Kamis, 23 Februari 2017

Polemik Freeport dan Pemerintah

Polemik Freeport dan Pemerintah
Ferdy Hasiman  ;    Peneliti Alpha Research Database Indonesia
                                           MEDIA INDONESIA, 22 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PEMERINTAH dan perusahaan tambang yang menambang emas dan tembaga di Grasberg, Papua, Freeport Indonesia sedang berpolemik. Hal itu berawal dari keputusan Menteri ESDM mengubah status kontrak karya (KK) Freeport menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Perubahan status itu mewajibkan Freeport membangun smelter, pengenaan bea keluar sebesar 10% dan wajib mendivestasikan 51% saham ke pihak nasional. Tanpa mengubah KK menjadi IUPK, Freeport tak boleh mengekspor konsentrat tembaga.

Dengan begitu, Freeport hanya bisa memproduksi tembaga sebesar 40% karena sesuai dengan kapasitas pengiriman tembaga mereka ke pab­rik smelter PT Smelthing, Gresik, Jatim. Sementara itu, 60% tembaga dikirim ke Atlantic Copper (Spanyol). Produksi tembaga Freeport berkurang sekitar 70 juta pound dan emas 100 ribu ons. Jika dihitung pada harga pasar tembaga saat ini, sekitar US$123 juta untuk emas dan US$196 juta untuk tembaga dan total menjadi US$319 juta.  Syarat itu dianggap merugikan Freeport. CEO of Freeport McMoRan Inc, Richard C Adkerson, mengatakan Freeport masih merujuk perjanjian KK yang sudah disepakati 1991. IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga kontrak ber­akhir (naildown).

Freeport juga keberatan melepas saham hingga 51% karena berarti kendali bukan di tangan mereka lagi. Korporasi raksasa seperti Freeport jelas ingin terus menjadi pengontrol dan pengendali operasi tambang. Perintah konstitusi Keberatan Freeport tentu sangat masuk akal. Soalnya Freeport memiliki beberapa proyek raksasa beberapa tahun ke depan, seperti ingin membangun pabrik smelter tembaga di Gresik senilai US$2,3 miliar. Freeport juga sedang berinvestasi di tambang underground--Grasberg Blok Cave, deep mill level zone (DMLZ), dan deep ore zone (DOZ)--dengan investasi US$15 miliar. Freeport merugi jika membangun smelter tanpa ada kepastian perpanjangan kontrak. KK Freeport akan berakhir 2021 dan meminta perpanjangan kontrak sampai 2041.

Kengototan Freeport boleh jadi karena potensi tambang Grasberg, Papua, paling prospektif. Total cadangan emas Grasberg mencapai 29,8 juta ons dan tembaga 30 miliar pound. Kontribusi tembaga Grasberg ke FCX mencapai 27% dan emas 95%. Produksi terbesar Freeport Indonesia sampai tahun ini berasal dari tambang open pit yang cadangannya hanya 7% dari total cadangan Freeport Indonesia. Cadangan Freeport terbesar mencapai 93% di tambang underground, seperti Grasberg Blok Cave, DMLZ dan DOZ.

Sejak 2010, Freeport telah membangun DOZ, tambang bawah tanah terbesar di dunia, berkapasitas 80 ribu metrik ton biji per hari. Pada 2016 ini, Blok Cave Grasberg dan DMLZ menghasilkan 24 ribu metrik ton per hari untuk mengantisipasi masa transisi tambang open pit. Meskipun demikian, Freeport harus paham bahwa KK ialah rezim pertambangan lama, zaman Orde Baru. Hubungan antara KK dan pemerintah bersifat simetris. Risikonya negara tak berdaulat atas sumber daya alam (SDA). Padahal, KK hanya sebagai kontraktor, tetapi pemilik sah atas tanah dan SDA ialah negara. Posisi itu menyebabkan potensi kekayaan pertambangan yang begitu besar gagal mengangkat kesejahtera­an rakyat. Lingkungan pun tak ter­urus, pembagian keuntungan dan upah tak adil.

Pascareformasi 1998, seiring dengan berjalannya otonomi daerah, di sektor pertambangan terjadi tahap penting. Rezim KK harus berubah menjadi izin usaha pertambangan (IUP) sebagaimana diamanatkan UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pemerintahan Jokowi-JK hanya menjalankan perintah konstitusi. Pasal 169 ayat (b) mengatakan semua KK wajib diubah menjadi IUPK. Tujuannya pertambangan strategis dikendalikan negara untuk kesejahteraan rakyat. Peralihan status kontrak berimplikasi langsung pada penguatan peran negara. Korporasi harus patuh pada aturan main yang ditawarkan negara.

Meskipun demikian, UU Minerba bukan tanpa cacat karena hanya mengatur pertambangan berskala kecil (IUP). Sementara KK ialah rezim kontrak berskala besar. Izin IUP hanya dikeluarkan pemda (bupati, wali kota, dan gubernur). Kekuasaan besar yang diberikan konstitusi ini kerap disalahgunakan pemda karena UU itu tanpa memberi ruang partisipasi bagi warga negara untuk mengambil keputusan soal investasi. Risikonya, dari 10.922 yang diterbitkan pemda, hanya 6.042 yang clear and clean dan 4.880 IUP ilegal. Pertambangan di daerah pun kerap mendapat penolakan warga lokal karena merusak lingkungan, hutan, menyabotase lahan pertanian dan permukiman warga.

Selain memberi ruang bagi pe­nguatan negara, UU Minerba memberi pengecualian terkait dengan IUPK. IUPK tetap dikontrol pemerintah pusat. Dengan begitu, korporasi wajib tunduk kepada pemerintah. Pemerintah berhak menagih pajak dan royalti dan memerintahkan korporasi tambang membangun smelter agar memberi efek pelipat­an bagi pembangunan. Itulah landasan hukum mengapa Freeport harus beralih menjadi IUPK.

Sangatlah keliru jika Freeport membawa perkara ini ke arbitrase internasional. Korporasi tak pada posisi mengatur pe­me­rintah. Freeport bisa blunder besar. Misalkan Freeport menang, paling banter keputusan itu hanya berlaku sampai akhir masa berlaku kontrak 2021. Pemerintah bisa memukul balik Freeport karena 2 tahun sebelum masa kontrak berakhir 2019 berhak memutuskan kontrak. Masih ada ruang melakukan renegosiasi kontrak sekaligus mencari win-win solution. Freeport boleh saja bernegosiasi dengan pemerintah akan membangun smelter tembaga di Gresik tepat waktu, dengan catat­an mendapat perpanjangan kontrak dan kepastian hukum dari pemerintah. Persoalannya selama ini Freeport terlalu bandel. Jika Freeport sudah memutuskan pembangunan smelter tanpa banyak protes, saya yakin polemik dengan pemerintah tak sebesar ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar