Ambang
Batas Pencalonan Presiden dan Pemilu 2019
Fadli Ramdhanil ; Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem)
|
KOMPAS, 08 Februari 2017
Perdebatan
terkait beberapa isu krusial di dalam RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu
mulai meruncing. Salah satunya adalah ambang batas kursi atau suara untuk
pencalonan presiden dan wakil presiden.
Sikap
politik beberapa fraksi di DPR pun mulai berubah. Awalnya, Fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Fraksi
Partai Amanat Nasional (PAN), dan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra) mendorong untuk menghilangkan ambang batas pencalonan presiden dan
wakil presiden.
Artinya,
dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 yang akan diselenggarakan serentak untuk
memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota, semua partai politik peserta pemilu dapat mengajukan
pasangan calon presiden.
Namun,
sikap politik Fraksi PKB dan Hanura mulai bergeser. Fraksi PKB mengusulkan
ambang batas pencalonan presiden dengan angka 25 persen kursi atau 25 persen
suara sah pemilu sebelumnya (Pemilu 2014). Sementara Fraksi Hanura
mengusulkan angka 40 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah pemilu
nasional (Kompas, 30/1).
Konsekuensi
Penyelenggaraan
pemilu serentak memberikan konsekuensi untuk mekanisme pencalonan presiden
dan wakil presiden. Konsekuensi utama adalah ambang batas kursi atau suara
yang jadi prasyarat bagi partai politik untuk mengajukan pasangan calon
presiden dan wakil tidak bisa diterapkan lagi. Argumentasi yang paling
sederhana adalah ketika pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan
serentak, tidak ada lagi basis kursi DPR atau suara sah pemilu legislatif
yang menjadi dasar atau batasan untuk partai politik atau gabungan partai
politik yang hendak mencalonkan pasangan calon presiden.
Di
samping itu, Pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUD NRI) 1945 menyebutkan, ”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkanoleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Jika merujuk Pemilu 2004, Pemilu
2009, dan terakhir Pemilu 2014, pelaksanaan pemilihan presiden dilaksanakan
setelah pelaksanaan pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota).
Perbedaan
waktu pelaksanaan tersebut berangkat dari pemaknaan frasa ”sebelum
pelaksanaan pemilihan umum” di dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 oleh para
pembentuk undang-undang. Namun, pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
14/PUU-XI/2013, makna frasa ”sebelum pelaksanaan pemilihan umum” menjadi
sebelum pelaksanaan pemilu serentak.
Pemilu
serentak yang dimaksud di sini adalah jenis pemilu yang disebutkan di dalam
Pasal 22E Ayat (2) UUD NRI 1945, yakni ”Pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden
dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Artinya,
semua partai politik yang sudah lolos menjadi peserta Pemilu 2019 dapat
mengajukan pasangan calon presiden. Hal ini sesuai dengan pemaknaan pemilu
serentak sebagaimana tafsir sistematis konstitusi, yang kemudian diperkuat
dengan putusan MK.
Jika
hendak dimaknai lebih jauh, penyaringan bagi partai politik yang hendak
mengajukan pasangan calon presiden sudah dilakukan ketika verifikasi partai
politik calon peserta pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain sebagai
konsekuensi pemilu serentak, verifikasi partai politik calon peserta pemilu
semakin menegaskan bahwa ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden
tidak bisa diatur lagi.
Keadilan pemilu
Namun,
keinginan beberapa partai politik dan pemerintah untuk ”mengambil” ambang
batas pencalonan presiden dan wakil presiden dari hasil Pemilu 2014 tidak
dapat dibenarkan. Ada dua alasan utama mengapa demikian. Pertama, hasil
Pemilu 2014 adalah hasil dari serangkaian proses yang sangat panjang. Mulai
dari pendaftaran peserta pemilu, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan dan
penghitungan suara, perselisihan hasil suara di MK, sampai kemudian menjadi
hasil akhir Pemilu 2014.
Menjadi
tidak relevan jika hasil Pemilu 2014 ”tiba-tiba” dijadikan rujukan untuk
menjadi ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 2019. Di samping
itu, hasil Pemilu 2014 didapat dari total pemilih dan kondisi sosial politik
yang berbeda dengan Pemilu 2019. Dengan demikian, hasil Pemilu 2014 tidak
bisa dijadikan dasar persyaratan pelaksanaan Pemilu 2019, khususnya
persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden.
Kedua,
jika ambang batas pencalonan presiden diambil dari hasil Pemilu 2014, partai
politik baru yang belum menjadi peserta Pemilu 2014 otomatis kehilangan hak
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ini tentu tidak sesuai
dengan prinsip keadilan pemilu (electoral justice), di mana setiap peserta
pemilu punya hak pencalonan (candidacy right) yang sama.
Karena
itu, para pembentuk undang-undang perlu konsisten dengan makna dan hakikat
pelaksanaan pemilu serentak. Pedomannya adalah UUD 1945 dan putusan Mahkamah
Konstitusi yang mengatur perihal penyelenggaraan pemilu serentak.
Meskipun
terdapat putusan MK yang menyatakan ambang batas pencalonan presiden itu
adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy), para pembentuk
undang-undang tentu tidak bisa membaca putusan tersebut dari satu sudut
pandang saja. Konsekuensi logis dari penyelenggaraan pemilu serentak yang
membuat ambang batas pencalonan presiden tidak bisa diterapkan lagi adalah
hal utama yang mesti diperhatikan agar seluruh norma yang diatur di dalam RUU
Penyelenggaraan Pemilu menjadi norma yang konstitusional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar