Harga
Diri Jurnalistik
Amir Machmud NS ; Direktur Pemberitaan Suara Merdeka Network;
Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 09 Februari 2017
JURNALISTIK
jelas lebih memiliki harga diri di tengah gejolak kabar-kabar bohong (hoax)yang
menciptakan atmosfer kekacauan dan darurat informasi. Akan tetapi, jangan
mudah mengklaim kredibilitas pasti dimiliki oleh para pelaku jurnalistik.
Butuh banyak persyaratan untuk meraih predikat profesional, yang tercakup
dalam pemahaman kaffah: cakap teknis dan arif etis. Profesionalitas
mensyaratkan kompetensi bagi para jurnalis untuk merasa memiliki harga diri.
Getah hoax saat ini — yang juga disinggungkan ke dunia media — patut
mendorong dunia kewartawanan bermusahabah tentang seberapa besar kita butuh
menggerakkan kekuatan profetik.
Sekadar
kegundahan media cetak melihat migrasi kultur membaca ke media digital dengan
perilaku-perilaku baru dalam bermedia, tentu tak akan menyelesaikan
persoalan. Bukankah fenomena kabar bohong, perilaku berjurnalitik, dan
penghayatan beretika merupakan persoalan nilai-nilai?
Dan,
pusaran masalah ini akan memuara pada sejauh mana kompetensi dijadikan modal
utama mengarungi profesi ini serta menjawab bias-bias yang muncul. Setiap
tahun Hari Pers Nasional (HPN) diperingati, kali ini digelar di Kota Ambon.
Tahun lalu, dalam puncak acara di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Presiden Joko
Widodo menyentil tentang kinerja media — khususnya online — yang banyak
berinsinuasi dalam menyajikan berita.
Presiden
bahkan sampai memaparkan contoh-contoh teknis untuk menggambarkan betapa
terjadi sajian pemberitaan yang cenderung makin mengentengkan disiplin
verifisikasi dan bertendensi dalam pembingkaian sudut pandang. Sentilan itu
bermuara pada perilaku bermedia, yang bersimpulan pada penghayatan
nilai-nilai. Kegelisahan tentang masalah ini sebenarnya bukan baru sekarang
ini mengemuka. Persoalan etika jurnalistik akan menjadi bahasan pada tiap
waktu dengan konteks kepentingan dan persambungan zaman masing-masing.
UKW dan Barcode Media
Dari
kecenderungan yang sekarang berlangsung, apakah ikhtiar-ikhtiar “sertifikasi
profesi” bakal menjadi jawaban efektif untuk membangun dan menanamkan
nilai-nilai perilaku jurnalistik? Sertifikasi, yang dalam praksis
keorganisasian profesi jurnalistik diatur oleh Dewan Pers melalui Uji
Kompetensi Wartawan (UKW) dan barcode untuk media yang sudah diverifikasi,
tentu menjadi salah satu jalan, walaupun bukan satu-satunya. Namun inilah
setidak-tidaknya alat ukur untuk membudayakan perilaku berbasis kompetensi.
Ruh utama tentulah bagaimana kita menanamkan sikap dalam tujuan kewartawanan.
UKW sudah dilangsungkan sejak lima tahun lalu, sedangkan barcode media mulai
diterapkan pada 9 Februari ini. Ujung dari “sertifikasi” adalah kepentingan
publik. Jangan sampai masyarakat dirugikan oleh pemberitaan pers. Maka media
butuh wartawan yang kompeten, yakni terampil dalam skill dan cakap dalam
mengeksplorasi hati nurani. Adapun dari sisi media, barcode menjadi petunjuk
bagi masyarakat untuk dapat “memindai” mana media yang dapat
dipertanggungjawabkan pemberitaannya, dan mana yang terposisikan sebagai
abal-abal.
Kalau
kembali ke filosofi dasar bahwa tujuan jurnalisme adalah menyajikan kebenaran
dan menggali rasa keadilan, sejatinya UKW dan barcode media hanya melengkapi
tanggung jawab yang (seharusnya) melekat otomatis dalam profesi kewartawanan.
Namun bias akan selalu ada dalam pekerjaan apa pun. Justru tanggung jawab
moral keprofesian membutuhkan pengaturan tentang segi-segi perilaku yang
menyangkut kepatutan. Maka, Kode Etik Kewartawanan yang melekat dalam profesi
jurnalistik hakikatnya lebih merupakan payung pelindung bagi masyarakat.
Idealitanya, menjadi wartawan dan menyelenggarakan perusahaan media bukan
hanya untuk kepentingan wartawan dan medianya, melainkan untuk kemaslahatan
publik.
Harga Diri
Harga
diri jurnalistik melekat pada tanggung jawab sosial wartawan dan medianya
untuk menyajikan kebenaran dan mengeksplorasi rasa keadilan. Marshall McLuhan
(1968) juga menyebut media sebagai pesan. Moralitas ini paralel dengan
kalimat bijak Konghucu (500 SM) bahwa apabila bahasa tidak tepat, maka yang
dikatakan bukanlah yang dimaksud. Apabila yang dikatakan bukan yang dimaksud,
maka yang mestinya dikerjakan tidak dikerjakan. Jika terus-menerus terjadi,
moral dan seni menjadi mundur. Apabila dua hal itu mundur, keadilan pun kabur
dan rakyat menjadi bingung. Simbol verbal dalam bermedia adalah menyampaikan
pesan melalui informasi. Di sini melekat tanggung jawab besar untuk menjaga
kebenaran tentang apa yang akan disampaikan.
Penyampaian
informasi yang diiktikadkan untuk memalingkan orang dari kebenaran (hoax)
tentu tidak dilambari nilai-nilai. Fenomena kebohongan yang diperkuat oleh
ujaran-ujaran kebencian juga tidak bisa dimaknai sebagai gambaran kemerdekaan
berpendapat seperti yang diperjuangkan oleh pers sebagai representasi publik
untuk mengaktualisasikan hak asasi manusia. Bekal kompetensi sebagai
“sertifikasi tanggung jawab” akan menjauhkan wartawan dan media dari sikap
serampangan dalam menyampaikan informasi. Verifikasi, penghayatan nilai-nilai
profesi, dan tanggung jawab menjaga kebenaranlah yang akan menguji
kredibilitas dan harga diri jurnalistik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar