Sistem
Terbuka atau Tertutup
Janedjri M Gaffar ; Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum,
Universitas Diponegoro, Semarang
|
KORAN
SINDO, 09
Februari 2017
Pembahasan
RUU Penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan DPR dan pemerintah memasuki tahapan
krusial karena masih adanya beberapa isu penting yang belum dapat disepakati
serta semakin sempitnya waktu yang tersedia.
Satu
dari beberapa isu penting tersebut adalah soal penentuan sistem proporsional
yang akan dianut, apakah daftar terbuka atau tertutup. Secara teknis
kepemiluan, pilihan daftar terbuka atau tertutup setidaknya akan memengaruhi
dua hal. Pertama, tata cara pemberian suara oleh pemilih. Jika menggunakan
daftar terbuka maka pemilih dapat memberikan suara untuk nama calon dari
daftar yang dibuat oleh partai politik.
Jika
tertutup, pemilih hanya memberikan suara untuk partai politik peserta pemilu
saja. Kedua, tata cara penentuan calon terpilih. Jika menggunakan daftar
terbuka, penentuan calon terpilih didasarkan pada suara yang diperoleh calon.
Jika menggunakan daftar tertutup, penentuan calon terpilih didasarkan pada
nomor urut daftar calon yang disusun oleh partai politik peserta Pemilu.
Putusan MK
Salah
satu putusan MK yang sering dijadikan sebagai rujukan terkait dengan
penentuan sistem daftar yang akan dianut adalah Putusan Nomor 22-24/PUUVI/
2008 mengenai pengujian UU Pemilu. Putusan itu sering secara keliru dimaknai
bahwa yang sesuai dengan konstitusi adalah sistem proporsional daftar
terbuka.
Padahal,
putusan tersebut sesungguhnya adalah tentang penentuan calon terpilih, bukan
menilai konstitusionalitas sistem proporsional terbuka atau tertutup. Putusan
tersebut justru menyatakan bahwa pilihan sistem pemilu merupakan kebijakan
hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang. Artinya, pembentuk
undangundang memiliki kewenangan untuk menentukan apakah akan menggunakan
sistem proporsional atau sistem distrik.
Jikapun
memutuskan sistem proporsional, pembentuk undang-undang juga memiliki
kewenangan menentukan apakah akan menggunakan sistem daftar tertutup atau
terbuka. Namun saat sudah disepakati untuk menggunakan sistem daftar terbuka,
seperti yang dianut oleh UU Nomor 8 Tahun 2008, penentuan calon terpilih
harus menggunakan suara terbanyak dari calon yang telah disusun.
Hal
ini karena sistem tersebut telah memberikan kebebasan kepada pemilih untuk
menentukan calon legislatif yang dipilih yang membawa konsekuensi akan lebih
mudah untuk menentukan calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara atau
dukungan rakyat paling banyak. Dengan adanya kesempatan pemilih untuk memilih
calon, pilihan itu harus dihargai dalam bentuk penentuan calon terpilih
berdasarkanperolehansuaraterbanyak.
Memberlakukan
ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut
berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan
mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah
suara terbanyak. Hal ini tentu akan berbeda jika pembentuk undangundang
memilih sistem daftar tertutup. Penentuan calon terpilih tentu tidak dapat
didasarkan pada suara terbanyak karena pemilih tidak dapat memberikan suara
kepada calon.
Memilih Sistem
Pembentuk
undang-undang memiliki kebebasan untuk memilih apakah akan menggunakan sistem
daftar terbuka atau tertutup, atau bahkan merumuskan formulasi gabungan
antara keduanya. Dalam merumuskan pilihan tersebut ada dua hal yang perlu
diperhatikan, yaitu kondisi yang memengaruhi pilihan dan dampak dari pilihan.
Kondisi
yang memengaruhi pilihan sistem daftar didasarkan pada perbedaan pokok kedua
sistem daftar itu, yaitu adanya hak pemilih untuk memberikan suara kepada
calon dari daftar yang disusun oleh partai politik peserta pemilu. Hal ini
akan membawa konsekuensi kerumitan teknis kepemiluan mulai format surat suara
sampai dengan penghitungan suara partai dan calon serta penentuan calon
terpilih.
Kerumitan
ini tentu bukan hanya beban penyelenggara pemilu, melainkan juga pemilih.
Sistem terbuka membutuhkan tingkat pendidikan dan kesadaran politik pemilih
yang lebih tinggi, tidak saja untuk menggunakan hak pilihnya dengan teknis
yang rumit tetapi juga secara kualitatif untuk menilai dan menentukan pilihannya
terhadap calon.
Jika
tidak didukung oleh kesadaran politik pemilih, sistem daftar terbuka
berpotensi terdistorsi oleh kendala teknis, kecurangan, dan politik uang.
Sebaliknya, sistem daftar tertutup memang lebih sederhana, baik dari sisi
teknis kepemiluan maupun dari sisi pertimbangan pemilih. Namun, sistem ini
cenderung akan menguatkan politik aliran yang melemahkan fungsi partai
politik sebagai instrumen pemersatu.
Pilihan
sistem daftar terbuka atau tertutup juga harus memperhatikan dampak dari pilihan
itu, terutama terkait dengan hubungan antara pemilih dengan wakil rakyat dan
terkait dengan perkembangan organisasi partai politik sebagai salah satu
pilar demokrasi.
Dalam
sistem daftar tertutup terdapat dua hubungan politik yang terpisah, yaitu antara
calon dengan partai politik karena partai politiklah yang menentukan siapa
calon dan nomor urut yang menentukan peluang sebagai calon jadi, dan hubungan
antara pemilih dan partai politik yang dipilih.
Pemilih
tidak memiliki hubungan politik secara langsung dengan anggota DPR. Sistem
daftar tertutup berimplikasi pada terbentuknya partai politik yang kuat.
Organisasi partai politik lebih ketat dengan disiplin atau ketun-dukan
terhadap kebijakan par-tai lebih tinggi. Partai politik dapat menentukan calon
yang berpengalaman atau berkualitas sebagai calon jadi.
Sebaliknya,
jika tidak memiliki sistem yang mapan dan demokratis, partai politik juga
dapat membuat calon yang tidak berkualitas tiba-tiba menjadi calon jadi. Pada
kondisi ini, sistem daftar tertutup akan mendorong partai politik ke arah
organisasi yang oligarkis. Dalam sistem daftar terbuka, pemilih memiliki
hubungan politik yang lebih kuat dengan anggota DPR karena penentuan calon
terpilih berdasarkan banyaknya suara yang diperoleh.
Partai
politik tetap berperan namun terbatas menjadikan sebagai calon, sedangkan
keterpilihan ditentukan oleh suara pemilih. Namun, sistem ini cenderung
membuat organisasi partai politik menjadi longgar. Partai politik yang
berkepentingan dengan perolehan kursi akan cenderung mengakomodasi calon yang
memiliki elektabilitas tinggi, baik karena kepribadian maupun modal.
Calon,
apalagi sudah terpilih, memiliki posisi tawar terhadap partai politik
sehingga dapat saja kebijakan partai tidak dijalankan. Dalam hubungan ini,
banyak dikeluhkan terjadinya pragmatisme politik terutama politik uang.
Kesatuan Sistem
Dalam
pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu telah muncul wacana formulasi untuk
menggabungkan antara sistem daftar terbuka dan tertutup. Hal itu dapat
dilakukan, namun yang lebih penting lagi adalah selalu menempatkan pilihan
sistem daftar sebagai satu kesatuan sistem pemilu.
Artinya,
pilihan itu akan memengaruhi komponen sistem Pemilu yang lain dan harus
diantisipasi. Pilihan sistem daftar terbuka atau tertutup setidaknya
berpengaruh terhadap hubungan antara pemilih dan wakil, dan terhadap
organisasi partai politik. Hal inilah yang perlu dipertimbangkan apa pun
sistemyangdipilih.
Jikamemilih
sistem daftar tertutup perlu diantisipasi kecenderungan tumbuhnya partai
politik yang oligarkis dan semakin jauhnya hubungan wakil rakyat dengan
pemilih. Undang-Undang Partai Politik harus menjamin partai politik semakin
demokratis dan memiliki sistem yang matang sehingga tidak menjadi partai
politik yang oligarkis dan berpotensi menjadi sarang korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
Untuk
mengantisipasi semakin jauhnya hubungan wakil rakyat dan pemilih dapat
dilakukan dengan memperkecil daerah pemilihan walaupun tetap berwakil banyak.
Jika memilih sistem daftar terbuka, perlu dilakukan pengetatan aturan
internal partai politik untuk meningkatkan disiplin partai. Aturan internal
ini juga meliputi mekanisme dan kriteria untuk ditetapkan sebagai calon sehingga
tidak setiap orang yang punya bekal ketenaran dan modal uang dapat
dicalonkan.
Dampak
politik uang dari sistem daftar terbuka perlu diantisipasi dengan pengaturan
penyelenggaraan pemilu yang lebih transparan, pengaturan tindak pidana
politik uang yang lebih jelas, serta penegakan hukum yang lebih cepat dan
pasti. Dana kampanye harus transparan bukan hanya bagi partai politik,
melainkan juga bagi setiap calon. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar