Keteladanan
Olahraga
Yudi Latif ; Pengurus Aliansi Kebangsaan; Dosen
Universitas Negeri Yogyakarta; Mantan Kepala BPIP
|
KOMPAS,
30 Agustus
2018
Asian Games memberi
pelajaran politik kewargaan yang amat berharga. Bukan hanya soal upacara
pembukaannya yang spektakuler, yang meyakinkan kita akan potensi Indonesia
sebagai adidaya budaya dunia. Bukan juga soal perolehan medali yang membuat
kita tidak kehilangan muka sebagai bangsa besar. Bukan pula sebatas cucuran
keringat dan ketabahan menahan sakit yang mencerminkan kesadaran bela negara.
Yang lebih penting adalah soal semangat inklusif kewargaan yang membuat
segala perbedaan melebur dalam perjuangan bersama demi kehormatan dan prestasi
bangsa.
Perhatikan berbagai cabang
olahraga beregu, seperti bola voli putri. Di sana, atlet-atlet berkerudung
bahu-membahu bersama rekannya yang berkalung salib tanpa hambatan psikologis.
Semua identitas setara, saling berangkulan, meneriakkan pekik yang sama,
serempak jatuh-bangun menahan gempuran dan melancarkan serangan. Menyaksikan
pemandangan seperti itu bisa membuat kita berderai air mata. Terbukti juga
bahwa medali yang kita peroleh disumbangkan oleh atlet dengan latar identitas
yang beragam. Semangat inklusif kewargaan dalam kesetaraan bisa meleburkan
perbedaan dalam harmoni persatuan yang membuat bangsa ini beprestasi maju.
Keteladanan olahraga
memberi inspirasi bagaimana menguatkan kohesi sosial di tengah polarisasi dan
fragmentasi kebangsaan. Bahwa transformasi soal menuju integrasi nasional
memerlukan penguatan di ”lima kesadaran”: kesadaran nasional, kesadaran
bernegara, kesadaran berpemerintahan, kesadaran sosial, dan kesadaran bela
negara.
Perwujudan kelima
kesadaran itu tecermin dalam semangat persatuan dan kemandirian bangsa,
semangat kewargaan yang inklusif, semangat menyelaraskan hak dan kepentingan
perseorangan dengan kewajiban dan kepentingan bersama, semangat gotong royong
yang dinamis; dan semangat patriotisme dengan rela berkorban.
Jalan ke arah itu
memerlukan prasyarat kesetaraan kewargaan dengan melakukan pengikisan atas
struktur sosial feodalistik dan kolonialistik-kapitalistik yang
diskriminatif, digantikan struktur dan kultur masyarakat Pancasilais yang
egaliter, dengan semangat persatuan nasional yang mengatasi kepentingan
perseorangan dan golongan.
Untuk itu, perlu ada
perombakan pada basis ekonomi dan supersturktur mental-kultural. Pada ranah
ekonomi, kesetaraan bisa dibangun dengan membudayakan usaha tolong-menolong. Semua
bentuk badan usaha (BUMN, kooperasi, dan swasta) harus mencerminkan sifat
”tolong-menolong” (kekeluargaan). Ke dalam, setiap bentuk badan usaha harus
mengembangkan hubungan industrial Pancasila yang menguntungkan bagi semua
pemangku kepentingan. Keluar, di antara ketiga bentuk badan usaha itu harus
ada pembagian peran dan interdependensi dalam penguasaan dan pengusahaan
sektor-sektor ekonomi dari hulu ke hilir. Harus dicegah terjadinya penguasaan
sektor-sektor ekonomi dari hulu ke hilir di tangan orang seorang secara
monopolistik dan oligopolistik.
Usaha memperkuat
kesetaraan pada struktur perekonomian itu memerlukan keleluasaan negara untuk
menentukan nasibnya sendiri. Negara-bangsa harus mengembangkan sikap kejiwaan
dan kesanggupan untuk (sebisa mungkin) mencukupi diri sendiri dengan kerelaan
membeli produk dalam negeri. Bangsa Indonesia hendaknya tidak mengembangkan
perilaku ekonomi boros, ”besar pasak daripada tiang”, yang bisa menjadi pintu
masuk bagi dikte-dikte kekuatan asing dalam perencanaan dan kebijakan
perekonomian nasional.
Transformasi menuju
masyarakat Pancasila juga memerlukan perubahan mental-kultural. Perubahan itu
diarahkan untuk mengikis mentalitas feodalistik-kolonialistik-hedonistik dan
mental budak, dengan membuang nilai lama yang buruk, mempertahankan yang
baik, dan mengupayakan nilai baru yang lebih baik, yang lebih sejalan dengan
nilai-nilai Pancasila.
Usaha kebudayaan diarahkan
terutama untuk membangun mentalitas kesetaraan, kemandirian, gotong royong,
amanah, dan pelayanan dalam rangka mempertinggi mutu kemanusiaan, keadaban,
dan persatuan. Imperialisme kebudayaan harus dicegah dengan melindungi dan
menjamin berkembangnya kebudayaan nasional, melalui pemaduan kecemerlangan
lokal dan visi perkembangan global. Perlu diperkuat wawasan Nusantara, dengan
meluaskan horizon kebudayaan dari bias perspektif daratan menuju perhatian
yang lebih kuat terhadap visi kemaritiman. Pembangunan harus dijangkarkan
pada basis modal kultural dengan menggalakkan budaya baca dan meneliti serta
kreativitas inovasi masyarakat.
Hanya dengan mengembangkan
struktur dan kultur kesetaraan, kemajemukan kebangsaan punya mekanisme bawaan
ke arah inklusi sosial. Seperti dalam olahraga, dengan kekuatan inklusi
sosial, perbedaan tak jadi persengketaan, malahan saling melengkapi dan
menguatkan menuju prestasi dan kemajuan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar