Pemimpin
Agama dan Nurani Bangsa
Paulinus Yan Olla ;
Rohaniwan;
Lulusan Program Doktoral
Universitas Pontificio Istituto di Spiritualita Teresianum, Roma; Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya
Sasana, Malang
|
KOMPAS, 18 Februari 2017
Ruang publik
negeri ini sering kehilangan kejernihan nalar dan terbalut polusi kebohongan
pada setiap perhelatan akbar pemilu atau pilkada.
Salah satu
akarnya adalah digiringnya keyakinan keagamaan dan kepercayaan sebagai kuda
tunggang menuju kekuasaan. Ruang publik pun diselimuti virus hoaks yang telah
memakan korban dan mengancam kesatuan bangsa.
Rakyat kecil
sering diadu oleh "petarung-petarung kekuasaan" yang hadir bagaikan
siluman berkendaraan angin sektarianisme. Negeri yang selalu membanggakan aneka
kekayaan etnis, suku, bahasa, dan kekayaan kultural dipermainkan dalam setiap
ajang perebutan kekuasaan sehingga kekayaan-kekayaan diubah menjadi senjata
untuk saling memusnahkan. Akselerasi adu domba dan kebencian itu kini
mencapai klimaksnya melalui dunia maya dan dikendalikan oleh
kekuatan-kekuatan tanpa wajah.
Bagaimana
bangsa ini dapat keluar dari kutukan atas kekayaannya? Bagaimana ia bisa
menghindar dari jebakan maut para "pembonceng" kekuasaan agar aneka
kekayaan bangsa itu menjadi berkat dan bukannya kutukan?
Agus Muhammad
("Sterilisasi Ruang Publik", Kompas, 6/2) mencoba menelusuri
fenomena pencemaran ruang publik dengan menunjuk beberapa akar kegaduhan yang
membingkai ruang publik. Salah satu akar penting yang ditunjuknya merujuk
pada "menyebarnya benih-benih sektarianisme berbaju agama yang
menganggap aspirasi kelompoknya paling absah untuk diperjuangkan". Ia
selanjutnya membedakan adanya ruang privat, ruang politik, dan ruang publik.
Sulitnya, di negeri ini garis tegas di antara ketiga wilayah tersebut tidak
mudah dilakukan karena struktur sosial politik yang ada telah menjadikan
agama tidak hanya sebagai isu privat, tetapi juga isu publik.
Pada tataran
teoretis-konseptual, perlindungan ruang publik dari intervensi komunalisme
atau intervensi kekuasaan mutlak perlu dilakukan. Namun, hal itu hanya bisa
dilakukan melalui pengusungan nilai-nilai demokrasi dan kemauan politik yang
kuat untuk menegaskan supremasi hukum. Begitu pula pemanfaatan
dimensi-dimensi universal agama untuk kepentingan publik, sekaligus
pembatasan dimensi-dimensi partikular agama di ruang privat bisa dilakukan.
Akan tetapi, siapa yang dapat memilah-milah ruang-ruang itu?
Dalam konteks
Indonesia yang memasukkan "ketuhanan" sebagai salah satu asas
normatif publiknya, kegaduhan atas nama agama tak dapat diredakan hanya oleh
penguasa politik/negara. Negara tidak mendapat legitimasi untuk menilai
ortodoksi suatu ajaran keagamaan. Maka, menjadi sangat penting peran yang
dimainkan para pemimpin agama.
Beberapa hal
yang dapat disumbangkan para pemimpin agama, antara lain: (1) menjamin
integritas diri sebagai panutan bukan karena mewacanakannya, tetapi karena
pantulan keteladanan ditangkap oleh/dalam nurani masyarakat; (2) berhenti
menjadi pelaku perebutan kekuasaan atau "berselingkuh" dengan
kekuasaan; (3) mampu menjamin bahwa teks-teks sakral dan simbol-simbol
keagamaannya tak dijadikan para "petarung kekuasaan" atau negara
dan institusi-institusi publik sebagai sarana untuk melegitimasikan kekuasaan
dan tindakan-tindakan politik mereka.
Jadilah agen moral
Unsur yang
disebutkan terakhir memerlukan aksentuasi lebih lanjut. Para pemimpin agama
sering harus berhadapan dengan interpretasi teks-teks suci yang dimilikinya.
Masalah yang sering dihadapi kaum ekstremis agama (baca: dari semua agama dan
keyakinan) adalah bahwa mereka menyeleksi teks-teks suci yang mendukung
ideologi kekerasan dan aksi intoleran mereka. Teks- teks suci diberi makna
final dan dipaksakan menjadi kebenaran publik di dalam kemajemukan nilai
dalam masyarakat.
Mengingat
bahaya tersebut, pemimpin-pemimpin agama perlu menegaskan bahwa kebenaran
absolut itu ada, tetapi tidak perlu diabsolutkan karena pencarian kebenaran
masih terus berlangsung melalui interpretasi. Pengakuan akan pluralitas nilai
dalam masyarakat tidak harus dipertentangkan dengan nilai-nilai absolut yang
diklaim masing-masing agama karena interpretasi atas nilai-nilai absolut
dalam masing-masing tradisi keagamaan terus berkembang (bandingkan: Ralph W Hood Jr dkk, The Psychology of
Religious Fundamentalism, 2005; F Budi
Hardiman, 2015: 322-323).
Jika para
pemimpin agama melakukan hal-hal di atas, negeri ini akan sangat terberkati.
Pemimpin agama bisa menampilkan diri sebagai "hati nurani
masyarakat/bangsa" (the conscience
of society) seperti diidamkan penulis, politikus, seniman dan filsuf
Václav Havel (1936-2011).
Pemimpin-pemimpin
agama, dalam konteks pemikiran inspiratif
di atas, menegaskan diri sebagai agen-agen moral. Mereka menghayati
nilai-nilai kebenaran, etis-publik berawal dari tingkat paling eksistensial.
Nilai-nilai yang diusung di ruang publik bukanlah hasil pesanan atau
kompromi-kompromi demi kentingan-kepentingan sektarian- manipulatif, tetapi
muncul dari hasil olah batin dan dialog dengan "Yang Ilahi", yang
merupakan panggilan khas-mendasar setiap pemimpin rohani.
Mungkin untuk
menghalau rasa galau, banyak pihak meniupkan berita penghiburan bahwa segala
kegaduhan berbaju agama dan isu-isu sektarian akan lenyap sesudah pilkada.
Namun, pertanyaan mendasar adalah mengapa bangsa ini memperlakukan
agama-agamanya hanya sebagai "baju pesta" yang menyeramkan dan
senjata pamungkas di tiap ajang pemilu/pilkada? Para pemimpin agama hendaknya
memastikan bahwa agama bukan "kuda tunggangan" menuju panggung
kekuasaan dan hal itu harus dimulai dari diri mereka sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar