Sudah
Cukup Sensitifkah Kita kepada Anak-anak?
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi Media Sosial; Penulis; Kini ia
tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 07 Februari 2017
Hari-hari
ini, saya harus menyetir dengan sangat berhati-hati. Usai liburan kenaikan
kelas, anak-anak sekolah sudah pada masuk lagi. Buat saya, secara riil itu
artinya tambahan peraturan lalu lintas.
Di
sini, pada tiap pagi sekitaran jam masuk sekolah, dan tiap sore antara pukul
14.30 hingga 16.00, berlaku aturan kecepatan khusus di zona sekolah. Tak
peduli suatu jalan punya batas kecepatan 60 atau 70 km per jam, kalau masuk
zona sekolah pada waktu-waktu khusus tersebut, kecepatan maksimalnya turun
hingga 40 km per jam.
Aturan
kecepatan ini diterapkan lebih kaku dibanding pada area lain. Di tempat
lainnya, masih ada toleransi untuk kelebihan kecepatan hingga beberapa
kilometer per jam. Di jalan tol, misalnya, dengan limit kecepatan 100 km per
jam, masih tersedia toleransi hingga 108 km per jam. Namun untuk zona
sekolah, kelebihan 2 km per jam pun tetap akan disikat speed camera, dan
dihajar denda.
Apa
pun terkait anak-anak memang mendapat porsi sensitivitas lebih tinggi di
Australia.
Saya
beri contoh lain. Dua tahun lalu, saya masih pegang truk. Tugas saya
mengantar barang-barang kiriman bukan ke alamat langsung, melainkan ke meeting point tempat berkumpul
mobil-mobil van kecil, dan merekalah yang kemudian menyebarkannya ke tujuan.
Nah, pada masa itu, kadang saya masih bisa mengajak Hayun, anak saya. Dia
duduk di sebelah saya selama saya menyetir, dan ikut turun menonton bapaknya
membongkar muatan.
Sayang,
sekarang saya tak lagi bisa melakukannya. Hayun sudah sekolah, itu yang
pertama. Kedua, sekarang saya pegang van besar dan mengirim barang langsung
ke alamat-alamat. Di saat saya masuk ke kantor-kantor, ke toko-toko, atau ke
rumah-rumah, tak mungkin saya mengajak Hayun. Namun untuk meninggalkannya di
van pun mustahil. Kalau ketahuan ada seorang anak ditinggal sendirian di
kendaraan, padahal orang dewasa yang bersamanya pergi cuma dua menit
sekalipun, denda bisa dijatuhkan sangat tinggi. Di sini, meninggalkan
anak-anak sendirian di kendaraan bisa divonis sebagai tindakan melanggar
hukum, dan pelakunya diancam denda ribuan dolar hingga penjara.
Ada
lagi satu cerita yang lebih menarik. Seorang warga Indonesia yang tinggal di
sini memanggil tukang kunci, karena pintu toilet rumahnya macet tak bisa
dibuka. Padahal saat itu ada anaknya di dalam toilet. Si tukang kunci pun
beraksi, membongkar handle pintu yang macet, mengeluarkan si anak dari dalam
toilet, lalu membetulkan kembali kunci yang rusak.
Nah,
tiba saat nota tagihan diberikan, jumlah dolarnya dua kali lipat dari ongkos
normal perbaikan kunci! Ketika ditanya, si tukang kunci menyebutkan
perinciannya: separuh untuk reparasi, separuhnya lagi untuk menyelamatkan si
anak dari dalam toilet. Hahaha, memang terdengar ngawur. Tapi ternyata itu
legal.
Masih
banyak contoh yang menggambarkan bagaimana negeri tempat saya menumpang
sementara ini memperlakukan anak-anak secara istimewa. Beberapa pekan lalu
saya membaca koran lokal, dan menemukan berita tentang usulan hukuman dobel
bagi orang dewasa yang kedapatan minum alkohol di saat menyetir, sementara di
dalam mobilnya ada anak-anak. Ya memang sih, menyetir dalam kondisi mabuk
sudah merupakan pelanggaran, dan hukumannya berat. Tapi dengan keberadaan
anak-anak di mobil, hukuman yang sudah berat tersebut masih akan digandakan
lagi sampai menjadi superberat.
Keamanan
dan keselamatan anak-anak bukan cuma terkait dengan jalan raya. Di sekolah
pun, tempat mereka beraktivitas saban harinya, perlindungan atas anak-anak
dimulai. Sejak kelas satu SD, murid sudah diajari mendeteksi kapan terjadinya
situasi yang mengancam keselamatan fisik maupun psikis mereka, dan apa yang
harus dilakukan.
Kemarin
saya membuka-buka bundel hasil belajar Hayun selama setahun di kelas satu,
khususnya pada pelajaran kesehatan. Saya bagi sekilas sebagai gambaran,
khususnya beberapa bagian yang bukan topik kesehatan standar, melainkan lebih
dekat ke tema safety alias keselamatan.
Pada
lembar "Crossing The Road", anak diajari tata cara menyeberang
jalan dengan aman. Kemudian pada lembar "Stranger-Danger", ada
lembaran menjodohkan gambar-gambar, dengan muatan pesan: jangan menerima
permen dari orang tak dikenal, jangan mau diajak masuk ke mobil orang tak
dikenal, jangan bermain di tempat sepi, dan sebagainya. Pada lembar
"Feeling Unsafe", anak diajari prosedur yang harus dilakukan jika
merasa tak aman, yakni berteriak, berlari menjauh, memanggil orangtua,
berkata "Aku mau pulang!", dan memberitahu orang lain yang
dipercaya.
Pada
lembar "Keeping Myself Safe", diajarkan pemahaman atas
bagian-bagian tubuh mana yang sangat pribadi, dan agar anak menolak jika ada
orang lain mau menyentuhnya. Pada lembar "When I Am Angry", anak
diajari menjalankan langkah-langkah saat dirinya merasa marah, yaitu:
mengambil nafas panjang, berhitung sampai 10, berpikir tentang apa yang harus
segera dilakukan, berjalan menjauh, dan berbicara dengan orang lain. Pada
lembar "Being Bullied", anak diberi petunjuk tentang perasaan buruk
yang timbul saat ia mendapatkan bullying, serta hal-hal yang harus segera
dilakukannya, seperti: mengabaikan si pelaku, berkata "Aku tidak
suka!", pergi ke tempat aman, dan memberitahu guru atau orang dewasa.
Bab
terakhir tentang bullying ini menarik perhatian saya. Di situ tidak
digambarkan tentang anak yang dipukul atau disakiti badannya, melainkan
gambar-gambar anak yang dibentak dan diancam. Artinya, perkara keselamatan
sudah bukan lagi semata domain fisik, melainkan juga psikis.
Saat
saya mengantarkan paket ke beberapa sekolah di sini, tak jarang saya melihat
poster dengan slogan "Stop Bullying" terpajang di dinding. Mulai
beberapa tahun terakhir, kebijakan anti-bullying memang sangat ditekankan di
sekolah-sekolah, menyusul terjadinya beberapa kasus kriminalitas berat. Dari
kasus-kasus tersebut, belakangan terungkap fakta bahwa para pelakunya
memendam depresi berlarut-larut akibat bullying. Sejak itulah pemerintah dan
lembaga-lembaga pendidikan memerangi bullying secara serius.
Salah
satu bentuk keseriusan tersebut adalah penyebaran informasi bahwa apa yang
disebut bullying bukan cuma berwujud tindakan fisik, namun juga meluas hingga
ke kata-kata yang menyakitkan, pemberian nama panggilan (julukan) yang tidak
menyenangkan, mengolok-olok dan 'mengerjai', hingga menggosipkan orang lain
yang memunculkan perasaan terhina.
Setelah
penerapan kebijakan anti-bullying tersebut, hasilnya mulai tampak. Pada tahun
2011, terjadi kasus di negara bagian New South Wales. Ceritanya, dalam sebuah
karnaval, seorang anak SMA bernama Jasmine Oyston memakai kostum minim. Ia
diejek teman-temannya karena bajunya itu. Jasmine pun melapor ke sekolah
karena merasa telah di-bully. Malangnya, meski sekolah sudah secara resmi
menerapkan kebijakan anti-bullying, para guru tidak mengambil tindakan
apa-apa. Akhirnya Jasmine melapor ke polisi, sekolahnya diproses secara
hukum, dan pengadilan memenangkan Jasmine. Pihak sekolah pun harus memberikan
ganti rugi imaterial kepada Jasmine sebesar AUS$ 162.000.
Kejadian
tersebut bisa menjadi gambaran, bahwa seriusnya persoalan bullying
benar-benar disadari. Itu baru yang bersifat kata-kata ejekan kepada
penampilan. Secara hukum, bahkan ejekan verbal yang menyerang ras, gender,
orientasi seksual, status pengidap AIDS, dan kelainan fisik bawaan, sudah
tergolong tindakan ilegal. Pelakunya bisa tergolong kriminal, dan penjara
bisa menjadi hukuman final.
Saya
tidak cukup paham, apakah di sekolah-sekolah kita isu bullying ini sudah
menjadi sorotan dan penekanan. Setahu saya, publik Indonesia selalu heboh
dengan video anak-anak yang dikeroyok, atau dipukuli seniornya. Tapi
bagaimana dengan bullying verbal yang sebenarnya tak kalah berbahaya itu?
Beberapa
pekan lalu, beredar video seorang anak bernama Ari yang ditanyai oleh
Presiden Jokowi tentang nama-nama ikan. Saat menyebut ikan 'tongkol', Ari
mengucapkannya terbalik. Kontan, adegan itu menjadi bahan guyonan di
mana-mana, bahan hiburan bagi jutaan pemirsa, bahan relaksasi di sela
hiruk-pikuk Pilkada.
Belakangan,
ketahuan bahwa Ari adalah pengidap disleksia, sehingga boleh dikata bahwa
kekeliruannya mengucapkan nama ikan merupakan bawaan lahirnya. Ia tidak
melakukannya dengan sengaja sebagai lelucon. Kitalah yang menjadikan Ari
sebagai objek lawakan, sembari tanpa sadar telah melakukan bullying yang
sangat mengerikan, kepada seorang anak polos yang tidak bisa mengucap
kata-kata sebaik kita.
Bayangkan
saja, dengan ribuan video yang kita bagi di laman-laman media sosial itu,
dengan komen "Wkwkwkwk!" dan "Hoahahaha!" yang kita
lampirkan di sana, Ari akan terus dikenal dengan salah ucapnya. Ia bakalan
terus ditertawakan teman-temannya, terus menjadi bahan ejekan lingkungan di
sekitarnya. Mungkin hingga bertahun-tahun ke depan, bahkan tidak mustahil
hingga selamanya.
Kita
tidak tahu, seberapa terpukul dia, seberapa malu dia dan keluarganya, dan
seberapa besar pengaruh semua tawa kita itu atas pembentukan diri Ari sebagai
manusia.
Tenang,
saya tidak sedang menggurui Anda semua. Jujur, saya pun termasuk yang ikut
tertawa terguling-guling waktu itu. Hingga kemudian saya diingatkan oleh
Bunda Evi Ghozaly, sahabat saya yang pendidik hebat dari Lampung itu. Saya
terhenyak sewaktu diingatkan bahwa kita telah melakukan bullying serius. Saya
menyesal, ikut menangis bersamanya, sembari menyadari bahwa bukan mustahil
saya telah turut berkontribusi dalam merusak hidup seorang anak manusia.
Mari
kita minta maaf kepada Ari, minta maaf kepada semua anak yang selama ini kita
jadikan lelucon gila, dan kepada anak mana pun yang pernah menjadi korban
candaan kita.
Tolong,
dalam kasus seperti ini, tak perlu lagi muncul kalimat, "Halah, di
zamanku dulu, cuma dikerjain gitu aja mah biasa. Nyatanya aku juga nggak
papa, bisa sekolah tinggi, dan tetap cerdas begini." Itu kalimat yang
berkali-kali saya dengar saat ada kejadian anak ditangani secara fisik oleh
gurunya, lalu sebagian orang membela si anak, sebagian yang lain mencelanya.
Logika
yang tak henti-henti mengagungkan "zaman saya dulu" adalah logika
pemuja diri sendiri, yang menafikan fitrah ilmu yang terus berkembang.
Penemuan-penemuan baru di bidang psikologi maupun ilmu pendidikan telah
membuktikan bahwa kekerasan fisik pada anak tidak akan membawa hasil positif,
dan bullying verbal bisa menumbuhkan depresi berkelanjutan. Lebih dari itu,
tidak semua anak sehebat Anda, sekuat Anda dalam menghadapi bullying.
Sudah
saatnya kita meningkatkan sensitivitas kepada anak-anak. Mereka adalah
benih-benih lembut dan lunak, yang harus kita rawat dengan sebaik-baiknya,
setelaten-telatennya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar