Tekan
Ketimpangan via Optimalisasi Lahan Wakaf
Raditya Sukmana ; Ketua Departemen Ekonomi Syariah FEB
Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA
POS, 07
Februari 2017
Ketimpangan
ekonomi menjadi hal yang terus-menerus mendapat perhatian serius pemerintah
Indonesia. Pemerintah dalam rapat terbatasnya telah menghasilkan program agar
ketimpangan tersebut dapat dikurangi. Terdapat sepuluh program dalam rapat
yang digelar di Kota Bogor itu. Antara lain reformasi agraria, bantuan modal
untuk bibit, pemasaran, bantuan budi daya rumput laut, dan perumahan. Juga
ada perpajakan progresif, pengembangan UMKM, penanganan ritel modern, program
padat karya, dan training vokasi (Jawa Pos, 1/2).
Apabila
sepuluh program tersebut berjalan dengan baik, masyarakat kecil akan berdaya
sehingga secara makro rasio Gini sebagai indikator ketimpangan ekonomi bisa
menurun. Artinya, jarak antara golongan kaya dan miskin semakin dekat. Hanya,
pemerintah baru bisa melakukan hal itu setelah ada APBN perubahan pada
pertengahan tahun ini.
Lalu
adakah cara agar tanpa menunggu pertengahan tahun program pemberdayaan
tersebut dapat mulai dilaksanakan? Jawabannya: ada, yaitu dengan
pengoptimalan lahan wakaf. Tulisan kali ini akan berfokus pada pemanfaatan
lahan basah yang berstatus wakaf guna pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM). Data Badan Wakaf Indonesia menunjukkan bahwa tanah wakaf di
Indonesia seluas 4,1 miliar meter persegi di mana penulis yakin di antara
lahan tersebut ada yang lahan basah.
Lahan
jenis itu mendapat perhatian serius di seluruh dunia pada awal Februari
karena 2 Februari adalah Hari Lahan Basah Internasional. Merupakan suatu hari
yang didedikasikan untuk memberikan pemahaman dan penyadaran kepada
masyarakat akan arti penting lahan basah yang mencakup daerah pesisir, rawa,
dan daerah sekitar perairan.
Lahan
basah seperti rawa dan pesisir umumnya adalah daerah yang jarang dihuni
manusia dan jauh dari perkotaan sehingga nilai jual tanah pada daerah
tersebut sangat murah. Tetapi, seiring perluasan pembangunan kota dan
kebutuhan akan gedung-gedung, perumahan maupun perkantoran menjadikan lahan
basah sebagai sasaran perluasan pembangunan. Terlebih, nilai jual tanah yang
murah akan memudahkan investor membeli lahan basah tersebut. Tak pelak,
pembangunan realestat dan reklamasi menjadi pemandangan lazim di daerah di
sekitar lahan basah saat ini.
Padahal,
lahan basah merupakan penyedia ekosistem bagi beragam spesies makhluk hidup,
khususnya hewan air, dan sumber makanan serta pencaharian bagi para nelayan
dan penangkap ikan di sekitar lahan tersebut. Maka secara ekonomis, sosial,
dan ekologis, pembangunan di daerah lahan basah menjadi sangat berbahaya.
Karena itulah, Hari Lahan Basah Internasional dicetuskan pada dekade 1970-an
setelah sebuah konferensi di Ramsar, Iran, menyepakati urgensi konservasi
lahan basah demi keseimbangan kehidupan di bumi.
Wakaf
pada dasarnya dapat menjadi instrumen yang strategis dalam rangka
penyelamatan lahan basah dunia. Hal itu disebabkan salah satu ketentuan wakaf
yang banyak disinggung para ulama fikih adalah kekekalan materi aset wakaf
dan kekekalan manfaat wakaf.
Lalu
bagaimana skema penyelamatan lahan basah dengan konsep wakaf? Apabila
digunakan pendekatan secara tradisional, wakif dapat mewakafkan lahan basah
yang dimilikinya untuk dijaga pengelola wakaf(nazir) yang ditunjuk agar
dijaga kondisi alamiahnya dan dapat dimanfaatkan masyarakat, tapi jangan
sampai lahan tersebut rusak. Pendekatan itu secara fikih wakaf dapat
dibenarkan, tapi menjadi kurang optimal karena pengelolaan lahan basah yang
diwakafkan menjadi stagnan.
Karena
itu, pengelolaan wakaf secara produktif dapat dihadirkan untuk bisa menjawab
tantangan konservasi lahan basah. Sebagai ilustrasi, sebuah lahan basah atau
lahan strategis yang dekat dengan lahan basah diwakafkan untuk dikelola
sebuah lembaga nazir profesional. Lembaga nazir tersebut dapat menyulap lahan
itu menjadi suatu daerah ekowisata yang memberikan edukasi kepada masyarakat
mengenai pentingnya penyelamatan lingkungan, khususnya lahan basah, dengan pengelolaan
yang dilakukan secara komersial. Ekowisata tersebut tentu harus didesain agar
para nelayan kecil dapat panen udang dalam pohon bakau di lahan basah
berstatus wakaf itu.
Konsep
lahan ekowisata tersebut dapat memberikan sejumlah dampak positif. Pertama,
adanya unit bisnis komersial yang berbasis lahan basah dapat menjadikan
konservasi lahan basah itu dilakukan secara mandiri. Hal tersebut penting
karena konservasi lingkungan sering kali berbenturan dengan kepentingan
pembangunan ekonomi sehingga kemandirian lembaga konservasi menjadi sangat
urgen. Bisnis komersial itu tentu harus didesain sedemikian rupa agar UMKM
juga akan terlibat di dalamnya.
Kedua,
adanya konsep ekowisata berbasis lahan basah dapat menjadi sarana edukasi
bagi masyarakat segala usia. Edukasi kepada masyarakat menjadi penting karena
bergeraknya masyarakat adalah salah satu kunci sukses gerakan sosial di era
modern, termasuk konservasi lingkungan. Dengan banyaknya masyarakat yang
belum sepenuhnya memahami konsep dan urgensi lahan basah, konsep ekowisata
ini dapat menjadi inovasi yang patut dipertimbangkan.
Ketiga,
adanya unit bisnis komersial ekowisata diharapkan dapat mendatangkan laba
dalam pengelolaan aset wakaf yang merupakan lahan basah tersebut. Laba itu
dapat digunakan untuk membeli lahan-lahan basah agar dapat terselamatkan
dalam rangka konservasi. Hal tersebut penting agar lahan-lahan basah yang
dikonservasi semakin meningkat dan keseimbangan lingkungan kian terjaga. Atau
juga diatur sedemikian rupa agar laba itu dapat menjadi modal bagi nelayan
untuk, misalnya, membeli peralatan yang diperlukan.
Selain
sumber pendanaan bagi penyelamatan lahan basah, laba dari usaha ekowisata di
atas dapat menjadi sumber pendanaan bagi pemberdayaan masyarakat, khususnya
adalah pembinaan warga di sekitar lahan basah. Warga di sekitar lahan basah
juga perlu mendapatkan edukasi mengenai lahan basah di sekitar mereka.
Tujuannya, mereka dapat mengelola lahan basah di sekitar mereka dengan bijak
serta turut serta dalam konservasi lahan basah yang juga merupakan salah satu
penyangga kehidupan di dunia dan sumber penghidupan bagi masyarakat di
sekitarnya. Sehingga hal tersebut akan sangat relevan dengan program
pemerintah untuk memberdayakan masyarakat kecil.
Peringatan
Hari Lahan Basah Sedunia seharusnya menyadarkan kita akan arti penting
lingkungan alam sekitar kita. Selain memikirkan pembangunan ekonomi,
konservasi lingkungan perlu menjadi perhatian, bahkan diselaraskan dengan
agenda pembangunan ekonomi. Wakaf memiliki potensi untuk mendorong konservasi
lingkungan dengan adanya ketentuan mengenai kekekalan materi aset wakaf dan
manfaat wakaf. Sudah saatnya bagi kita mendorong wakaf menjadi instrumen
kunci dalam agenda penyelamatan lingkungan. Dengan lahan berstatus wakaf,
pemerintah bisa berhemat karena tidak perlu membeli lahan sehingga tidak
perlu menunggu pertengahan tahun untuk dapat memberdayakan masyarakat kecil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar