Korupsi
Kronis dalam Institusi Ekstra-Legal
Hariadi Kartodihardjo ; Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB
|
TEMPO.CO, 09 Februari 2017
Selama
saya memfasilitasi kegiatan pencegahan korupsi oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi, terutama pelaksanaan Nota Kesepahaman Bersama/Gerakan Nasional
Penyelamatan Sumber Daya Alam dalam empat tahun terakhir, terlihat institusi
ekstra-legal menjadi salah satu masalah yang mencuat. Dari pengalaman itu,
ada empat hal yang dapat dicatat.
Pertama,
korupsi terjadi karena terdapat struktur kepemerintahan berupa jaminan atas
kesetiaan, baik dalam bentuk peraturan maupun sekadar kebiasaan. Misalnya,
rendahnya fasilitas dan gaji yang diterima pengawas produksi hutan dan
tambang membuat pengawas lapangan seperti dijebak melakukan kesalahan,
termasuk dijebak sebagai perangkat perusahaan dengan gaji bulanan.
Kajian
terhadap biaya transaksi perizinan kehutanan di Kalimantan Tengah dan Timur
oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK menunjukkan kenyataan ini.
Mereka harus setia, bukan hanya kepada perusahaan yang diawasi, tapi juga
kepada atasannya untuk perintah yang diberikan, benar ataupun salah. Di
situlah terwujud jalinan pemberi, pengawas, dan penerima izin sehingga tidak
mungkin mereka melaporkan perbuatan
sesamanya. Kerugian negara, yang dihitung KPK pu-luhan triliun rupiah setiap
tahun, itu sama sekali tidak berhubungan dengan risiko atas hubungan-hubungan
ini.
Kedua,
korupsi tidak selalu akibat perilaku korup, peraturan tak berjalan, atau
lemahnya penegakan hukum. Korupsi terjadi lebih karena adanya institusi
ekstra-legal, yaitu suatu jaringan yang dipelihara oleh kekuasaan yang secara
de facto melebihi kekuasaan legal negara. Dalam revitalisasi ekosistem Tesso
Nilo di Riau, misalnya, ditemukan adanya suatu wilayah eksklusif di dalam
Taman Nasional Tesso Nilo di bawah institusi ekstra-legal seperti itu.
Seorang polisi yang mengikuti evaluasi kegiatan tersebut di Pekanbaru, 24
Januari 2017, menyebutkan pentingnya operasi gabungan dari pusat karena
kuatnya jaringan di dalamnya. Dalam hal ini, korupsi dapat dipahami sebagai
jaringan transaksional yang berjalan secara sistematis dengan melibatkan
kepercayaan, pengkhianatan, penipuan, subordinasi untuk kepentingan tertentu,
kerahasiaan, dan keterlibatan beberapa pihak yang saling menguntungkan.
Ketiga,
pencegahan korupsi yang dilakukan berdasarkan pendekatan klasik oleh Robert
Klitgaard (1988) dapat dianggap tidak selalu tepat, terutama dalam perkara diskresi. Dalam
pendekatan Klitgaard, korupsi diatasi dengan mencegah terjadinya kewenangan
berlebihan atau monopoli, mengurangi terjadinya diskresi, serta meningkatkan
akuntabilitas. Padahal kegiatan di lapangan yang didasarkan pada regulasi,
keuangan, dan pengawasan justru dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi,
sehingga perlu diskresi.
Hal
itu dibuktikan oleh pimpinan daerah yang memenangi Nirwasita Tantra 2016,
yaitu penghargaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap
penilaian kepemimpinan mereka dalam pengelolaan lingkungan hidup. Diskresi
dan keterbukaan informasi sebagai inovasi pendayagunaan birokrasi, anggaran,
dan kegiatan umumnya dilakukan oleh pimpinan daerah itu.
Keempat,
hasil analisis regulasi perizinan kehutanan oleh KPK dengan pendekatan
corruption impact assessment pada 2013 menunjukkan hal serupa. Teknik-teknik
tertentu dalam penetapan otoritas dan tanggung jawab terhadap pengelolaan
sumber daya hutan yang ditetapkan secara legal justru menjadi penyebab
terjadinya korupsi. Misalkan, pengawas perizinan dari berbagai instansi harus
datang ke perusahaan. Namun, karena banyaknya instansi yang harus mengawasi,
dalam satu tahun, suatu perusahaan dapat kedatangan pengawas selama 278 hari.
Akomodasi pengawas itu ditanggung perusahaan.
Lembaga
negara yang korup merupakan konfigurasi institusional yang membentuk cara
berpikir keliru pun menjadi biasa. Terbentuknya budaya korupsi cenderung
membiarkan konflik etik ataupun membiarkan rasionalitas yang bertentangan
dengan kenyataan.
Untuk
mencegah korupsi kronis itu diperlukan inovasi pendekatan. Pengembangan
pendekatan Klitgaard oleh Sandoval-Ballesteros (2013), yang disebut sebagai
structural corruption approach (SCA), dapat menjadi alternatif pilihan.
Dengan perhatian lebih berfokus pada penyalahgunaan wewenang dan impunitas
akibat perlindungan politik, maka peningkatan partisipasi dan keterbukaan
informasi bagi publik harus diwujudkan. Proses dan penerima izin yang
berbasis sumber daya alam perlu diumumkan nama dan lokasinya serta jabatan
pemberi rekomendasi dan penetapan izinnya. KPK dan segenap pegiat antikorupsi
diharapkan dapat mengawasi lahirnya kebijakan tersebut oleh instansi
pemerintah pusat maupun daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar