Pendekatan
Ekonomi
dalam
Penanganan Kejahatan Korporasi dan Bisnis
Asep N Mulyana ; Asisten Khusus Jaksa Agung RI;
Dosen tidak tetap Program
Pascasarjana UMSU dan Untag Semarang
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Februari 2017
TERKUAKNYA
skandal dugaan suap Rolls-Royce Energy Systems Inc terhadap Mantan Dirut PT
Garuda Indonesia (persero) Tbk merupakan peristiwa yang memperlihatkan
kejahatan korporasi lintas negara dan menyeruaknya fenomena elite capture
dalam pengelolaan pemerintahan dan perusahaan publik. Meskipun akibatnya
tidak langsung dirasakan seketika seperti halnya pada kejahatan konvensional,
dampaknya sangat merugikan secara finansial yang menyebabkan negara
terperangkap dalam middle income trap.
Fenomena elite capture tidak hanya menyebabkan tata kelola pemerintahan yang
buruk, tetapi juga tidak akan mampu mengurangi ketimpangan dan mengentaskan
kemiskinan.
Muncul
dan berkembangnya kejahatan korporasi dan elite capture maupun kejahatan di
bidang ekonomi lainnya secara tidak langsung menumbangkan tesis Howard Jones
yang memercayai lenyapnya kejahatan seiring dengan meningkatnya taraf
ekonomi. Pada realitasnya, justru kemajuan di bidang ekonomi yang didukung
teknologi digital itulah acapkali salah satu penyebab kejahatan oleh mereka
yang memiliki status ekonomi sosial tinggi (white collar crime) maupun kalangan profesional dan korporasi.
Fenomena elite capture
Secara
sederhana, elite capture diterjemahkan sebagai sikap atau tindakan yang
dilakukan sekelompok orang untuk memengaruhi pembuatan keputusan sehingga
hasilnya dapat memberikan keuntungan bagi mereka sendiri. Dalam terminologi
korupsi, fenomena elite capture dapat dikategorikan sebagai corruption by
design atau korupsi kebijakan. Mereka yang memiliki akses terhadap elite
berusaha untuk mendesain suatu kebijakan sehingga hanya menguntungkan bagi
diri, kelompok maupun pihak-pihak tertentu.
Fenomena
elite capture tidak hanya terjadi di ranah kekuasaan eksekutif, tetapi juga
terjadi di legislatif maupun yudikatif, bahkan dalam ketiga rumpun kekuasaan
negara itu sekaligus. Di bidang legislatif, para pelaku berupaya memengaruhi
proses pembuatan perundang-undangan sehingga substansi pengaturan sesuai
kepentingannya. Kejahatan korupsi dalam pengaturan kuota daging sapi impor,
salah satu contoh aktual yang memperlihatkan fenomena elite capture dalam
tataran eksekutif, legislatif maupun yudikatif secara bersamaan. Upaya
memengaruhi kebijakan di tataran eksekutif dalam penambahan kuota impor
daging tidak hanya dilakukan Direktur PT Indoguna Utama (PT IU) dengan
memberikan sejumlah uang kepada Ahmad Fathanah yang dikenal memiliki hubungan
dekat dengan Luthfi Hasan Ishaaq dan jajaran birokrat pemerintahan. Dalam
perkembangannya, pengaturan kuota daging sapi juga diduga melibatkan PT
Sumber Laut Perkasa (PT SLP) dan berbagai perusahaan lainnya.
Sebagaimana
dirilis berbagai media, Basuki Hariman selaku Direktur Utama PT SLP dan PT
Impexindo Pratama (PT IP) menyuap Patrialis Akbar agar permohonan uji
materiil Perkara No 129/PUU-XIII/2015 tentang UU No 41/2014 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan dikabulkan MK. Terhadap perkara suap daging
sapi impor yang melibatkan Achmad Fathanah, Luthfi Hasan Ishaaq dan Direktur
PT IU telah diputus MA dengan hukuman penjara, uang pengganti, dan denda.
Sementara itu, terhadap dugaan kasus penyuapan yang melibatkan Dirut PT
Sumber Laut dan Patrialis Akbar masih dalam proses penyidikan.
Deferred prosecution
agreement
Penetapan
tersangka Emirsyah Satar oleh KPK tidak terlepas dari hasil pemeriksaan
Serious Fraud Office (SFO) terhadap adanya konspirasi dan suap Rolls-Royce di
berbagai negara. Dalam investigasinya, SFO menemukan 12 tuduhan konspirasi
dan suap yang terjadi di 7 negara, yaitu: Indonesia, Thailand, India, Rusia,
Nigeria, Tiongkok, dan Malaysia (Republika, 20/1/2017).
Dalam
perkara SFO selaku applicant dan Rolls-Royce selaku respondent yang
disidangkan di Pengadilan Southwark Inggris itu, Hakim Sir Brian Leveson
memutuskan kasus ini diselesaikan dengan penangguhan penuntutan atau deferred
prosecution agreement (DPA). Dalam sistem hukum Inggris, DPA diperkenalkan 24
Februari 2014, merupakan kesepakatan antara jaksa dan korporasi yang
dituntut, yang pelaksaannya di bawah pengawasan hakim.
Menurut
jadwal 17 Crime and Courts Act 2013, DPA tidak bisa diterapkan terhadap
individu, tapi hanya pada perusahaan/organisasi yang melakukan tindak pidana
penipuan, penyuapan maupun tindak pidana ekonomi lainnya. Salah satu syarat
utama penangguhan penuntutan terletak pada pengakuan pihak Rolls-Royce
terhadap Dakwaan SFO No. U20170036 dan menyetujui pernyataan fakta terkandung
dalam surat dakwaan adalah benar dan akurat. Pernyataan fakta itu penting
bagi SFO, khususnya dalam mengejar penuntutan yang ditangguhkan.
Dalam
putusannya, Rolls Royce diharuskan membayar Perjanjian Penangguhan Penuntutan
£ 497.252.645. Rolls-Royce juga harus mengganti biaya yang dikeluarkan SFO
£13.000.000, membayar denda kepada Department of Justice (DoJ) US$169,917,710
dan membayar denda kepada Otoritas Brazil $25,579,645, yang harus dipenuhi
pembayarannya 5 tahun sejak putusan pengadilan (tanggal 17 Januari 2022 atau
setelah tanggal 17 Januari 2021, apabila ada permintaan Rolls-Royce kepada
SFO). Apabila Rolls Royce tidak melakukan pembayaran pada waktu yang ditentukan,
perjanjian batal.
Economic analysis of law
Kebijakan
penanganan kasus Rolls-Royce itu mengingatkan pada penyelesaian kasus suap
Monsanto Company dan Innospec Ltd terhadap pejabat publik di Indonesia, yang
terjadi beberapa waktu lalu. Pada saat itu, Departement of Justice (DoJ) AS
maupun Securities Exchange Commission (SEC) menetapkan Monsanto Company
membayar denda US$1,5 juta. Kewajiban pembayaran denda tersebut ditetapkan
setelah otoritas keuangan dan institusi penegak hukum menemukan bukti adanya 140
aliran dana sekitar US$ 70 juta dari Monagro Kimia kepada para pejabat
publik.
Begitu
pula dalam kasus suap Innospec Ltd terhadap para pejabat publik, terkait
penundaan larangan penggunaan bahan pembuat bensin bertimbal di Indonesia.
Dalam persidangan di Pengadilan Southwark Crown Inggris 26 Maret 2010, Hakim
Lord Justice Thomas menetapkan Innospec Ltd membayar sejumlah denda, yang
biasa disebut dengan lembaga injunction. Dalam common law system yang berlaku
di Inggris dan AS, lembaga injuction memungkinkan pengadilan atas permintaan
salah satu pihak yang beperkara dapat memerintahkan menunda penuntutan. Salah
satu syarat dalam injuction pada pengakuan bersalah dan pembenaran terhadap
fakta yang diungkap, serta berjanji tidak melakukan pelanggaran lagi. Satu
poin yang perlu digarisbawahi, mekanisme injunction lebih mengutamakan
pengembalian aset dan pemasukan keuangan negara sebagai prinsip utama
penyelesaian persoalan hukum. Praktik penegakan hukum di AS dan Inggris
terutama terhadap pelanggaran bisnis, sekaligus memperlihatkan adanya special
treatment yang didasarkan pada suatu pendekatan berbasis ekonomi atau biasa
disebut economic analysis of law (EAL) itu.
Respons aparat penegak
hukum
Penanganan
perkara dugaan suap Rolls-Royce terhadap mantan Dirut Garuda patut
diapresiasi sebagai respons aparat penegak hukum terhadap berkembangnya
kejahatan korporasi lintas negara. Respons yang sama dilakukan MA, dengan
menerbitkan Peraturan MA (Perma) No 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan
Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, sebagai pedoman aparat penegak hukum
sekaligus mendorong efektivitas dan optimalisasi penanganan perkara Tindak
Pidana Korporasi.
Sebelumnya,
pada 1 Oktober 2014 Kejaksaan Agung juga telah menerbitkan Peraturan Jaksa
Agung (Perja) No 028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana
dengan Subjek Hukum Korporasi. Success story kejaksaan dalam penanganan
perkara tindak pidana korupsi terhadap PT Gili Jaladi Wana (PT GJW) pada 2011
dan diikuti dengan penanganan perkara kejahatan korporasi lainnya oleh
Kejaksaan di berbagai daerah, menunjukkan langkah konkret dan implementatif
yang tidak hanya terbatas pada tataran regulasi.
Tentu
saja keberadaan berbagai regulasi itu tidak hanya sebagai bentuk respons,
tetapi juga untuk menyamakan pemikiran dan gerak langkah dari seluruh aparat
penegak hukum dalam rangka mewujudkan Standard Guidelines of Law Enforcement
Combating Corporate Crime. Adanya pedoman standar itu, maka tidak lagi
terjadi polemik terkait formalitas dan identitas korporasi (vide Pasal 143
ayat (2) KHUP), sebagaimana yang pernah terjadi beberapa waktu lalu.
Meskipun
di dalam berbagai produk legislasi tidak mengatur secara rinci tentang DPA,
injunction, maupun lembaga transactie, setidaknya paradigma EAL dipraktikkan
yang di negara-negara maju dapat dijadikan sebagai referensi praktik
penegakan hukum. Terutama terhadap pelanggaran bisnis dan kejahatan ekonomi
lainnya. Terlebih lagi dengan sifat hukum pidana laksana pedang bermata dua,
penggunaannya juga jangan semata-mata tertuju pada aspek retributif, tetapi
lebih menyentuh pada aspek-aspek rehabilitatif dan restoratif sehingga dapat
berkontribusi terhadap penerimaan negara. Sekali lagi, pendekatan EAL tidak
bermaksud mengeliminasi penghukuman terhadap pelaku kejahatan orang-perorangan,
yang nyata-nyata dilakukan berulang kali, yang mengakibatkan kerugian sangat
besar dan tidak dapat dipulihkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar