Saatnya
”Merakyatkan” ASEAN
Dino Patti Djalal ; Mantan Wakil Menteri Luar Negeri;
Pendiri Foreign Policy Community
of Indonesia (FPCI)
|
KOMPAS, 07 Februari 2017
Dalam
pernyataan awal tahunnya baru-baru ini, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi
menyebut tantangan terbesar ASEAN adalah menjaga persatuan dan sentralitas di
tengah berbagai gejolak internasional.
Saya
setuju seratus persen. Namun, dalam usianya yang sudah setengah abad, saya
merasa ada satu lagi tantangan yang lebih penting: bagaimana merakyatkan
ASEAN di bumi Indonesia.
Memang
sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mengenal istilah ASEAN, tahu
kepanjangannya, dan tahu negara-negara anggotanya. Sejarah ASEAN sudah
diajarkan di sekolah-sekolah. Sebagian besar masyarakat juga pernah mendengar
istilah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Namun, kalau ditanya, sejauh mana
rakyat mengenal ASEAN, atau bagaimana dampak riil ASEAN terhadap rakyat akar
rumput Indonesia, jawabannya akan berbeda.
Tak sentuh akar rumput
Lihat
saja dari segi ekspor. Walaupun Indonesia adalah ekonomi terbesar di ASEAN,
kita duduk dalam peringkat ke-4 sebagai eksportir ke pasar ASEAN, tertinggal
di belakang Singapura, Thailand, dan Malaysia. Di Indonesia, perkiraan kasar
saya, hanya 1 persen masyarakat yang mengetahui apa itu isi paket MEA.
Tingginya
angka ketidaktahuan terhadap MEA ini sebenarnya juga berlaku di negara-negara
ASEAN lainnya meski dalam gradasi yang berbeda. Silakan cek: masih banyak
anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin; di mana saya menjadi anggotanya),
Kadin Daerah ataupun Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) yang belum
begitu paham mengenai pasar ASEAN. Statistik dari Kementerian Perdagangan
juga menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil provinsi di Indonesia yang berdagang
secara substansial dengan ASEAN, antara lain DKI, Kalimantan Timur, Jawa
Timur, Riau, dan Sumatera Utara.
Saya
cukup kaget melihat beberapa provinsi yang terkenal unggul sebagai produsen
produk kerajinan tangan dan kreatif, seperti Yogyakarta dan Bali, masih
sedikit ekspornya ke ASEAN. Itu pun umumnya hanya ke Singapura. Dan, ada
sederetan provinsi yang sama sekali tidak mengekspor ke negara-negara ASEAN
tertentu. Di sini terlihat sekali relevansi ASEAN terhadap ekonomi rakyat
Indonesia masih relatif kecil.
Mengapa
ini terjadi? Jawabannya karena selama ini memang proses pembentukan dan
pembesaran ASEAN berlangsung dari pemerintah dan dari atas. ASEAN dibentuk
pada 1967 oleh lima negarawan, termasuk Adam Malik dari Indonesia. Setelah
itu, ASEAN terus berkembang jadi enam dan kemudian 10 negara, menggandeng
negara-negara besar sebagai mitra dialog, membentuk Kawasan Perdagangan Bebas
(AFTA), dan mendirikan Komunitas ASEAN (termasuk MEA) yang punya Piagam ASEAN
sendiri. ASEAN juga tak lagi hanya urusan Kementerian Luar Negeri, tapi
melibatkan banyak kementerian lain: pertahanan, ekonomi, perdagangan,
keuangan, pertanian, industri, dan lain-lain. Setiap tahunnya ada
ratusan—bahkan konon lebih dari seribu—pertemuan ASEAN di berbagai
bidang.Kita juga bangga melihat ASEAN menjadi salah satu organisasi regional
yang paling sukses di dunia
Dalam
proses yang memakan waktu lima dekade ini, ASEAN cenderung jadi elitis.
Perjanjian ASEAN yang dirancang birokrat yang piawai kadang tak nyambung
dengan konstituen di lapangan. Sering kali urusan ASEAN dikomunikasikan dalam
bahasa yang keren dan teknokratis, tapi susah dicerna akar rumput. Akibatnya,
ASEAN tampil di mata publik sebagai ”gawean” diplomat dan pejabat,
padahal—ironisnya—tema ASEAN di abad ke-21 adalah ”People Centered”. Bahkan,
di beberapa kalangan asosiasi industri nasional masih ada resistensi yang
vokal terhadap MEA karena dipandang merugikan Indonesia.Karena itulah, tahun
ini Foreign Policy Community of Indonesia menyelenggarakan sayembara nasional
yang mengundang generasi muda untuk menulis esai tentang bagaimana ASEAN
dapat lebih berkontribusi bagi kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia.
Minim sosialisasi
Yang
juga jadi masalah, selama ini sosialisasi pemerintah mengenai ASEAN, terutama
MEA, sangat pasif. Kemlu, misalnya, punya anggaran sosialisasi ASEAN beberapa
miliar rupiah, tapi—sejujurnya—selusin seminar skala kecil di beberapa kampus
tidak akan bisa membuka mata 240 juta rakyat terhadap potensi ASEAN. Saya
juga mengamati cukup banyak ASEAN Center yang dibentuk di berbagai kampus
Indonesia yang entah mengapa menjadi sepi.
Di
Jakarta, ada beberapa ”papan iklan”, reklame, kecil mengenai ASEAN. Namun,
ada yang ditulis dalam bahasa Inggris (yang tidak dimengerti akar rumput),
atau dalam bahasa Indonesia yang terlalu generik (”siap bersaing di MEA”)
ketimbang preskriptif (”segera dapatkan sertifikat profesional anda untuk
bekerja di pasar ASEAN”). Sampai saat ini tidak ada ”pusat layanan” mengenai
MEA, tidak ada gugus tugas promosi MEA, dan tidak jelas siapa juru penerang
MEA di pemerintah; apakah Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan,
BKPM, atau siapa.
Saya
mengusulkan agar pemerintah Jokowi dalam sisa waktu 2,5 tahun ke depan
merancang dan melaksanakan suatu program nasional yang masif dan ambisius
untuk merakyatkan ASEAN. Program sosialisasi ini perlu dirancang secara
kreatif, dengan materi yang baku, dan harus bersifat
antar-kementerian.Program ini harus didukung anggaran yang memadai agar kelak
minimal 10 persen rakyat Indonesia memahami dan memanfaatkan MEA, minimal 50
persen dari provinsi Indonesia berdagang aktif dengan ASEAN, ekspor Indonesia
ke ASEAN dapat berlipat ganda, dan Indonesia dapat unggul di ASEAN di
berbagai sektor: investasi, pariwisata, infrastruktur konektivitas, dan lain-lain.
Program
sosialisasi ini jangan dilihat sebagai beban anggaran, tapi sebagai tanggung
jawab serta peluang investasi dan pemberdayaan ekonomi rakyat ke depan. Akan
lebih baik jika strategi pembangunan yang dirancang Bappenas bisa lebih
menonjolkan strategi pemanfaatan ”ASEAN”.
Dalam
dua tahun terakhir, pemerintah Jokowi telah membuat keputusan penting untuk
bergabung dengan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Saya memandang ini suatu
langkah berani. Sayangnya, perjanjian TPP kini diambang ajal karena AS
belakangan mengundurkan diri. Yang ingin saya usulkan, sambil mencari pasar
bebas lain, mengapa Indonesia tidak habis-habisan menaklukkan pasar ASEAN
yang sudah rampung perjanjiannya, yang jelas ada di depan mata kita, dan
secara fisik bertetangga dengan kita sehingga lebih murah biaya logistiknya?
Kalau ekspor Indonesia ke pasar ASEAN bisa naik 100 persen, saya yakin
dampaknya pada pertumbuhan PDB nasional juga akan signifikan.
Di
usia yang setengah abad, kita patut bersyukur dan berterima kasih kepada ASEAN
yang telah berhasil mengubah peta geopolitik Asia Tenggara dan jadi payung
kerja sama yang memperkokoh stabilitas kawasan. Namun, kita juga harus jujur
mengakui kelemahannya: ASEAN masih belum merakyat, belum membekas kuat di
akar rumput, dan inilah pekerjaan rumah terpenting Pemerintah Indonesia—juga
pemerintah anggota ASEAN lainnya —untuk 50 tahun ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar