Senin, 27 Februari 2017

Waspada Pangan 2017

Waspada Pangan 2017
Dwi Andreas Santosa  ;    Guru Besar Fakultas Pertanian IPB;
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), serta Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia
                                                     KOMPAS, 24 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam dua minggu terakhir ini penulis mendapat laporan terkait jatuhnya harga gabah (gabah kering panen) dari petani-petani anggota Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) yang terjadi merata di hampir seluruh wilayah Pulau Jawa.

Di Jawa Timur, harga gabah terjun bebas ke angka Rp 2.600-Rp 3.000 per kilogram gabah kering panen (GKP) di Tuban, Rp 2.700-Rp 2.800 di Bojonegoro, dan Rp 3.100-Rp 3.200 di wilayah Ngawi hingga Jombang. Di Magetan, harga Rp 3.300-Rp 3.700, Lamongan Rp 3.100-Rp 3.600, dan di Lumajang Rp 3.700-Rp 3.800.

Di Rembang, Jawa Tengah, harga GKP bahkan hanya Rp 1.500-Rp 2.000 per kilogram. Harga di sekitar angka Rp 2.000-Rp 3.000 per kilogram GKP relatif merata di wilayah pantai utara (pantura) Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di wilayah tengah dan selatan relatif lebih baik, berkisar Rp 3.100-Rp 3.700, misalnya di Karanganyar. Di Jawa Barat, petani juga bernasib sama dengan petani di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Harga gabah di Pandeglang hanya berkisar di angka Rp 2.500 per kilogram GKP yang sama dengan harga gabah di Sukabumi.

Harga gabah yang relatif masih normal saat ini adalah di Indramayu, yaitu Rp 4.000-Rp 4.200 per kilogram GKP. Harga yang relatif normal tersebut dikarenakan tanam yang tidak serempak. Sangat disayangkan serangan hama, terutama wereng dan tikus, di wilayah tersebut menyebabkan produksi terjun bebas ke angka 2,5 ton per hektar di sekitar 60 persen wilayah yang pada 2016 tanam tiga kali dalam setahun. Harga gabah kering panen di luar Jawa masih baik. Harga gabah di tingkat petani saat ini di Lampung masih berkisar Rp 3.800-Rp 4.700 dan di Serdang Bedagai Rp 4.500-Rp 5.100 per kilogram GKP.

Harga gabah yang sedemikian rendah, terutama di Pulau Jawa yang merupakan sentra produksi pangan Indonesia, memberikan dampak luar biasa bagi petani kecil. Harga gabah tersebut jauh di bawah biaya produksi rata-rata pada 2016 yang mencapai Rp 4.199 per kilogram GKP (kajian AB2TI, September 2016). Panen saat ini sangat diharapkan baik untuk menutup utang ataupun modal tanam musim tanam I (MT-I) yang segera berlangsung. Banyak petani di jaringan AB2TI sangat kecewa dengan pemerintah yang seolah-olah tidak melakukan apa pun untuk mengatasi kondisi ini dan beberapa sudah akan mengalihkan pertanaman mereka ke non-padi.

Penyebab utama harga gabah jatuh adalah akibat tanam dan panen serentak serta panen pada saat cuaca mendung dan hujan turun terus di minggu-minggu terakhir ini, terutama di Pulau Jawa. Daya tampung pengepul terbatas, petani tidak memiliki fasilitas pengeringan dan penyimpanan sehingga harga gabah terjun bebas. Gabah basah bisa berkecambah jika dalam beberapa hari tidak segera ditangani atau dijual.

Harga gabah pada panen MT-II tahun lalu (Oktober-November 2016) masih cukup tinggi, yaitu berkisar Rp 4.200-Rp 4.900 per kilogram GKP dan beras medium rata-rata nasional hingga saat ini bertengger di angka Rp 10.700 per kilogram yang sekaligus mematahkan klaim produksi melimpah pada 2016.

Waspada pangan

Ironisnya, ketika harga gabah jatuh, harga pangan di tingkat konsumen bertahan tinggi. Pada 2017 ini pangan masih akan menjadi persoalan yang menyita energi kita cukup besar. Pangan selalu menjadi faktor dominan yang menyumbang inflasi dan penyumbang garis kemiskinan terbesar di pedesaan, yaitu 77,06 persen untuk seluruh komponen makanan dan 25,35 persen untuk beras (BPS, Februari 2017).

Selama dua tahun terakhir ini harga rata-rata bahan pangan melonjak tinggi jauh melampaui inflasi. Harga beras meningkat 19,69 persen dari rata-rata tahun 2014 dibandingkan dengan rata-rata tahun 2016, bawang merah meningkat sebesar 72,54 persen, cabai biasa 24,62 persen, cabai keriting 24,76 persen, gula pasir 27,33 persen, daging sapi 14,29 persen, jagung 14,79 persen, telur ayam ras 14,70 persen, kacang tanah 44,79 persen, dan mi instan 21,89 persen (diolah dari Kementerian Perdagangan, 2014-2016).

Beberapa turun harganya, di antaranya kedelai impor (2,54 persen), minyak goreng kemasan (6,18 persen) dan curah (2,17 persen), serta ayam kampung (9,69 persen). Enam komoditas pangan lainnya naik pada kisaran 2 hingga 8 persen. Dari 22 jenis bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, kenaikan rata-rata yang terjadi selama dua tahun terakhir ini sebesar 14,46 persen, sedangkan inflasi hanya 6,37 persen (3,35 persen tahun 2015 dan 3,02 persen tahun 2016).

Kenaikan harga pangan yang relatif tinggi tersebut belum tertransformasi sempurna ke petani, terutama petani kecil. Bahkan, yang terjadi sebaliknya, kesejahteraan petani terus menurun, yang ditunjukkan oleh salah satu indikator kesejahteraan petani, yaitu nilai tukar petani (NTP).

NTP rata-rata tahun 2014 sebesar 102,03 dan turun menjadi 101,65 pada tahun 2016. NTP tanaman pangan sedikit membaik pada tahun 2015, yaitu 100,35, tetapi kemudian turun lagi pada tahun 2016 menjadi 99,48. NTP perkebunan rakyat mengalami penurunan cukup besar, yaitu dari 101,32 pada tahun 2014 menjadi 97,85 pada tahun 2016, sedangkan NTP hortikultura relatif stabil di angka 102,77 (2016).

Mengelola harga pangan

Target besar Presiden Joko Widodo untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan pemerataan pendapatan pada tahun 2017 ini akan menghadapi kendala jika tidak ada upaya luar biasa untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Wacana dan target menurunkan harga pangan untuk menekan inflasi justru kontra produktif dengan upaya pemerataan kesejahteraan rakyat.

Harga pangan perlu dikelola lebih hati-hati karena dengan sifat produk pertanian yang inelastis, setiap penurunan harga akan menyebabkan penurunan pendapatan petani yang jauh lebih besar dibandingkan dengan penurunan harga itu sendiri.

Produksi padi pada 2017 ini masih akan menghadapi banyak kendala. Akibat harga yang jatuh pada musim panen kali ini, sebagian petani kemungkinan akan beralih ke tanaman lain yang dipandang lebih menguntungkan. Kendala kedua adalah serangan organisme pengganggu tanaman yang cukup meluas akhir-akhir ini, terutama wereng, akibat penanaman padi terus-menerus pada tahun 2016 di sebagian sentra produksi.

Kendala ketiga adalah banjir yang akan mengancam pertanaman MT-I tahun ini. Banjir berpotensi menurunkan produksi berkisar di angka 0,5 hingga 1 persen. Apabila ketiga kendala tersebut bisa diatasi, produksi padi pada 2017 ini relatif aman.

Tata kelola jagung pada tahun 2016 tergolong unik karena hanya didasarkan melalui kebijakan pembatasan impor. Pembatasan impor tersebut meningkatkan harga 10,96 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan impor gandum melonjak tinggi melampaui ambang bahaya sebesar 10 juta ton. Impor gandum pada 2016 sebesar 10,056 juta ton yang meningkat dari 7,623 juta ton pada 2015 (Kementerian Pertanian, 2015- 2016) atau penambahan 2,432 juta ton.

Peningkatan impor gandum tersebut hampir sama persis dengan penurunan impor jagung sebesar 2,427 juta ton. Impor gandum yang membengkak tersebut digunakan untuk mengganti bahan baku pakan ternak yang sebelumnya jagung. Peningkatan harga jagung pada 2016 diperkirakan akan menjadi faktor penting yang menyumbang peningkatan produksi jagung pada tahun 2017. Apabila hal ini benar terjadi dan surplus jagung tidak ditampung oleh industri karena mereka telah beralih ke gandum, ini akan menjadi bencana bagi petani jagung.

Produksi gula tahun 2017 ini diperkirakan juga meningkat karena harga gula yang tinggi dan iklim yang kondusif. Penetapan harga eceran tertinggi gula sebesar Rp 12.500 per kilogram pada tahun 2017 berpotensi menurunkan produksi gula pada tahun 2018. Produksi tanaman lainnya akan mengikuti pola normal sebagaimana tahun 2014.

Hal terakhir yang perlu diperhatikan pemerintah sekali lagi terkait data. Data produksi beras tahun 2016 yang dinyatakan 79,14 juta ton gabah kering giling (GKG) setelah dikurangi berbagai faktor pengurang, di antaranya penggunaan gabah, kehilangan gabah, penggunaan beras untuk keperluan lain, kehilangan beras, dan angka ketersediaan beras untuk konsumsi sebesar 124,89 kilogram per kapita per tahun serta penambahan dari impor beras tahun 2016 sebesar 1,283 juta ton akan menghasilkan surplus 18,04 juta ton beras. Ini menjadi stok awal pada tahun 2017. Angka surplus ini sangat sulit dipahami karena jika benar ada, harga beras akan terjun bebas ke angka Rp 4.320 per kilogram.

Ketidakakuratan data ini terjadi pada jagung dan banyak komoditas pertanian lainnya. Penulis sependapat dengan Bustanul Arifin tentang perlunya pembenahan data produksi dan melakukan "amnesti data", kalau perlu ditarik hingga 30 tahun ke belakang ketika saat itu kita mencapai swasembada beras. Sangat disayangkan jika ketidakakuratan data ini akhirnya mendelegitimasi pencapaian-pencapaian dan upaya keras Kementerian Pertanian serta petani untuk meningkatkan produksi pangan, sekaligus menyebabkan tata kelola pangan kita bermasalah.

Kita semua berharap semoga tahun ini lebih baik, petani lebih sejahtera, dan target pemerataan bukan sekadar mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar