih dipandang tetap relevan. Hal ini
mengingat belum ada satu partai pun yang berani dengan sengaja dan disiapkan
secara konsepsional menjadi partai oposisi dengan segala konsekuensinya.
Karena itu, ide tentang demokrasi dan perlunya partai oposisi seperti yang
diharapkan oleh Cak Nur, hemat saya, tetap penting dan strategis diwacanakan
untuk kepentingan kehidupan berdemokrasi di negara kita.
Cak Nur sering menjelaskan
bahwa sistem politik disebut demokratis jika terdapat wujud dinamika
pengawasan dan pengimbangan (check and balance). Mengapa pengawasan? Sebab,
sebagai ideologi terbuka, demokrasi adalah sistem yang terbuka untuk semua
pemeran-serta (partisipan) dan tak dibenarkan untuk diserahkan kepada
keinginan pribadi atau kebijaksanaannya, betapapun wasesa-nya orang itu. Dan,
mengapa pengimbangan? Sebab, sistem masyarakat dapat dikatakan sebagai
demokratis hanya jika terbuka kesempatan bagi setiap kelompok dalam
masyarakat untuk berpartisipasi, apa pun dan bagaimanapun caranya, dan tidak
boleh dibiarkan adanya unsur sebagian yang mendominasi keseluruhan.
Dengan penegasan tersebut,
bagi Cak Nur, tidak dapat dibenarkan dalam alam demokrasi jika tidak terdapat
partai politik oposisi. Partai oposisi yang dimaksudkan oleh Cak Nur adalah
partai yang menjalankan ide check and balance sehingga tidak berarti
terus-menerus to oppose, tetapi juga to support.
Cak Nur mencontohkan di
Amerika yang hanya ada partai pemerintah dan partai oposisi. Jika yang tengah
berkuasa Partai Demokrat, yang menjadi oposisinya adalah Partai Republik.
Demikian pula sebaliknya. Dan menariknya dalam beberapa hal sering terjadi
koalisi-koalisi. Karena itu, tidak aneh jika terjadi sebagian orang Republik
berpihak kepada suatu masalah yang orang- orang Demokrat juga memihaknya.
Demikian juga sebaliknya. Namun, itu semua dilakukan dengan inisiatif penuh
dari orang- orang tersebut. Jadi, hal itu terjadi bukan masalah kebijakan
golongan atau kelompok, melainkan inisiatif penuh sebagai wakil rakyat.
Berulang-ulang Cak Nur
menegaskan tidak boleh hanya ada satu kekuatan sosial-politik yang dominan di
negeri ini. Sebab, ia bisa jadi semacam tiran yang akan bertindak
semena-mena. Oleh karena itu, diperlukan kekuatan pengimbang. Sebagai
cendekiawan, Cak Nur memerankan sosok pengimbang itu, yang diamalkannya
secara universal, tidak didasarkan kepentingan kelompok agama atau etnis
tertentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar