Guru
Besar Kepala dan Regenerasinya
Ardhie Raditya ; Dosen pendidikan kritis di Sosiologi Unesa;
Sedang studi doktoral berbiaya
mandiri di UGM
|
JAWA
POS, 11
Februari 2017
BAIK tulisan
Saudara Bagong Suyanto (Jawa Pos, 8/2) maupun Budi Santoso (Jawa Pos, 9/2)
dalam menyikapi Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 mengandung unsur
diskriminatif dan bias budaya senioritas. Sebagai guru besar dan kandidat
guru besar, wajar saja keduanya berkutat pada persoalan kepentingan mereka.
Sementara itu, regenerasi dan revitalisasi atmosfer akademik bagi tumbuh
kembangnya dosen muda terkesan diabaikannya.
Menurut Bagong
dalam tulisannya, selain melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi, seorang
guru besar dituntut menelurkan sedikitnya tiga tulisan di jurnal
internasional dalam kurun waktu tiga tahun (pasal 8). Apalagi, penghasilan
guru besar masih di bawah remunerasi seorang camat di DKI. Kondisi seperti
ini amat kontras dibandingkan dosen yang puluhan tahun mengabdi.
Kegelisahan
Bagong kemudian ditanggapi Saudara Budi Santoso. Melalui tulisannya, Lecutan
untuk Profesor, Santoso menganggap permenristekdikti tersebut bermakna
positif. Sebab, itu adalah upaya meminimalkan pelanggaran etis dosen dalam
meraih guru besarnya.
Apalagi, para
lektor kepala dan guru besar di Indonesia yang menerima tunjangan profesinya,
tampaknya, kurang terlecut menghasilkan tulisan ilmiah. Baik tulisan di
jurnal nasional, internasional, maupun jurnal internasional bereputasi.
Masalah Seribu Doktor
Bagi sebagian
besar dosen, jabatan guru besar merupakan sebuah cita-cita. Selain tunjangan
besar, dosen yang telah menyabet ’’gelar’’ profesor dianggap dewa ilmu
pengetahuan di bidangnya. Bahkan, posisi seorang guru besar setara dengan
ulama di bidang agama.
Namun, salah
satu syarat formal utama menjadi guru besar adalah menyandang gelar doktor.
Hal itu tertuang dalam Permenpan Nomor 46 Tahun 2013 dan Permendikbud Nomor
92 Tahun 2014. Karena itu, program mencetak seribu doktor setiap tahun terus
digenjot pemerintah. Program tersebut juga sebagai antisipasi jika di waktu
mendatang Indonesia mengalami krisis guru besar karena berbagai persoalan
internal dan eksternal kampusnya.
Bagaimana
tidak, jumlah dosen di Indonesia hingga kini masih didominasi dosen bergelar
S-1 dan S-2. Dosen bergelar S-1 berjumlah 45.792 orang dan 160.825 dosen
bergelar S-2. Dari total seluruh dosen di Indonesia, diperkirakan 68 persen
dosen muda di bawah usia 45 tahun yang belum berpendidikan doktor (Jawa Pos,
10/10/2016).
Dibandingkan
negara lainnya, Indonesia tergolong tertinggal dari sisi rasio jumlah doktor.
Di Malaysia, misalnya. Dari tiap satu juta penduduknya, terdapat 509 doktor.
Di India, dalam setiap satu juta penduduknya, terdapat 1.410 doktor. Di
Jepang, 6.438 doktor. Di Amerika, 9.850 doktor. Di Tiongkok, 5.000 doktor. Di
Indonesia, setiap satu juta penduduknya, terdapat kurang lebih 143 doktor.
Diperkirakan jumlah doktor di Indonesia mengalami daya dongkrak sekitar 150
ribu pada 2026 mendatang.
Namun, para
dosen di Indonesia dihadapkan pada suatu dilema yang cukup pelik. Selain
virus birokrasi kompleks, para dosen muda terbentur politik patronase kampus.
Banyak pejabat kampus yang harus dimintai restu agar para dosen muda dapat
menempuh studi doktoralnya. Dalam teori Althusser (1974), kondisi itu disebut
cara kerja aparatus ideologis pendidikan.
Memupuk Faktisitas Kampus
Selain itu,
dosen muda yang telah menyelesaikan program doktoral terkadang terpaksa
menjalani daftar tunggu untuk mengurus guru besarnya. Selain budaya tabu
melangkahi seniornya, dibutuhkan dana puluhan juta untuk meraih jabatan guru
besar. Anehnya, sejumlah elite politik di negeri kita dengan mudahnya
menyandang guru besar dan gelar doktor tanpa harus bersusah payah sebagaimana
layaknya dosen pada umumnya.
Hal yang
mengherankan lainnya, anggota tim penyeleksi kenaikan pangkat terkadang tidak
kompeten. Misalnya, seorang guru besar yang jarang menulis buku, artikel, dan
karya akademik justru ikut menilai calon guru besar yang produktif. Lucunya
lagi, tim penilai kenaikan pangkat yang kepakarannya di jurusan teknik justru
menilai dosen yang bidang ilmunya sosial-humaniora.
Berbagai
karut-marut itulah yang membuat kampus sekadar mencetak guru besar kepala:
angkuh, paling hebat, sok kuasa, dan mahatahu segalanya. Padahal, padi
semakin berisi semakin menunduk, apalagi manusia yang berakal budi dan
berhati nurani.
Akhirnya,
bukan karena gengsi sosial dan tunjangan besar lantas sejumlah dosen saling
jegal-menjegal demi merebut jabatan guru besar. Modal ekonomis bagi
peningkatan kualitas kampus dan profesionalitas dosen memang penting.
Tapi, yang tak kalah pentingnya dari itu adalah bagaimana kampus
dikelola secara adil, jujur, humanis, dan berintegritas. Dengan begitu,
civitas academica-nya merasakan atmosfer faktisitas (kerasan dan kekhusyukan)
dalam menunjang kehidupan akademik dan proses kelahiran karya ilmiah berskala
nasional dan internasional. Mungkinkah terwujud? Tanyalah pada hatimu, kawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar