Senin, 27 Februari 2017

Demokrasi Permen Karet

Demokrasi Permen Karet
Budiarto Shambazy  ;    Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 25 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam acara pelantikan DPP Partai Hanura, Rabu (22/2), Presiden Joko Widodo mengatakan demokrasi kita sudah kebablasan. "Demokrasi yang berkembang saat ini memang sudah kebablasan. Aliran-aliran ekstremis hingga ujaran kebencian, saling hujat dan fitnah terus berkembang. Oleh karena itu, penegakan hukum harus dijalankan dengan optimal," kata Presiden.

Kalau tidak diatasi, Presiden Jokowi khawatir akan mengarah pada upaya memecah belah bangsa. Untuk itu, Jokowi mengatakan kunci dari semua masalah tersebut adalah penegakan hukum. "Kuncinya dalam demokrasi yang kebablasan adalah penegakan hukum. Aparat hukum harus tegas tidak perlu ragu," kata Jokowi.

Demokrasi artinya sebuah bentuk pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dipercayakan kepada para politisi yang dipilih melalui pemilu bebas. Kebablasan artinya terlewat dari batas atau tujuan yang sudah ditentukan alias keterlaluan.

Kita sudah hampir 72 tahun mempraktikkan tiga jenis demokrasi sejak merdeka. Ada demokrasi liberal ala Barat periode 1945-1959, Demokrasi Terpimpin ala Bung Karno periode 1959-1967, Demokrasi Pancasila ala Pak Harto-Pak Habibie periode 1967-1999, dan kembali ke demokrasi liberal sejak Reformasi 1999 sampai sekarang.

Pada periode demokrasi liberal 1945-1959, tak sedikit yang kecewa dengan ingar bingar politik. Kabinet jatuh-bangun, ketegangan parlemen versus TNI AD berpuncak pada peristiwa 17 Oktober 1952, pemberontakan terjadi di beberapa provinsi, Wapres Mohammad Hatta mundur, pengusiran terhadap orang-orang Belanda dan Tiongkok, dan akhirnya memaksa Bung Karno menggunakan tangan besi lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Pada dekade 1950 itu sering terdengar istilah "krisis" dan "lagi-lagi krisis". Apakah Demokrasi Terpimpin menyelesaikan berbagai masalah tersebut? Ternyata belum tentu.

Pembangunan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang cukup teratur memang sudah dimulai oleh kabinet-kabinet kerja. Di lain pihak, dana, tenaga, dan waktu tersedot untuk politik konfrontasi terhadap Malaysia dan juga ambisi politik luar negeri Bung Karno. Jangan lupa pula, Bung Karno menangkapi oposisi dan membredel pers.

Era Demokrasi Pancasila yang dimulai Pak Harto sebenarnya kurang lebih mengulang lagi apa yang dilakukan oleh Orde Lama. Namun, partai-partai dibonsai melalui fusi dan peran ABRI dan birokrasi sangat dominan bertugas mengamankan kemenangan Golkar pada pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan terakhir 1997.

Fitur Demokrasi Pancasila yang paling menonjol adalah KKN yang dilakukan oleh mereka yang sampai kini faktanya bahkan masih bercokol. Budaya anti korupsi yang digalang sejak 1945 dihancurkan dalam sekejap oleh rezim kleptokrasi ala Orde Baru.

Lalu bagaimana dengan demokrasi liberal sejak 1999? Faktanya korupsi makin menggila dan telah memecahkan rekor KKN ala Orde Baru. Ibaratnya kita menerapkan "Trias Poli-thieves" yang dilakoni oleh tiga cabang kekuasaan: "execu-thieves", "legisla-thieves", dan "judica-thieves".

Suka atau tidak, sebenarnya "Orba (Orde Bablas) Jilid 2" dimulai sejak Reformasi 1999. Pada tahun-tahun itulah sudah mulai terdengar istilah kebablasan untuk melukiskan betapa penguasa dan juga rakyat kita kurang paham demokrasi. Kalangan yang skeptis menyebutkan bahwa budaya politik kita yang masih tradisional sesungguhnya tidak kompatibel dengan demokrasi liberal.

Ada juga yang berteori, demokrasi kita "masih muda". Demokrasi adalah proses trial and error yang akan semakin matang jika diselenggarakan secara saksama oleh ketiga cabang kekuasaan dalam pengawasan efektif oleh rakyat, LSM, dan pers. Sebaliknya, tak sedikit juga yang meyakini bahwa "democracy waits for no one" karena ia sudah berjalan maju dan lurus karena sejatinya telah sempurna.

Ada pula kalangan yang lebih suka mempraktikkan "demokrasi wacana" (talking democracy). Mereka hanya berkaok-kaok di media massa tiap hari tanpa memberikan solusi. Sebaliknya, banyak pula kalangan yang mempraktikkan "demokrasi yang bekerja" (working democracy) yang sejak jauh-jauh hari terbiasa bersikap demokratis di keluarga, lingkungan, sampai masyarakat.

Dan, demokrasi jenis apa pun wajib menjunjung tinggi perbedaan. Anda bisa saja tidak setuju dengan pemerintahan yang terpilih secara demokratis lewat demonstrasi damai. Bukan zamannya lagi demonstrasi damai, seperti yang terjadi pada 4 November 2016, diwarnai dengan kerusuhan kecil di Monas dan Jelambar saat izin demonstrasi telah habis pukul 18.00 WIB.

Juga bukan zamannya lagi demonstrasi diwarnai teriakan-teriakan "bunuh" atau "gantung" dan juga diisi orasi-orasi berisikan ujaran-ujaran kebencian yang berbumbu fitnah dan menghina. Juga kurang pantas "menjual" SARA pada saat demonstrasi karena dapat memecah belah bangsa ini.

Seperti dinyatakan Jokowi dalam acara pelantikan DPP Hanura, kunci untuk mencegah demokrasi kebablasan adalah dengan menegakkan hukum. Sejauh pengamatan, TNI dan Polri telah menjalankan tugasnya dengan cakap dan sesuai koridor hukum dengan menciduk, menahan, dan menyidik semua pihak yang "membablaskan demokrasi" saat aksi-aksi di jalanan.

Ini tugas yang tidak pernah selesai dalam era "demokrasi kebablasan" ini. Bagi para pembablas, mempraktikkan demokrasi ibarat menyantap permen karet: dicicipi dulu, dikunyah sebentar, setelah itu dilepeh, dan lantas diinjak-injak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar