Trump
dan Transformasi Struktural Global
Tri Winarno ; Peneliti Ekonomi Senior Bank Indonesia
|
TEMPO.CO, 10 Februari 2017
Donald
Trump kini telah resmi menjadi Presiden Amerika Serikat. Dunia akan
menghadapi transformasi struktural. Pertama, kebijakan ekonomi Trump
dipastikan menyebabkan tingkat bunga dan inflasi AS lebih tinggi daripada
ekspektasi pasar. Terpilihnya Trump sudah dapat dipastikan mengakhiri
kecenderungan penurunan laju inflasi dan tingkat bunga yang telah
berlangsung, sehingga akan berpengaruh signifikan bagi kondisi ekonomi dan
harga aset di tingkat global. Namun investor dan pemangku kebijakan belum
teryakinkan sepenuhnya akan dampak tersebut.
Ketika
Trump meluncurkan kebijakannya, Federal Reserve alias The Fed—sebutan bagi bank
sentral AS—akan mengetatkan kebijakan moneternya lebih besar daripada yang
direncanakan sebelum pelantikan Trump. Ketika kebijakan Trump berdampak
terpacunya pertumbuhan ekonomi dan inflasi di AS, tingkat bunga jangka
panjang yang berpengaruh signifikan bagi perekonomian dunia akan mengalami
kenaikan yang lebih curam dibanding tingkat bunga overnight.
Alasan
di balik skenario itu sederhana. Rencana perpajakan dan belanja Trump akan
membalik secara tajam konsolidasi anggaran yang diterapkan oleh Kongres pada
masa pemerintahan Barack Obama. Pinjaman rumah tangga akan meningkat drastis
tatkala Trump memperlonggar regulasi perbankan yang telah diterapkan sejak
krisis keuangan global 2008. Ketika stimulus ekonomi tersebut diterapkan saat
perekonomian AS telah mendekati optimal (full
employment), dipastikan inflasi AS semakin terakselerasi. Ditambah dengan
kebijakan proteksionisnya, dipastikan peningkatan inflasi akan lebih
dramatis, khususnya yang berhubungan dengan harga produk impor.
Yang
belum pasti adalah bagaimana kebijakan moneter The Fed merespons
"Trumpflation" ini. Namun apakah The Fed menimpali dengan cara
menaikkan bunga secara agresif atau memutuskan lebih hati-hati, tingkat bunga
jangka pendek akan tepat berada di bawah kenaikan kurva pertumbuhan harga,
sehingga investor yang memegang obligasi bakal lebih menderita. Akibatnya,
tingkat pengembalian obligasi AS tenor 10 tahun meningkat dari 2,5 persen ke
3,5 persen atau lebih pada tahun-tahun mendatang.
Kedua,
kondisi kontras terjadi di Eropa dan Jepang. Mereka cenderung menerapkan
kebijakan moneter yang tetap longgar. Bank sentral di negara-negara tersebut,
dalam upaya memacu pertumbuhan ekonominya, akan menerapkan kebijakan tingkat
bunga 0 persen dan quantitative easing (QE). Dan, kebijakan yang berlawanan
arah dengan kebijakan AS ini merupakan kejutan struktural potensial kedua.
Hal
ini akan membuat dolar AS semakin menguat, khususnya terhadap mata uang
negara-negara berkembang, walaupun Trump berupaya keras menggenjot ekspor AS.
Katalisator apresiasi dolar AS bukan hanya kenaikan tingkat bunga AS, tapi
juga langkanya dolar di pasar negara-negara berkembang, ketika utang luar
negeri negara berkembang meningkat US$ 3 triliun sejak 2010.
Kombinasi
penguatan dolar AS dan pinjaman luar negeri yang besar mengakibatkan krisis
utang di Amerika Latin dan Asia pada 1980-an dan 1990-an. Saat ini
proteksionisme Trump akan membuat keadaan semakin memburuk, khususnya untuk
negara-negara seperti Meksiko dan Turki, yang strategi pembangunannya
bergantung pada sektor eksternal dan pembiayaan yang bersumber dari utang
luar negeri.
Ketiga,
ini berita baiknya, kinerja perekonomian Uni Eropa diperkirakan lebih baik
daripada ekspektasi pasar. Indikator ekonomi mulai tampak membaik dengan
cepat di sebagian besar negara Uni Eropa sejak awal 2015, ketika Bank Sentral
Eropa menghentikan fragmentasi dengan meluncurkan program pembelian obligasi
yang besarnya lebih dari QE-nya The Fed.
Tapi,
tahun lalu, derap pemulihan ekonomi Uni Eropa ini dibayangi oleh kekhawatiran
akan disintegrasi politik di Uni Eropa. Dengan Belanda, Prancis, Jerman, dan
Italia menghadapi tantangan dari kelompok populis, Brexit dan USxit telah
memicu tumbangnya Uni Eropa.
Ekspektasi
ini akan menciptakan kejutan terbesar: alih-alih terdisintegrasi, Uni Eropa
justru akan makin stabil, yang ditandai dengan pemulihan ekonomi serta
membaiknya kinerja keuangan—mirip dengan periode "Goldi-locks " AS dari 2010
hingga 2014.
Peristiwa
penting pada 7 Mei mendatang adalah pemilihan umum Presiden Prancis. Entah
Francois Fillon entah Emmanuel Macron yang menang, Prancis akan menjalankan
reformasi ekonomi, yang mirip dengan di Jerman pada 2003 oleh Kanselir
Gerhard Schroeder. Langkah reformasi meliputi relaksasi persyaratan program
pengetatan anggaran. Semakin kooperatif dan konstruktif hubungan Jerman
dengan Prancis, dukungan kelompok populis Five
Star Movement—partai politik di Italia—akan semakin terkikis.
Risiko
terberat muncul jika Le Pen yang memenangi pemilihan umum Prancis. Bubarnya
Uni Eropa menjadi suatu keniscayaan yang akan memicu kepanikan di pasar uang
dan ekonomi global. Berdasarkan jajak pendapat, Le Pen bisa menjadi presiden
hanyalah fantasi. Namun, sebelum pemilihan Presiden AS, hampir semua jajak
pendapat menafikan Trump sebagai pemenang, bukan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar