Pelecehan
Ulama
Muhbib Abdul Wahab ; Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif
Hidayatullah
dan UMJ
|
KORAN
SINDO, 07
Februari 2017
Dalam
persidangan terdakwa pelaku penodaan agama beberapa waktu lalu, Ahok dan tim
pengacaranya, secara sarkastik dan intimidatif memosisikan KH Maruf Amin
seolah sebagai terdakwa. Sang kiai diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi, dicecar dan diinterogasi selama kurang lebih tujuh jam disertai
berbagai ancaman dan gertakan yang tidak pantas diucapkan kepada ulama yang
usianya sudah lebih dari 70 tahun. Lebih dari itu, sang kiai dituding
telah memberi kesaksian palsu dan diancam akan dipidanakan dan dilaporkan
kepada polisi.
Pelecehan
sang kiai tersebut tak pelak menuai protes keras dari publik, khususnya warga
Nahdliyin, karena Ahok dan tim pengacaranya dinilai telah melampau batas
kepatutan dan kesantunan dalam memperlakukan ulama. Ulama dihina, dilecehkan,
diintimidasi, dan tidak dihormati sebagai saksi yang merepresentasikan
institusi keulamaan paling otoritatif di Indonesia (MUI), sekaligus pemimpin
tertinggi (Syuriah) NU yangmemiliki puluhanjutaumat yang menjadi pengikutnya.
Kendatipun
Ahok ”merasa bersalah” —dan seperti biasanya— lalu meminta maaf melalui
media, dibarengi ”sowan” Menko Luhut Binsar Panjaitan, Kapolda, dan Pangdam
Jaya ke rumah KH Maruf Amin (dan mungkin memintakan maaf kepadanya), namun
kasus penistaan dan pelecehanulamainimasihmenyisakan banyak persoalan.
Misalnya
saja, betapa ”mulut” terdakwa Ahok tidak pernah jera mengeluarkan ”ujaran
kebencian” (hate speech) dan
kegaduhan sosial. Publik yang berpikir objektif dan rasional sependapat bahwa
sumber dan akar masalah keresahan dan kegaduhan sosial saat ini memang
mengerucut pada seorang Ahok.
Sayangnya,
hingga saat ini, akar dan sumber masalah ini tidak diselesaikan secara adil
dan tegas, misalnya dengan penahanan yang bersangkutan, agar terdakwa tidak
lagi melakukan tindakan yang memicu keresahan dan kegaduhan sosial. Sungguh
kasus Ahok ini telah menguras energi bangsa, keuangan negara, dan ongkos
sosial yang supermahal.
Mengapa
sang terdakwa penista kitab suci Alquran itu dilindungi dan dibela mati-matian
oleh berbagai kekuatan dan rezim saat ini? Publik mencium aroma tidak sedap
dan tidak etis bahwa sebagian aparat pemerintah (penguasa) tidak netral lagi
dan terlibat langsung dalam pemenangan Pilkada DKI untuk paslon nomor urut dua
itu, dengan menghalalkan secara cara demi memuaskan syahwat kekuasaannya.
Kasus
pelecehan ulama ini tidak hanya mengundang kemarahan dan kegeraman mayoritas
umat Islam, tapi juga sangat potensial mengadu domba dan memecah belah
persatuan dan kesatuan bangsa. Pelecehan Ahok terhadap ulama juga terbukti
menjadi ancaman serius terhadap integrasi dan masa depan NKRI.
Pelecehan
ulama berarti menghina, menista, dan merendahkan marwahnya sebagai pemersatu
dan perekat umat dan bangsa. Pelecehan ulama di ruang publik identik dengan
”membunuh karakter” para pewaris Nabi (al-Ulamaal-Ulama
warasat alanbiya warasat al-anbiya). Jadi, melecehkan ulama berarti
melecehkan misi kenabian (Nabi) yang dibawanya.
Kasus
pelecehan ulama ini juga membawa hikmah besar bagi umat Islam Indonesia,
karena kesadaran dan komitmen kolektif umat untuk membela Islam dan berjihad
melawan ”musuh bersama” (common enemy),
yaitu siapa pun pemicu keresahan dan disharmoni sosial. Pelecehan ulama
adalah pelecehan umat Islam, karena yang dinistakan adalah role model dan
rujukan keilmuan dan keagamaan mereka.
Dalam
dinamika perjuangan bangsa Indonesia, ulama sejati itu selalu menunjukkan
komitmen dan cintanya yang tulus terhadap umat dan bangsa. Bahkan, ulama
selalu terdepan dalam membela NKRI tanpa pamrih dan rela mati, karena mati di
medan jihad bela negara termasuk mati syahid yang dijamin masuk surga. Ulama
sejati itu berbeda dengan mereka yang ”mendompleng” dan menjadi benalu NKRI.
Mereka
hanya cinta dunia, harta, dan kekuasaan, sehingga aset negara pun dijual demi
memuaskan syahwat kekuasaan dan kerakusannya. Sejarah nasional membuktikan
bahwa ulama tidak dapat dipisahkan dari masa lalu, masa kini, dan masa depan
NKRI. Karena sejatinya ulama itu pendidik, guru bangsa sekaligus pejuang (mujahid fi sabilillah) dalam
menegakkan dakwah amar makruf nahi mungkar demi terwujudnya Islam rahmatan lil rahmatan lil alamin.
Sebagai
pewaris Nabi, ulama selalu tampil terdepan sebagai teladan kebajikan terbaik
(uswah hasanah) bagi masyarakat,
bangsa, dan negara. Sebagai pewaris Nabi pula, ulama memainkan peran penting
dalam menyatukan umat, mencerahkan, mencerdaskan, dan memperjuangkan
kemaslahatan rakyat.
Jadi,
ulama tidak hanya hadir di tengah masyarakat dengan memberi solusi cerdas
terhadap persoalan umat, tetapi juga sebagai sumber referensi masalah-masalah
sosialkeagamaan, sosial-politik, sosial-ekonomi, dan moral. Secara historis,
ulama Indonesia juga memainkan peran penting sebagai garda pembela dan
pejuang keutuhan NKRI, karena sejatinya ulama itu ”belahan jiwa” umara
(pemerintah) yang berlaku adil dan bijaksana.
Jadi,
tidak ada alasan untuk membenturkan ulama dengan umara, karena sangat
kontraproduktif dan dapat mendistorsi kontribusi ulama dalam pemajuan bangsa
dan negara. Hanya PKI (Partai Komunis Indonesia) dan pengikut komunisme yang
selalu mengadu domba, memusuhi, dan membunuhi ulama.
Dengan
spirit saling mengedukasi demi tegaknya kebenaran (tawashaw bi al-haqq) dan saling berkontribusi dalam mengindahkan
kesabaran (tawashaw bi asshabr),
ulama tidak pernah merasa lelah dalam berkontribusi pemikiran, gagasan, dan
pencerahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Simbiosis
mutualisme antara ulama dan umara perlu dikembangkan atas dasar saling
menghargai, menghormati, dan memberdayakan; tidak atas dasar saling
mencurigai dan menista. Ulama dan umara sudah semestinya bergandeng tangan,
bersinergi dan selalu hadir dalam memberikan pelayanan publik secara adil,
setara, dan berpihak kepada rakyat.
Keduanya
harus membangun tali silaturahmi dan forum komunikasi efektif dan produktif
yang mengedepankan ukhuwah wathaniyyah
(persaudaraan kebangsaan). Karena itu, pemimpin bangsa ini harus kembali
belajar sejarah nasional dan mengapresiasi peran kontributif dan solutif
ulama. Sinergi ulama dan umara dalam membangun peradaban Indonesia
berkemajuan di masa depan juga sangat diperlukan.
Jika
tidak hendak mundur ke belakang (set back), pelecehan ulama harus diakhiri
karena berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa, di samping juga dapat
menyebabkan ”kualat” (terkena karma) bagi sang penista atau peleceh. Dalam
memainkan peran sosialnya,
ulama
juga harus bersikap istikamah (konsisten dan teguh pendirian) dan berjuang
sepenuh hati untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan demi terwujudnya baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur
(negeri yang gemah ripah loh jinawi dan dalam lindungan dan ampunan Allah
SWT) di bumi nusantara tercinta.
Walhasil,
jangan pernah melecehkan ulama karena di belakangan ulama ada sekian banyak
umat yang setia kepadanya. Ulama itu pewaris para nabi dalam membela
kebenaran agama dan keadilan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jangan pula melecehkan ulama dengan tidak santun, karena berimplikasi pada
disintegrasi dan disharmoni sosial.
Pelecehan
ulama menandakan ketidakpahaman terhadap sejarah perjuangan bangsa dalam
merebut kemerdekaan dan mempertahankan NKRI dari pengkhianatan dan
persekongkolan jahat PKI di era Orde Lama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar