Tafsir
Delik Korupsi Pasca Putusan MK
Bambang Soesatyo ; Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai
Golkar;
Presidium Nasional KAHMI
2012-2017
|
KORAN
SINDO, 07
Februari 2017
Arus
reformasi hukum yang terus mengalir sudah sampai pada sentuhan aspek teknis,
sebagaimana tercermin dari dua keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), yakni
tentang objek praperadilan dan delik korupsi sebagai delik materiil yang
mensyaratkan adanya akibat nyata dan pasti.
Konsekuensi
dari dua keputusan MK itu adalah dorongan kepada komunitas penegak hukum,
khususnya penyidik, untuk segera meningkatkan profesionalisme guna
menghadirkan penegakan hukum yang berkeadilan berlandaskan prinsip hak asasi
manusia (HAM). Pada paruh pertama 2015, MK telah menerbitkan keputusan No
21/PUU-XII/2014 tentang perluasan objek Praperadilan.
Dengan
keputusan ini, penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan, otomatis
jadi objek praperadilan. Sebelumnya, aspek penetapan tersangka,
penggeledahan, dan penyitaan tidak dapat dipraperadilankan. Menurut Pasal 77
pada UU No 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), objek praperadilan
hanya mencakup aspek penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau
penghentian penuntutan.
Setelah
memperluas objek praperadilan, MK kemudian mempertegas tafsir tentang delik
korupsi. Menjelang akhir Januari 2017, MK memutuskan menghapus kata ”dapat
(merugikan keuangan negara)” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No.
31/1999, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Maka
delik korupsi yang sebelumnya dipahami sebagai delik formal, berubah menjadi
delik materiil yang mensyaratkan ada akibat. Konsekuensinya, penyidik KPK dan
Polri dan serta jaksa penuntut harus menyajikan angka kerugian negara sebelum
membawa kasus Tipikor ke persidangan. Dalam konteks reformasi hukum, dua
keputusan MK ini tentu saja bermakna sangat strategis.
Pertama,
dua keputusan itu mendorong atau memaksa komunitas penegak hukum untuk
bertindak lebih profesional dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip
keadilan dan HAM. Konstruksi hukum sebuah kasus pidana harus mengindahkan
ketentuan hukum yang berlaku, dan tak kalah pentingnya adalah akurasi.
Kesemena-menaan
dalam mengonstruksi sebuah kasus akan dengan mudah dimentahkan di tahap
praperadilan. Kedua, dua keputusan MK itu tentu saja sejalan dengan reformasi
hukum yang sedang diagendakan pemerintah. Sebagai mesin pembangunan,
supremasi hukum adalah faktor yang signifikan karena dia menjadi jaminan bagi
kelancaran proses pembangunan itu sendiri.
Dua
keputusan MK tadi langsung menyentuh kebutuhan akan penguatan sumber daya
manusia (SDM) di bidang penegakan hukum yang juga diagendakan pemerintah.
Karena dua putusan MK itu mencakup perluasan objek praperadilan dan kasus
Tipikor sebagai delik materiil, MK secara tidak langsung meminta institusi
penegak hukum untuk memperbaiki sekaligus meningkatkan kualitas kerja
penyelidikan dan penyidikan, agar konstruksi hukum sebuah kasus benarbenar
masuk akal, memenuhi persyaratan dan ketentuan, serta akurat.
Sudah
barang tentu dua keputusan MK tadi lebih dialamatkan kepada para penyidik
KPK, Polri, dan jaksa penuntut. Para penyidik didorong untuk tidak gegabah
dalam menggunakan wewenangnya. Kehati-hatian demi akurasi menjadi faktor yang
sangat penting dalam proses menetapkan tersangka, menggeledah, menyita,
termasuk menangkap, menahan serta menghentikan penyidikan dan penuntutan.
Para penyidikdidoronguntuk menggunakan wewenangnya secara terukur.
Pijakan
hukum untuk menindak, menahan, dan menggeledah serta menyita pun harus jelas.
Upaya paksa oleh penegak hukum tidak ditolerir lagi jika upaya itu
bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Artinya, kelemahan sekecil apa pun
pada konstruksi hukum sebuah kasus akan dengan mudah dimentahkan di tahap
praperadilan.
Dalam
konteks itu, pengalamantidak enakkorpskejaksaan sepanjang 2016 patut
dijadikan pelajaran. Dalam menangani beberapa kasus yang menjadi perhatian
masyarakat, Korps Jaksa berulang kali kalah, baik di tahap praperadilan
maupun di pengadilan. Dan, pada sejumlah kasus, majelis hakim menilai para
jaksa menyalahi prosedur dalam proses hukum, tidak cermat merumuskan dakwaan
atau barang bukti tidak lengkap maupun lemah.
Mengawasi Penyidik
Keputusan
MK memperluas objek praperadilan selayaknya dipahami sebagai upaya
meningkatkan kualitas penegakan hukum. Inilah yang seharusnya digarisbawahi
oleh para penyidik. Mekanisme praperadilan memberi hak pada seseorang untuk
bertanya atau menguji legalitas tindakan penegak hukum menangkap, menahan dan
menuduhnya melakukan pelanggaran pidana.
Dalam
konteks kebenaran dan keadilan, tujuan utama dari mekanisme praperadilan
adalah terwujudnya kepastian dan kebenaran hukum, ketika penegak hukum
mereduksi sejumlah hak yang melekat pada tersangka atau terdakwa. Artinya,
tidak ada tindakan atau proses yang ilegal saat penegak hukum menahan atau
mendakwa seseorang. Bukan rahasia lagi bahwa dalam menangani sebuah kasus,
penegak hukum tak jarang menerapkan upaya paksa dan tidak mengindahkan
prinsip HAM.
Pada
masa lalu, keluh kesah tersangka atau terdakwa atas upaya paksa nyaris tak
bisa diuji legalitasnya di lembaga praperadilan. Hampir semua tersangka
pasrah ketika digeledah atau disita oleh penegak hukum. Demikian pula soal
keluhan terhadap upaya paksa penangkapan dan penahanan.
Tersangka
atau terdakwa kehilangan hak untuk mempertanyakan legalitas penangkapan dan
penahanan itu karena lembaga praperadilan tidak berwenang menguji keabsahan
dari tindakan para penegak hukum itu. Kalau penangkapan dan penahanan itu
berpotensi ilegal, kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM menjadi sangat
terbuka.
Akan
sangat berbahaya bagi citra negara jika tindakan ilegal seperti itu
dibenarkan atau didiamkan. Sebelum adanya koreksi dari MK, hakim praperadilan
pun tidak pernah menguji dan menilai syarat materiil atas tindakan
penangkapan atau penahanan. Hakim pada praperadilan tidak mau tahu apakah
syarat materiil sudah terpenuhi atau tidak ketika penyidik menangkap dan
menahan seseorang.
Faktor
atau syarat tentang bukti permulaan yang cukup itu diasumsikan sebagai
wewenang hakim pengadilan, bukan hakim praperadilan. Memang, dalam praktiknya
selama ini, pemeriksaan hakim praperadilan hanya fokus pada syarat formil,
seperti ada atau tidaknya surat perintah penangkapan, atau ada tidaknya surat
perintah penahanan.
Padahal,
faktor utama yang menentukan seseorang layak atau tidak mendapatkan perlakuan
paksa penangkapan dan penahanan adalah syarat materiil itu. Koreksi MK
terhadap objek praperadilan dan delik korupsi ini selayaknya dipahami sebagai
upaya bersama mewujudkan supremasi hukum.
Proses
penegakan hukum harus tegak lurus. Proses penegakan hukum tidak boleh lagi
serampangan atau tebang pilih. Praktik tebang pilih lebih mencerminkan
penegakan hukum yang koruptif. Akhirnya, kepada para penyidik, koreksi MK itu
patut juga dilihat sebagai pengawasan dalam proses penegakan hukum.
Penegakan
hukum harus berpijakpada prinsip keadilan. Pisau hukum harus tajam ke semua
arah, tidak pandang bulu, pun tidak kompromistis. Biarlah semua orang sama
kedudukannya di muka hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar