Sikap
dan Ekspresi Politik Kelas Menengah
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KORAN
SINDO, 06
Februari 2017
Saat
ini sikap dan perilaku politik kelas menengah Indonesia sedang diuji
kematangannya yakni apakah masih primordial, rasional, atau delusional.
Tiga
ekspresi politik itu tercermin pasca-Pemilu 2014 yang secara demografis
sosial telah menciptakan masyarakat terbelah (divided society). Konteks keterbelahan masyarakat sebenarnya
didasari pada dikotomi karakter dan perilaku dua kandidat presiden sebelumnya
sehingga masyarakat berupaya mengidentifikasi dengan dua figur tersebut.
Meskipun Pemilu 2014 telah usai dan dua kandidat telah bersatu kembali,
ternyata fragmentasi itu masih menancap kuat di kalangan masyarakat terutama
kelas menengah dalam menunjukkan sikap politiknya.
Fragmentasi
politik bersumber pada tidak terakomodasi kepentingan dan minat salah satu
massa pendukung sebelumnya dalam ranah politik formal sehingga berupaya
berebut pengaruh di ranah politik informal. Salah satu bentuk aktualisasi
dari berebut pengaruh adalah semakin derasnya berita palsu (hoax), aksi saling fitnah (hate speech), dan aksi saling (trolling) yang menjadi sumber
utamanya.
Meski
demikian, ada tiga ekspresi sebenarnya yang merupakan cerminan dari kekalahan
politik dalam ranah formal yang kemudian diteruskan dalam ranah informal yang
tujuannya membuat massa banyak terutama kalangan kelas menengah untuk secara
perlahan medelegitimasi pemerintahan. Maka, konteks ”kebenaran” itulah yang
menjadi sumber penting untuk pemantik agitasi dan afirmasi kelas menengah
yang diperebutkan.
Ada
tiga ekspresi politik kelas menengah Indonesia itu adalah gejala massa
politik pascakebenaran (post-truth
politics) sekarang ini yang mendasarkan diri pada masalah keyakinan
terhadap isu daripada pengetahuan terhadap isu. Keyes (2004) menyebutkan
bahwa dimensi antara fiksi/nonfiksi, benar/ bohong, juga jujur/bohong menjadi
kabur dalam konteks politik kekinian. Politik pascakebenaran ditandai dengan
ada budaya politik menyesatkan melalui falsifikasi dan fabrikasi data
faktual, kemudian menjadi sumber keyakinan publik yang mengalahkan
pengetahuan hakiki.
Fakta
adalah ironi dan fakta adalah satir itulah yang menjadi ajang kegaduhan
politik hari ini yang anehnya itu bisa menggiring publik beraksi dalam massa
politik jalanan yang solid dan agitatif. Masalah identitas primordial
berbasis SARA memang masih menjadi isu politik laten, namun bisa manifes
bergantung momentumnya untuk bangkit. Hal itu sebenarnya bisa dilawan dengan
ada praktik literasi berbasis verifikasi dan tringulasi yang menuntun kita
perlu memperimbangkan ada pandangan kedua (secondary opinion) sebagai pembanding.
Dengan
kata lain, semakin substantif pemahaman seseorang dalam menyikapi
permasalahan akan semakin rasional pula dalam memberikan penilaian masalah.
Namun, apabila semakin degeneratif pemahaman individu dalam menyikapi
permasalahan, semakin emosional pula dalam menyikapi permasalahan. Hukum
literasi itu pula yang kemudian penting untuk dilihat dan diterapkan dalam
mengatasi fenomena politik berupa berita palsu, fitnah, aksi saling
hujat-menghujat, maupun juga perang komentar negatif di dunia maya.
Penguatan
praktik internet negatif tersebut bersumber pada minimnya pemahaman literasi
publik hari ini akan makna definitif toleransi dan diskusi di tengah
kontestasi hidup mencari materi semakin meninggi. Pada akhirnya muncullah
sentimensentimen berbasis politik identitas privat yang menjadi kompor
pemantik ”segregasi” publik hari ini yang esensi dasarnya sebenarnya adalah
masalah pemenuhan kepentingan ekonomi dan politik saja yang tidak terangkul.
Hal itulah yang kemudian berdampak pada kemampuan literasi digital kelas
menengah Indonesia yang sebagian besar dipasok dari media sosial.
Berdasarkan
pada survei APJII 2016 menyebutkan bahwa jumlah netizen kelas menengah
Indonesia kini berjumlah 132,7 juta orang dari 260 juta jiwa populasi
penduduk Indonesia yakni 75,8% (umur 25-34 tahun), 75,5% (umur 10-24 tahun),
dan 54,7% (35-44 tahun). Secara garis besar, akses internet ditujukan
mengakses media sosial (97,4%) dengan tujuan memperbarui informasi sebesar
31,3 juta netizen, terkait pekerjaan sebesar 27,6 juta netizen, dan 17,9 juta
netizen hanya mencari hiburan.
Kendali
media sosial yang cukup besar terhadap netizen kelasmenengah telah
menimbulkan candu dan sugesti secara simultan bahwa akses dan koneksi itu
adalah kebutuhan primer kekinian. Besarnya proporsi mencari informasi di
media sosial bagi netizen kelas menengah itulah yang menjadi penyebab penting
rendahnya literasi konvensional. Sejatinya praktik literasi digital yang
utamanya dilakukan di media sosial sebenarnya adalah alat bantu bagi publik
untuk verifikasi informasi yang didapat dari sumber informasi berbasis media
konvensional sehingga media sosial tidak berfungsi sebagai yang menentukan
sikap dan pandangan individu kolektif secara garis besar.
Literasi
digital bagi netizen bukan masalah posting, sharing, maupun like/dislike,
namun juga itu menyangkut bagaimana kepemilikan informasi itu menjadi ajang
diskusi yang sehat dengan berbekal bantuan media sosial. Alih-alih menjadi
alat bantu, kini literasi digital justru menjadi alat penentu arah pandangan
publik dalam menyikapi isu dan permasalahan. Hal tersebut tentu menjadi
ganjil karena media sosial itu alat bantu dan bukan alat penentu komunikasi
dan media sosial itu hanya menjalankan fungsi komplementer.
Memang
harus diakui pula bahwa pemahaman politik netizen kelas menengah kita hari
ini lebih banyak didominasi literasi berbasis audio dan visual daripada
skriptual. Namun, itu juga perlu menjadi tantangan pula bagi lembaga
pendidikan dan lembaga riset untuk bisa pula menyajikan dan memublikasikan
hasil riset mereka mengikuti tren yang berkembang tanpa harus meninggalkan
tradisi publikasi berbasis skriptual. Pada era politik pascakebenaran
didominasi sikap keyakinan publik berbasis falsifikasi data yang sekarang ini
terjadi tentu perlu dilawan dengan produksi pengetahuan bagi publik berbasis
objektifikasi data.
Masyarakat
kelas menengah kita hari ini adalah masyarakat berjejaring yang senantiasa
mencari dan menambah informasi baru. Adalah tugas bagi akademisi untuk
kemudian memproduksi pengetahuan tersebut menyelaraskan diri dengan keinginan
masyarakat hari ini. Jangan hanya nanti kemudian ikut tercebur dalam kubangan
informasi berbasis isu yang akhirnya menyesatkan publik pada umumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar