Sulitnya
untuk Korupsi
M Fatahillah Akbar ; Dosen Pidana di Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada
|
JAWA
POS, 12
Februari 2017
Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 tentang Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) pada 25 Januari 2017 merupakan
putusan yang akan sangat memengaruhi penanganan kasus korupsi di Indonesia.
MK tidak hanya kali ini mengeluarkan putusan yang berpengaruh besar terhadap
pemberantasan korupsi. Salah satu yang berkaitan dengan putusan MK tersebut
adalah Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006.
Dua putusan MK
itu memang terkait meski memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Pada 2006
MK sepakat menyatakan bahwa pasal 2 dan pasal 3 UU PTPK adalah delik formil.
Sepuluh tahun kemudian, MK menyatakan bahwa pasal 2 dan pasal 3 UU PTPK
adalah delik materiil. Yang menjadi pembahasan adalah apakah klasifikasi
delik yang tepat untuk UU PTPK.
Pada 2006,
sebuah pengujian dibawa ke hadapan MK mengenai unsur ”dapat” dalam pasal 2
dan pasal 3 UU PTPK. Pada Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 dinyatakan, delik
pada pasal 2 dan pasal 3 UU PTPK diklasifikasikan sebagai delik formil yang
cukup dibuktikan dengan pemenuhan keseluruhan rumusan delik. Kerugian negara
dan/atau kerugian perekonomian negara tidak selalu perlu menjadi material
loss, tetapi juga cukup menjadi potential loss karena terdapat unsur kata
”dapat” sebelum kerugian tersebut.
Pada putusan
MK itu dipertegas, bentuk delik pasal 2 dan 3 adalah delik materiil dengan
mencabut kata ”melawan hukum materiil” dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) UU
PTPK yang menyatakan bahwa melawan hukum dapat berupa melawan hukum materiil
dan formil. Salah satu pertimbangan yang penting adalah mencegah adanya
kerugian dalam tindak pidana korupsi penting sehingga penting untuk mengatur
potential loss daripada material loss sehingga diperlukan adanya unsur
”dapat”. Hal itu juga dikaitkan dengan pasal 4 UU PTPK yang mengatur bahwa
pengembalian uang negara tidak menghapuskan pemidanaan. Dalam hal ini,
pertimbangan tersebut dianggap tepat sehingga mempertahankan unsur ”dapat”
adalah sangat penting. Namun, sepuluh tahun kemudian belum tentu sama.
Pada awal
2017, MK mengeluarkan putusan yang pada dasarnya didasarkan pada pengujian
yang tidak jauh berbeda mengenai unsur ”dapat” pada pasal 2 dan pasal 3 UU
PTPK. Jika kita merujuk pada pasal 60 ayat 1 UU 24/2003 tentang MK
sebagaimana telah diubah oleh UU 8/2011 (UU MK), seharusnya pengujian materi
yang sama dalam hal ini unsur ”dapat” pada pasal 2 dan pasal 3 tidak
diperbolehkan.
Namun, pasal
60 ayat 2 UU MK memberikan pengecualian, jika pengujian menggunakan dasar
pengujian yang berbeda, hal tersebut tetap dapat dilakukan. Dalam hal ini, MK
secara sederhana mengatakan bahwa pengujian kembali pasal 2 dan 3 UU PTPK
adalah memenuhi syarat formil dengan batu uji yang berbeda dengan 2006.
Selain itu, pada dasarnya perkembangan peraturan perundang-undangan dan
pemberantasan korupsi yang kemudian menjadi dasar bahwa pengujian UU 25/2016
ini tetap dapat dilanjutkan.
Salah satu
dasar pertimbangan MK adalah dibentuknya UU 30/2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (UU AP). Dengan dibentuknya UU itu, MK berpendapat bahwa dalam
penyelenggaraan pemerintahan, penegakan hukum pidana adalah sarana terakhir
atau the last resort sebagaimana menganut prinsip ultimum remedium karena
yang diutamakan adalah pengembalian keuangan negara ketimbang penegakan hukum
pidana sebagaimana berkaitan dengan pengaturan pada pasal 20 ayat 4, pasal
21, pasal 70 ayat 3, dan pasal 80 ayat 4 UU AP.
Pada dasarnya,
pertimbangan MK ini cukup bertentangan dengan dasar lahirnya UU 31/1999 dan
UU 20/2001 tentang PTPK di mana nilai yang terkandung adalah primum remedium
dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Hal itu dipertegas dalam pasal 4
UU PTPK yang menyatakan bahwa pengembalian uang negara tidak menghapus proses
pidananya. Pengaturan tersebut mempertegas bahwa hukum pidana adalah alat
utama (the only resort) dalam penegakan tindak pidana korupsi. Terlepas
dengan pertimbangan mengenai ultimum remedium, fokus penegakan hukum untuk
memperoleh pengembalian kerugian negara atau asset recovery adalah salah satu
yang perlu diperkuat dalam UU PTPK. Pengembalian keuangan negara tetap harus
berjalan dengan proses pemidanaannya.
Selain
pertimbangan mengenai prinsip ultimum remedium, pertimbangan mengenai
klasifikasi delik yang tepat perlu dikaji. Delik formil sebagaimana diperkuat
putusan MK tahun 2006 adalah untuk mempermudah proses pembuktian. Putusan MK
Nomor 25/PUU-XIV/2016 menjadikan pasal 2 dan 3 UU PTPK sebagai delik materiil
di mana menitikberatkan pada akibat, dalam hal ini adalah kerugian keuangan
negara dan atau perekonomian negara.
Sebelumnya,
dengan unsur ”dapat” kerugian negara dapat berupa potential loss sehingga
sebelum kerugian terjadi lebih jauh atau masih dapat berupa potensi penegakan
hukum dapat dilaksanakan. Namun, sejak kata ”dapat” dihapus, kerugian negara
harus berupa material loss sehingga pada praktiknya hal ini dapat berbahaya.
Kerugian negara tersebut harus telah terjadi dan pengembalian atau proses recovery
dalam hal ini akan lebih sulit daripada ketika masih berupa potential loss.
Jika memang putusan MK tersebut didasari pejabat negara menjadi
takut dan terhambat dalam menciptakan kebijakan, solusi yang tepat ialah
memberikan batasan yang jelas kapan dan dalam hal apa sebuah kebijakan
memenuhi tindak pidana korupsi atau tidak dalam ranah hukum administrasi
negara. Menghapus unsur ”dapat” malah dapat menciptakan pembuktian tindak
pidana korupsi yang semakin rumit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar