Trajektori
Otonomi
Irfan Ridwan Maksum ;
Guru
Besar Tetap Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesi; Board Pusat Studi dan Pengembangan Otonomi
Daerah
|
KOMPAS, 18 Februari 2017
Menyongsong
Indonesia yang lebih maju, salah satu agenda yang tidak pernah lekang dimakan
waktu harus disiapkan adalah mengelola otonomi Indonesia ke depan. Tentu,
agenda tersebut tidak terlepas dari apa yang telah dan sedang terjadi. Ke
mana otonomi Indonesia dipersiapkan merupakan tantangan bangsa Indonesia yang
harus dihadapi secara arif.
Disorientasi
Mengelola
otonomi Indonesia kekinian dapat disederhanakan pada persoalan mewujudkan
berbagai kebijakan otonomi yang telah diputus. Kebijakan bangsa Indonesia
yang terkait otonomi paling tidak tersebar dalam berbagai undang-undang yang
dapat disebut secara runut sebagai berikut. (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah; (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang pemerintahan Desa; (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara.
Kemudian, (4)
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, dan (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali
Kota Menjadi Undang-Undang, serta (6) berbagai undang-undang sektoral yang
menyangkut pembagian urusan antar-pemerintahan.
Kebijakan-kebijakan
tersebut adalah cetak biru otonomi daerah di Indonesia ke depan.
Sebagai cetak
biru sudah seharusnya mampu menjadi arah penentu pelaksanaan otonomi daerah
di Indonesia. Masing-masing undang-undang memiliki peraturan operasional
sesuai dengan makna yang terkandung di dalamnya.
Perjalanan
pelaksanaan masing-masing undang-undang sampai sekarang bervariasi. Sebagai
contoh, hingga kini, untuk Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara, belum
satu pun peraturan pemerintah yang mampu diputuskan, sementara amanatnya amat
jelas. Begitupun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sendiri, sedangkan
Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai produk
undang-undang lama tetap berlaku dan peraturan operasionalnya pun masih
berlaku.
Pemerintahan
desa yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 lain lagi
catatannya. Undang-undang ini relatif disambut gegap gempita oleh bangsa
Indonesia. Sementara itu, Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah sudah
berjalan menyambut pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.
Dari sejumlah
pelaksanaan berbagai undang-undang tersebut, seolah-olah tidak ada elemen
penghubung (perekat) pola pelaksanaan antar berbagai undang-undang yang
dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan antar undang-undang
tersebut tampak terfragmentasi pada bidang masing-masing. Bangsa Indonesia
tidak mampu membingkai pelaksanaan otonomi daerah Indonesia dalam berbagai
kebijakan yang menjadi dasar hukum dan arah ke depan pelaksanaan otonomi
secara jelas dan tegas (disorientasi).
Padahal,
tulang punggung kemajuan bangsa Indonesia terletak pada kekuatan pemerintahan
yang menggerakkan roda organisasi negara bangsa di mana pelaksanaan otonomi
daerah memiliki andil paling besar dalam mengefektifkan pemerintahan
nasional. Keberhasilan reformasi yang diinginkan terletak pada kekuatan
manajemen pemerintahan ini.
Rekoneksitas
Trajektori
otonomi daerah Indonesia harus dibingkai arah yang jelas dan kuat. Berbagai
kebijakan terkait pelaksanaan otonomi daerah harus saling terhubung dengan
baik.
Langkah memperjelas
model manajemen pemerintahan yang terhubung sampai ke daerah adalah kuncinya.
Di negara-negara bangsa di dunia ini hanya ada dua corak dalam soal ini,
termasuk di Indonesia, yakni apakah sistem prefektur terintegrasi akan terus
kita pelihara, di mana terdapat wakil pemerintah (binnenlandsche bestuur)
sekaligus sebagai kepala daerah, yang sekarang di pundak gubernur? Ataukah
akan menghilangkannya dari bumi Nusantara menjadi sistem fungsional tanpa
wakil pemerintah seperti di negara-negara AngloSaxon. Humes IV (1991)
mengatakan bahwa terkait ada tidaknya wakil pemerintah di banyak negara,
sesuai corak sejarah kolonialismenya.
Pada sistem
wakil pemerintah, maka keterhubungan antarsektor dari pusat ke daerah
disambungkan oleh wakil pemerintah, bahkan wakil pemerintah menjadi
integrator dan koordinator di lapangan unit pusat di daerah. Adapun sistem
fungsional mengandalkan unit pusat sektoral masing-masing sesuai pertimbangan
rasional sektor-sektor tersebut untuk membuka cabang di daerah.
Dalam sistem
bercorak wakil pemerintah, pengawasan terhadap pemda dilakukan baik secara
hierarki melalui wakil pemerintah maupun secara fungsional melalui instansi
vertikal, sedangkan sistem fungsional hanya melalui instansi vertikal.
Integrasi antarsektor di daerah dibuat temporal jika dibutuhkan.
Sistem
internal pemda pada corak wakil pemerintah lebih tersubordinasi oleh pusat,
sedangkan sistem fungsional relatif lebih independen meskipun pengawasan
sektoral kepada daerah amat kuat. Oleh karena itu, pilkada langsung tidak
cocok pada sistem wakil pemerintah, sedangkan pada sistem fungsional pilkada
langsung lebih cocok.
Dilihat dari
sejarah kemerdekaan Indonesia, hanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang
tidak menganut corak wakil pemerintah dengan rekrutmen kepala daerah melalui
pilkada langsung. Selebihnya sepanjang sejarah Indonesia menganutnya.
Kedudukan kepala daerah yang dual-function sebagai wakil pemerintah lebih
tinggi terhadap organ-organ pemda lainnya, sedangkan dalam sistem fungsional
semua organ politik pemda setara dengan prinsip primus inter-pares (pertama
dari yang sama).
Pada sistem
wakil pemerintah, pola pembagian urusan memungkinkan sistem sisa (residual-powers) sesuai ajaran formal
atau riil, sedangkan sistem fungsional hanya boleh dengan rincian (ultra-vires doctrine) sesuai ajaran
material.
Untuk urusan
pemerintahan umum, sistem wakil pemerintah mengakui pelimpahan wewenang
secara atributif melalui asas dekonsentrasi, sedangkan pada sistem fungsional
menganut doktrin mutatis-mutandis melekat dalam tugas fungsi kepala daerah
kecuali untuk tugas mengoordinasikan dan mengintegrasikan instansi vertikal
di tempatnya.
Tak konsisten
Keberadaan
unit pusat di daerah dalam kedua pilihan adalah suatu keniscayaan sesuai
dengan pembagian urusan yang dikembangkan. Secara khusus, sistem wakil
pemerintah, keberadaannya tidak untuk menerima pelimpahan wewenang sektoral,
melainkan hanya untuk pemerintahan umum dengan asas diskresi atau
freis-ermessen. Kedua pilihan tersebut memiliki akibatnya masing-masing.
Hingga saat
ini bangsa Indonesia memilih corak prefektur terintegrasi tetapi tak
konsisten di berbagai jenjang operasionalnya. Tercampur dengan mekanisme
sistem fungsional yang berakibat rentan malapraktik pemerintahan. Akhirnya
efektivitas pemerintahan sering kali terganggu. Untuk itu, segeralah kita
memilih secara konsisten demi efektivitas pemerintahan NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar