Melihat
Debat
Agus Dermawan T ; Pengamat Kebudayaan;
Konsultan Koleksi Benda Seni
Istana Presiden
|
KOMPAS, 11 Februari 2017
Dari
Tiongkok di ujung masa Dinasti Sui, awal tahun 600 Masehi, muncul cerita
Busana Imajinasi. Selarik dongeng yang isinya memaknai hakikat debat.
Suatu
kali, seorang perdana menteri (PM) yang sering lupa diri ingin dibikinkan
busana adiluhung. Baju itu harus berdesain glamor, berjahit rapi sehingga tak
terasa di badan apabila dikenakan. Sudah puluhan desainer mencoba mencipta,
tetapi sang PM selalu menolak. Ketika para desainer berusaha mengurai
sisi-sisi baik ciptaannya, sang PM menukas kuat: tidak ada perdebatan!
Bukankah hierarki monarki tidak mengizinkan rakyat mendebat selera sang
petinggi?
Sampai
akhirnya seorang seniman yang juga mahaguru spiritual raja menawarkan jasa.
Seniman itu mengaku bisa mencipta busana nan indah, enak dikenakan sehingga
tak terasa di badan. Sang PM setuju. Busana, yang ternyata hanya imajinasi,
dinyatakan telah jadi. Lalu, sang PM yang telanjang dibusanai pakaian khayal
itu. ”Hanya para cerdik pandai yang bisa melihat keindahan pakaian Bapak.
Yang bodoh, tidak. Untuk membuktikan, silakan Bapak ke balairung agar para
menteri yang pintar-pintar memberi komentar.”
Sesungguhnya
sang PM ingin mendebat, kenapa dirinya tak melihat apa pun di tubuhnya.
Namun, lantaran seniman itu mahaguru spiritual raja, ia memilih diam. Di
balairung sang PM menunjukkan ”pakaian”-nya kepada sejumlah menteri. ”Bagus,
ya, busana saya!” Semua menteri serempak berkata: ”Bagus bingiiit Tuan
Perdana Menteri!”
Dongeng
klasik di atas mengajak kita menyimpulkan, betapa sesungguhnya debat tidak
akan muncul di tengah komunitas yang tidak menghargai dan memercayai
kesetaraan. Debat tidak akan berkelindan di pemikiran yang dikuasai sikap
apriori atas isi kepala orang lain. Dengan begitu, debatologi (ilmu
perdebatan) tidak akan punya ruang di tengah wilayah sosial yang dikungkung
hierarkisme.
Itu
sebabnya, ketika Nusantara masih dikuasai raja-raja, yang di dalamnya
menyimpan ruh feodalisme, sikap berdebat-debat juga tidak terjadi. Lantaran
strata keluarga, komunitas, dan masyarakat diam-diam menuliskan undang-undang
”hormat-menghormati”, dengan landasan perasaan ketabuan dan keseganan.
Pohon
feodalisme ini sedikit demi sedikit terpangkas ketika pemerintah kolonial
Belanda mengajarkan pengembangan pikiran, sejak tengah abad ke-19. Para
bumiputra pilihan yang semula hierarkis dan feodalistis menjadi insan yang
kritis lewat ilmu debat. Pelukis Raden Saleh, misalnya, ketika di Bogor
selalu ditumburkan pikirannya ke hadapan AAJ Payen sampai Inspektur Keuangan
Hindia Belanda JB de Linge, lewat baku-kata yang sering tak pernah ketemu
ujungnya. Saleh pun diangkat sebagai bumiputra aanzienlijk (terpandang).
Pada
1930-an RMP Sosrokartono (intelektual yang jadi wartawan perang The New York
Herald Tribune) menganjurkan Soekarno untuk belajar berdebat. ”Bangsa maju
seperti Belanda hanya bisa dilumpuhkan lewat penaklukan pikiran. Panah
pikiran adalah debat,” ujar kakak RA Kartini itu. Soekarno lantas belajar
olah lidah kepada guru arsiteknya, Wolff Schoemacher.
Debat pilkada
Debat
atau perdebatan berasal dari kata Belanda, debat. Dengan begitu bisa dilacak
bahwa bibit berdebat di Indonesia memang tumbuh dari tradisi Belanda.
Debat
artinya bersilang perkataan untuk mencari pembenaran pendapat masing-masing.
Momentum silang perkataan atau adu argumentasi ini disebut debatteren.
Biasanya, selantun perdebatan yang bermutu akan mengerucut pada pembicaraan
atas suatu hal sehingga persoalannya menajam. Khazanah Belanda menyebut
proses pengerucutan ini sebagai debatteren over (memperdebatkan sesuatu
dengan fokus). Debatteren over biasanya menghasilkan air muara jernih, yang
berpeluang untuk diproduksi menjadi berlian-berlian pemikiran lewat forum lebih
lunak, yang disebut discussie.
Dalam
minggu-minggu terakhir ini seluruh bangsa Indonesia berulang kali disuguhi
acara debat antar-kandidat kepala daerah dan wakilnya berkait dengan pilkada
(pemilihan kepala daerah) serempak. Acara disiarkan di televisi, ditulis
berbagai media, sehingga menjadi konsumsi publik. Sebuah program yang
mengajak kita menyaksikan para kandidat mengolah pikiran, menaruh perasaan,
mengoreksi kejadian, mengungkap pendataan, menyodorkan gagasan, semua
disampaikan lewat bungkus bahasa sehingga bahasa, dalam pengertian tutur
(gaya bentuk penyampaian) dan matur (isi yang disampaikan), adalah wakil
utama dari diri kandidat. Dengan begitu yang diharapkan hadir di forum debat
sebenarnya adalah orisinalitas pribadi bahasa pelaku debat.
Itu
sebabnya masyarakat boleh kecewa ketika melihat para pelaku debat tiba-tiba
mengubah kepribadian bahasanya saat berdiri di mimbar. Misalnya, meminjam
debat pilkada Jakarta, kandidat yang biasa bicara dengan nada tinggi, riuh,
tajam, dan ceplas-ceplos mendadak menjadi santun, dengan aransemen pengucapan
melodius melantun.
Kandidat
yang dulu tampil sopan, senyum, dan ”lembek”, sekonyong-konyong menjadi
sinistik, garang bagai preman yang selalu mengancam. Kandidat yang dulu biasa
berpidato normatif tiba-tiba memaksa diri jadi orator jempolan, seraya meniru
gaya seorang presiden.
Kandidat
yang puluhan tahun bicara sebagai pengusaha rinci mengubah diri jadi
politikus yang berapi-api. Anak muda yang semestinya berucap ”lu-gue”
tiba-tiba menjadi jaim, kaku, menjemukan dan formal, menirukan tata tutur
bapaknya.
Padahal,
Noam A Chomsky menganggap bahasa adalah persoalan ”dari dalam”. Pribadi
bahasa asli penutur adalah sesuatu yang harus semurninya dihadirkan. Lantaran
dalam debat semacam pilkada, mengacu pada ahli filsafat bahasa Wittgenstein,
pribadi bahasa asli, atau bahasa yang jujur, akan tampil penuh sebagai
terjemahan dari fakta. Dengan demikian, bahasa bukan ”busana imajinasi” dari
kata-kata.
Tentu
upaya mengubah tutur dan matur bahasa seseorang sah untuk dilakukan. Namun,
tidak mendadak dan dibuat-buat seperti kala dalam forum debat, hanya demi
menarik perhatian masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar