Mengkritisi
Wacana Sertifikasi Khatib
Iskan Qolba Lubis ; Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, FPKS
|
KORAN
SINDO, 06
Februari 2017
Kementerian
Agama berencana meluncurkan sebuah program khusus yang menyasar kalangan
khatib atau mubalig di masjid-masjid. Program yang bernama sertifikasi khatib
Jumat itu, menurut Menteri Agama Lukman Syaifudin, bertujuan mencegah
ketercerabutan jati diri keindonesiaan kalangan para penyuluh agama.
Menurutnya, para khatib dalam menyampaikan pesan dakwah perlu diberikan
wawasan untuk merespons fenomena intoleran di Indonesia. Gagasan mengenai
sertifikasi terhadap khatib yang dikemukakan oleh menteri agama itu memang
bukanlah gagasan baru.
Dalam
sejarahnya gagasan penerapan semacam sertifikasi kepada khatib itu pernah
diterapkan era Orde Baru. Era Orde Baru yang otoriter, ga-gasan sertifikasi
khatib diterapkan dengan berawal dari rasa kecurigaan negara terhadap
kalangan Islam. Seperti yang kita ketahui, dalam sejarahnya rezim Orde Baru
kerap bertindak represif terhadap kalangan Islam, apalagi yang tidak sehaluan
dengan pemerintah.
Era
Orde Baru bahkan pernah mengeluarkan jargon mengenai dua jenis bahaya laten
bagi persatuan dan kesatuan bangsa, yaitu ekstrem kiri (komunis) dan ekstrem
kanan (Islam). Islam sebagai salah satu bahaya yang ditakuti rezim saat itu
benar-benar mengalami keterpasungan aspirasi karena selalu dicurigai tidak
setia kepada dasar negara Pancasila. Sikap fobia pemerintah terhadap Islam
juga menyasar hingga ke dalam tempat ibadah umat Islam, yaitu masjid, melalui
penerapan izin khutbah, yang dahulu terkenal dengan sebutan SIM (surat izin
mubalig).
Dengan
kebijakan itu, para khatib tidak leluasa berkhutbah jika mereka tidak
memiliki SIM. Ironisnya, penerapan SIM itu akhirnya banyak digunakan untuk
memberangus para khatib yang memiliki pandangan kritis terhadap negara. Pada
masa Orde Baru banyak terjadi operasi penangkapan terhadap para khatib atau
mubalig yang kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah dengan alasan
menjadi aktor ekstrem kanan seperti AM Fatwa, Abdul Qadir Jailani, Tasrif
Tuasikal, HM Sanusi, HR Dharsono, Oesmany El Hamidy, Mawardi Noor, Tonie
Ardie, dan lain-lain.
Tindakan
pemerintah Orde Baru yang berupaya melakukan intervensi terhadap para khatib
dalam menyampaikan pesanpesan dakwah di tengah publik setidaknya sejalan
dengan apa yang ditesiskan oleh Pierre Bourdieu mengenai hegemoni simbolik di
dalam pemerintahan otoriter. Pemerintahan penganut sistem otoriter memang
berupaya melakukan penguasaan terhadap rakyatnya sendiri, bahkan dengan cara
yang sangat halus, bukan melalui senjata, melainkan melalui jalur penguasaan
kognisi, intelektualitas, doktrin-doktrin dan wacana yang sarat dengan
muatan-muatan simbolik, serta bisa menghilangkan daya kritis rakyat sehingga
yang terjadi adalah semakin melemah dan pasifnya masyarakat di hadapan rezim.
Di
sisi lain, rezim semakin kuat dan otoriter. Kemudian Era Reformasi hadir dengan
mengusung dalildalil keterbukaan dan kebebasan berpendapat. Sebagai antitesis
pengekangan partisipasi rakyat pada era Orde Baru, reformasi mampu
membangkitkan kembali semangat partisipatif dan terwujudnya kondisi
keberimbangan dan keberagaman informasi. Seluruh elemen publik dilibatkan dan
diberi kesempatan untuk menyuarakan aspirasi.
Tak
terkecuali di ranah dakwah keagamaan, kita melihat tidak ada lagi saluran
tunggal yang diproduksi oleh rezim. Namun, gagasan untuk menghidupkan
sertifikasi khatib pun coba dihidupkan kembali pada era reformasi ini,
berawal dari ada kecurigaan terhadap beberapa kalangan umat Islam sebagai
pelaku radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme.
Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2012, melalui ketuanya, Ansyad
Mbai, sempat mewacanakan upaya pencegahan radikalisme agama
khususnyaIslamdenganmeniru Singapura, yang telah melakukan semacam
sertifikasi terhadap para khatib dalam penyampaian materi dakwah. Namun,
karena mendapatkan penentangan keras dari kalangan umat Islam, wacana itu pun
hilang.
Sisi Negatif
Mungkin,
apabila yang diprogramkan oleh Kementerian Agama saat ini yaitu sertifikasi
dalam tataran peningkatan kualitas khatib dari sisi keilmuan seperti
penetapan standar minimal agar seseorang layak menjadi khatib, itu patut
mendapatkandukungan. Mengingat, di negeri kita sisi kualitas keilmuan dari
para khatib masih perlu dioptimalkan. Apalagi, sertifikasi kualitas khatib
itu pernah diwacanakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui pemberian
sertifikat bagi para dai, sebagai bagian untuk mempersiapkan 150.000 kader
ulama agar mampu memiliki strategi yang tepat menghadapi tantangan dinamika
dakwah terkini.
Kita
sadari bahwa khutbah tentu memiliki peran strategis dan penting mengingat
dampaknya akan memengaruhi cara pandang dan pengetahuan masyarakat luas.
Masyarakat membutuhkan pencerahan melalui khatib, baik melalui forum
diskusi-diskusi, tablig akbar, pengajian, bahkan salat Jumat, yang semua itu
memiliki benang merah, yaitu internalisasi nilainilai keagamaan yang
bermanfaat. Namun, masalahnya adalah ternyata tidak seluruh dai mampu
mencapai kualitas yang mumpunisebagaipendakwah.
Ironisnya,
yang banyak tampil di tengah masyarakat, terutama di televisi, justru daidai
yang masih kurang jelas keilmuannya. Selain itu, alangkah lebihproduktifnya
jikasertifikasi itu juga ditujukan dengan melakukan pemetaan terhadap
kepakaran para khatib. Sudah saatnya para mubalig itu dispesialisasikan
berdasarkan kepakarannya di berbagai bidang sehingga umat akan mampu mencari
khatib sesuai dengan kebutuhan tema. Hal itu patut diperhatikan karena banyak
anggapan semua khatib Jumat menyampaikan ceramah dengan tema yang seragam,
yaitu pesan keimanan dan ketakwaan saja, walaupun dua hal itu penting sebagai
pesan positif bagi umat beragama.
Jadi,
langkah untuk melakukan sertifikasi terkait kualitas dan pemetaan kepakaran
para khatib akan jauh lebih produktif ketimbang melakukan sertifikasi dari
sisi materi ceramah. Apalagi, program untuk melakukan sertifikasi terhadap
para khatib itu pada dasarnya langkah kontraproduktif, dan bisa menimbulkan
beberapa dampak negatif. Pertama, tidak sesuai dengan era demokrasi. Wacana
sertifikasi khatib itu sebenarnya sudah tidak sesuai dengan iklim demokrasi
yang telah kita pilih sebagai sistem politik terbaik ketimbang sistem
otoritarian.
Jika
program ini diterapkan pada era Orde baru, kita masih memahami karena di
dalam sistem yang otoriter negara memiliki kewenangan besar untuk mengontrol
siapa pun yang dianggap mengganggu stabilitas. Kedua, rawan dimanfaatkan
untuk memberangus suara oposisi. Bisa jadi ide ini rawan disalahgunakan rezim
yang berkuasa untuk memberangus suara-suara yang tidak sependapat dengan
rezim. Seperti yang terjadi di Mesir setelah berkuasa kembali rezim militer.
Di
bawah Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi, Mesir menerapkan semacam
sertifikasi terhadap para khatib dalam menyampaikan dakwah. Namun, kebijakan
itu akhirnya hanyalah alat penguasa untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan
oposisi. Ketiga, berpotensi menciptakan tafsiran keagamaan tunggal. Program
ini bisa jadi akan mengarah pada penciptaan standar-standar keagamaan tentang
mana yang baik dan mana yang buruk versi pemerintah. Selain itu, juga bisa
menciptakan standar mengenai mana yang layak disebut mubalig dan mana yang
disebut provokator.
Padahal,
sebutan atau gelar kiai, ustaz, buya, tuan guru, atau sebutan lain bagi ulama
adalah gelar yang disematkan masyarakat sebagai bentuk pengakuan dan
penghormatan kepada seseorang yang dinilai dan diakui keilmuan agamanya,
bukan gelar yang diberikan pemerintah. Keempat, program sertifikasi itu
terkesan diskriminatif. Sejauh bergulirnya gagasan ini, umat islam seakan
yang hanya dijadikan sasaran. Padahal, seharusnya perlakuan yang sama juga
perlu dilakukan untuk seluruh pemuka agama.
Kondisi
ini tidak baik bagi hubungan yang harmonis antara umat Islam dan negara.
Lebih bijaksana jika pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama menciptakan
suasana kondusif dan tidak memancing kegaduhan baru di tengahtengah umat,
apalagi dalam kondisi sosial dan politik kehidupan berbangsa yang kian
memanas saat ini. Kegaduhan akan semakin membuat bangsa ini semakin sulit
membangun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar