Menjaga
Momentum Konsolidasi Umat
Syamsul Arifin ; Wakil Rektor I dan Guru Besar Universitas
Muhammadiyah Malang
|
KORAN
SINDO, 09
Februari 2017
Mundur
sedikit ke belakang, beberapa bulan silam, serangkaian gerakan masif umat
Islam bertajuk Aksi Bela Islam (ABI) hingga episode atau jilid III (14
Oktober 2016, 4November 2016, dan 2 Desember 2016) memberikan kesempatan
kepada umat Islam untuk melakukan konsolidasi.
Aksi
seperti ini belum pernah ada presedennya, terhitung sejak Indonesia memasuki
fase reformasi. Konsolidasi dalam arti memperkukuh ikatan kesatuan entitas
sebagai kelompok mayoritas penting diupayakan. Kendati dari arah yang lain,
muncul pula gerakan yang lumayan masif dengan menggunakan isu kebinekaan,
seperti ingin menginsinuasi aksi yang berjilid-jilid itu, berpotensi membelah
masyarakat dan bangsa dalam berbagai ideologi yang potensial menggerus ikatan
kebangsaan.
Munculnya
gerakan dari arah sebaliknya tersebut tidak terelakkan jika mempertimbangkan
peristiwa yang melatarbelakangi ABI, yakni reaksi atas pernyataan Gubernur
DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam kunjungan kerjanya ke
Kepulauan Seribu yang dianggap menistakan agama.
ABI
tentu sangat berpotensi menggerus elektabilitas Ahok sebagai kandidat
petahana dalam Pilkada Jakarta yang diusung oleh parpol besar, seperti PDIP,
Partai Golkar, Nasdem, dan Hanura. Sulit dimungkiri adanya intervensi
kekuatan politik tertentu terkait dengan kemunculan ”Parade Kebinekaan 412”,
selang dua hari setelah ABI Jilid III yang fenomenal itu dan populer dengan
sebutan Aksi 212.
Jadi,
baik pada aksi yang muncul secara bergantian serta dalam rentang waktu yang
berhimpitan itu maupun aksi-aksi berikutnya yang terkadang muncul secara
sporadis, tidak saja masyarakat pada umumnya yang tampak terbelah, juga umat
Islam sendiri. Mengapa? Jawaban yang paling mudah adalah dengan menggunakan
konsep sosiologis yang disebut dengan crosscutting
affiliations.
Konsep
ini bisa memberikan pemahaman tentang kemungkinan kompleksitas ikatan seseorang
yang tidak hanya pada satu kelompok dan ideologi, tetapi juga dengan yang
lain. Jika konsep ini dibawa ke dalam konteks umat Islam, bukan hal yang
mengherankan jika di satu sisi afiliasi kepada Islam sebagai agama begitu
kuat, di sisi lain, afiliasi kepada organisasi atau partai politik tertentu
juga tidak kalah kuatnya, meskipun organisasi dan partai politik tersebut
terlalu sulit dikaitkan dengan Islam.
Pada
kasus yang lebih mutakhir, lagi-lagi Ahok menjadi pemantik kegaduhan seperti
yang dipertontonkan dalam persidangan kedelapan kasus penodaan agama
(31/1/2017), yang mengancam memproses secara hukum KH Maruf Amin, momentum
konsolidasi kembali menyeruak. Pasca-persidangan kedelapan itu, pembelaan
terhadap KH Maruf Amin diperlihatkan oleh umat Islam. Namun, perlu juga
dicermati pembelaan terhadap Ahok yang juga berasal dari sebagian elite
muslim.
Momentum Kebangkitan dan
Umat yang Rentan
Namun,
terlepas dari fenomena afiliasi ganda itu, lebih jauh, ABI yang menggiring
ratusanribubahkanjutaanumat Islam, dan peristiwa berikutnya yang juga
memantik sentimen umat Islam, dikatakan oleh sebagianpihaksebagaimomentum
kebangkitan Islam. Pendapat tersebut tidak ada yang patut untuk disalahkan.
Sebab,
tak ada yang menyangka sebelumnya, massa aksi umat Islam tersebut berdatangan
dari seluruh penjuru daerah di Indonesia. Paling tidak, aksi ini
membelalakkan mata kita semua bahwa suara umat Islam betapa pun tetaplah
memiliki resonansi dan terlalu berisiko jika diabaikan. Namun, hendaknya kita
tidak terlena dengan keberhasilan ABI tersebut. Pasalnya, ada sejumlah
pertanyaan kritis yang penting untuk dikemukakan.
Pertama,
apakah jumlah muslim yang mayoritas itu cukup berkualitas? Kedua, adakah
pengaruh signifikan bagi soliditas umat pasca- ABI itu, selain daripada
dipaksakannya simbol agama yang muncul di ruang-ruang publik serta penokohan
”pendatang baru” yanginginberdiripalingdepandi panggung umat Islam. Meski
akan ada banyak pihak yang menentang hal ini, dua pertanyaan tersebut
sangatlah penting dalam rangka membuka kesadaran kritis umat.
Tujuannya
agar umat tidak cukup berpuas pada aksi masif sesaat, tanpa disertai
langkahlangkah strategis seperti melakukan konsolidasi secara terus-menerus.
Tahapan itu adalah prakondisi menuju apa yang dibayangkan sebagai kebangkitan
atau revivalisme yang autentik.
Mengabaikan
tindak lanjut strategis itu, aksi masif sesaat kendati sempat mengundang
decak kagum yang berlanjut pada rasa bangga akan mudah diusik oleh isu dan
arus wacana semisal isu atau wacana antikebinekaan. Dengan isu dan wacana
ini, aksi masif umat Islam ingin dikon-struksi— terutama oleh elite—sebagai
suatu hal yang pantas dikhawatirkan karena menjadi ancaman terhadap
kebinekaan.
Sejumlah
kejadian yang melibatkan umat Islam belakangan ini tampak ada pola yang ingin
memecah kekuatan muslim. Sesama umat Islam, baik antarindividu, ormas, maupun
hubungannya dengan agama lain, seolah dibentur-benturkan satu sama lain.
Energi umat Islam terkuras untuk saling hujat dan mempertahankan pendapat
masingmasing. Alhasil, perbincangan seputar keagamaan sekarang ini sarat
dengan kebencian (hate speech) dan permusuhan.
Meski
begitu, kondisi umat yang menggelisahkan ini tetap ada pelajaran positifnya.
Kejadian- kejadian yang mengemuka belakangan ini mengonfirmasi kesadaran kita
bahwa saat ini umat Islam mengalami sebuah momen, di mana kecintaan terhadap
agama tengah dijunjung tinggi, khususnya untuk merespons problemproblem
sosial, politik, dan kebangsaan.
Bangkitnya
semangat keagamaan ini bisa menjadi modal penting bagi soliditas umat Islam
ke depan. Menurut hemat penulis, langkah pertama yang bisa dilakukan untuk
memperkokoh kekuatan umat adalah dengan mengedukasi umat Islam agar tidak
rentan dengan berbagai isu, utamanya yang bergulir
denganbegitucepatseiringdengan terjadinya konvergensi sosial media.
Menghadapi
realitas yang begitu cepat dalam media sosial tersebut, sikap reaktif dan
emosional sering dipertontonkan sebagian umat Islam akhirakhir ini. Karena
umat Islam tidak dibekali dengan budaya kritis dan pemahaman literasi yang
komprehensif, maka mudah sekali terbawa arus informasi yang diputarbalikkan
kebenaran faktanya.
Padahal,
tidak semua informasi yang beredar sekarang ini baik untuk dikonsumsi oleh
otak kita. Perlu mengonfirmasinya berkali-kali agar pemahaman atas fakta
menjadi pengetahuan yang utuh dan benar adanya. Jika antarsesama umat tidak
lagi menaruh curiga satu sama lain, toleransi berjalan dengan baik, dan
masing-masing orang berlomba untuk kebaikan, kebangkitan yang autentik bisa
dicapai, meskipun harus diakui realitas ke arah itu memang tidak mudah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar