Biarkan
Hukum Berbicara
Dalam
Kasus Penodaan Agama
Frans H Winarta ; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita
Harapan;
Ketua Umum Persatuan Advokat
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 11
Februari 2017
Menjelang usia
kemerdekaan yang ke-72 sebagai sebuah negara kesatuan Republik Indonesia,
kematangan segenap bangsa dalam berdemokrasi di negara ini sedang betul-betul
diuji.
Hal ini
terkait dengan ketegangan yang terjadi akibat dugaan penodaan agama yang
melibatkan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama. Dalam
persidangan terakhir, terjadi kontroversi dalam proses pemeriksaan terhadap
Kiai Maruf Amin sebagai ketua umum MUI yang diperiksa sebagai saksi yang
menyebabkan terjadinya ketegangan lain setelah berlangsungnya sidang
tersebut.
Selama
persidangan berlangsung, prinsip kepatutan harus dijunjung tinggi. Ini
terkait dengan bagaimana cara menyampaikan pertanyaan kepada saksi yang
dihadirkan di persidangan dalam tahap pembuktian. Fokus persidangan adalah
dalam perkara penodaan agama sehingga sebaiknya pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan terhadap seorang saksi harus relevan dan tidak menyangkut hal
politis.
Pertanyaan
yang diajukan terhadap saksi harus relevan dengan materi perkara dan saksi
harus bebas, jujur, dan objektif dalam memberikan keterangannya. Keterangan
yang digali dari saksi harus ada kaitannya dengan pengetahuan saksi terkait
dengan perkara yang sedang dipersidangkan.
Selain itu
niat (mens rea) dan perbuatan (actus reus) yang dilakukan oleh terdakwa harus
dapat dibuktikan. Di sinilah prinsip fair trial benar-benar diterapkan dalam
proses persidangan, termasuk menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah
hingga putusan majelis hakim dijatuhkan. Majelis hakim berperan penting dalam
berjalannya proses persidangan sehingga pada akhirnya menimbulkan keyakinan
majelis hakim dalam menyusun putusan.
Majelis hakim
tidak boleh ragu dalam membuat putusan. Kegaduhan baru berupa isu penyadapan
yang mencuat dalam persidangan penodaan agama kemarin pun sebetulnya tidak
perlu terjadi. Sekalipun hal inimasihmerupakandugaan, indikasi penyadapan
yang dimunculkan oleh berbagai pihak menimbulkan implikasi yuridis yang tidak
ringan.
Peran majelis
hakim dalam mengatur lalu lintas tanya jawab (cross examination) baik dari
JPU maupun penasihat hukum harus diatur hakim secara seimbang. Berdasarkan
Pasal 40 UU Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi, secara tegas diatur mengenai
adanya larangan melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan
melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun.
Bahkan,
pelanggaran atas ketentuan ini diancam dengan pidana 15 (lima belas) tahun
penjara. Apalagi tindakan penyadapan pada prinsipnya melanggar hak asasi
manusia berupa hak privasi pribadi seperti yang diatur di dalam konstitusi
dan ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
ICCPR
menyebutkan bahwa tidak seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau
secara tidak sah dicampuri masalah pribadi, keluarga, rumah atau
korespondensinya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.
Sekalipun secara yuridis ada implikasi yang serius, jika tidak ada yang harus
disembunyikan, tentu tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan dari adanya
penyadapan.
Kuncinya ada
pada transparansi dan akuntabilitas para pejabat di negeri ini. Kita sudah
terbiasa untuk berada dalam kegelapan dan area abuabu. Ketika saat ini
demokrasi dan reformasi menghendaki adanya transparansi dan akuntablitas,
dapatkah kita memberi jawaban yang tegas terhadap hal ini? Sudah lama kita
hidup di alam represif sehingga ketika prinsip demokrasi mengemuka dan ketika
persamaan di hadapan hukum diuji, kita lupa bahwa esensi demokrasi adalah
kesetaraan. Di sini berarti, baik JPU maupun tim penasihat hukum punya hak
yang sama untuk menggali keterangan saksi dalam persidangan.
Bangsa yang Beradab
Namun tentu
semua ini harus disikapi dengan kepala dingin oleh semua pihak. Tidak patut
bangsa ini berseteru hanya karena dugaan-dugaan yang tidak valid kebenarannya
dan justru menebar syakwasangka. Pemimpin bangsa ini, baik yang masih
menjabat maupun yang sudah tidak lagi menjabat, seharusnya mengambil sikap
yang bijak untuk tidak menggiring bangsa ini ke kancah perpecahan.
Pemimpin yang
baik seharusnya tidak menebarkan perpecahan di tengah-tengah masyarakatnya.
Sikap inilah yang akan mengantarkan kita menjadi bangsa yang beradab
menyikapi aliran arus informasi yang tidak pasti kebenarannya. Lagi pula,
daripada sibuk mengurusi persoalan seperti ini, kita seharusnya mempersiapkan
diri untuk menghadapi tantangan ekonomi global yang semakin berat. Stabilitas
negara kita perlu dijaga.
Untuk itu
semua pihak harus turun tangan untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran
akibat ulah pihak-pihak yang senang mengail di air keruh. Kita tidak butuh
pergolakan dan gonjang-ganjing politik akibat ketidak dewasaan dalam
berdemokrasi. Negara kita butuh negarawan yang berkepala dingin dan tidak
terbawa perasaan dalam menghadapi konflik yang ada.
Dibutuhkan
sikap bijak dan kesabaran ekstra dalam melihat kondisi negara akhir-akhir
ini. Persoalan etika menjadi sorotan utama di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Seseorang bisa memiliki etos kerja yang tinggi
sebagai pejabat, tetapi di lain sisi belum tentu memiliki sensitivitas dalam
kehidupan sosial berbangsa dan bernegara.
Ini adalah isu
besar yang sedang kita hadapi dan pentinguntuksegera dicari jalan keluarnya
bersama. Apalagi, perlu diingat, konstitusi kita tegas mengatur mengenai
kesantunan dan kesopanan sebagai bangsa yang beradab. Cicero, seorang filsuf
dan ahli hukum dari zaman Romawi, menyatakan ubi societas ibi ius yang berarti: ada masyarakat, ada hukum.
Biarkan hukum
yang berbicara dalam penyelesaian perkara pidana penodaan agama yang masih
berlangsung di persidangan saat ini. Tentunya harus berpegang teguh pada
persatuan dan kesatuan Indonesia sesuai dengan yang diamanatkan sila ketiga
Pancasila. Jangan sampai persoalan pelik yang terjadi saat ini memecah belah
bangsa Indonesia hanya demi tercapainya kepentingan golongan tertentu.
Kita harus belajar dari sejarah bahwa bangsa kita bisa takluk di
tangan penjajah karena taktik devide et
empera. Hanya ketika bangsa kita bersatu padu, bahu-membahu, kemerdekaan
itu bisa diraih. Kini, dalam mengisi kemerdekaan, devide et empera kembali
mengintai bangsa kita. Jangan sampai kita memberi kesempatan atas hal itu,
saling gaduh, dan pada akhirnya melewatkan kesempatan emas untuk membangun
Indonesia Raya yang adil dan makmur! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar