Si
Miskin Tertinggal
Ivanovich Agusta ; Sosiolog Pedesaan IPB, Bogor
|
KOMPAS, 08 Februari 2017
Kekuatan
pengeluaran pemerintah untuk mengarahkan ekonomi nasional belum terbantahkan.
Sayang, BPS (Kompas, 2/2) menginformasikan golongan atas mengantongi 233
persen dari peruntukannya, sementara golongan terbawah hanya meraih 43 persen
haknya.
Fakta
itu membutuhkan kebijakan pengurangan ketimpangan ekonomi dan kemiskinan yang
lebih efektif. Perubahan kebijakan ini sebaiknya didasarkan pada laju
ketimbang kondisi kesejahteraan masyarakat.
Selama
pemerintahan Presiden Joko Widodo (September 2014-2016), pendapatan
masyarakat meningkat 18 persen menjadi Rp 946.258 per orang per bulan.
Sementara indeks gini menurun dari 0,41 menjadi 0,39, tetapi kemiskinan tetap
11 persen. Rupanya sedang terjadi pengalihan manfaat pembangunan dari
golongan atas kepada golongan menengah.
BPS
mengikuti pembagian kelompok pengeluaran masyarakat menurut Bank Dunia, yaitu
20 persen golongan atas, 40 persen golongan menengah, dan 40 persen golongan
bawah. Sayang, hingga September 2016, golongan atas mendominasi 47 persen
pengeluaran rumah tangga. Artinya, dibandingkan dengan keberadaannya yang
hanya 20 persen, mereka telah mengambil surplus ekonomi hingga 233 persen.
Yang
paling merata pada golongan menengah. Dengan proporsi 36 persen pengeluaran
rumah tangga, ketidakmerataan di golongan ini hanya 9 persen.
Si
miskin paling merana, hanya mendapatkan alokasi 17 persen pengeluaran rumah
tangga. Artinya, selama ini mereka kehilangan 57 persen haknya atas manfaat
pembangunan.
Selama
pemerintahan Joko Widodo, proporsi pengeluaran golongan terbawah tidak
berubah. Padahal, laju inflasi cuma rata-rata 3 persen per tahun, artinya
tidak memengaruhi harga barang dan jasa. Berarti, program pembangunan memang
belum menyentuh mereka.
Motor
pemerataan pada penurunan pengeluaran rumah tangga golongan atas. Proporsi
anjloknya terbesar dibandingkan dengan golongan lain, 9 persen.
Sementara
peraih manfaat terbesar pembangunan ialah golongan menengah. Berbagai proyek
dan skema program meningkatkan proporsi pengeluaran mereka hingga 4 persen.
Data
sosial dan ekonomi disusun BPS menurut pengeluaran pangan dan selain pangan
rumah tangga. Data pengeluaran lebih cocok menjelaskan golongan miskin,
tetapi sering gagal meneropong lapisan kaya. Sebab, tabungan orang kaya luput
tercatat, padahal acap kali lebih tinggi daripada pengeluaran bulanan.
Peka si miskin
Pembangunan
saat ini sudah mengarah lebih inklusif, sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan
pendapatan per kapita yang diikuti penurunan ketimpangan. Namun, inklusivitas
pembangunan kurang efektif. Indikasinya, ketiadaan penurunan kemiskinan dan
laju pengurangan ketimpangan lambat.
Pembangunan
baru menetes kepada golongan menengah, tidak sampai ke golongan terbawah.
Berbagai program jaminan kesehatan, pendidikan, kredit kerakyatan, dan
proyek-proyek pembangunan baru menghidupi golongan menengah.
Percepatan
penurunan ketimpangan sebenarnya bisa dipacu dengan sengaja meningkatkan
porsi perusahaan menengah dan kecil dalam pengerjaan proyek infrastruktur.
Skema kredit usaha menengah dan kecil turut mendukung kapasitas finansial
golongan menengah. Mandat pelatihan sambil kerja yang berujung pada
sertifikasi 750.000 pekerja konstruksi meningkatkan kualitas hasil proyek
pembangunan secara berkelanjutan.
Berdasarkan
laju dua tahun terakhir, ruang pengeluaran golongan menengah yang
proporsional dapat teratasi 2021. Namun, jika strategi pembangunan semacam
ini berlanjut, justru tercipta pola ketimpangan baru antara lapisan menengah
dan bawah. Karena itu, kebijakan yang peka pada kebutuhan si miskin mutlak
dibutuhkan.
Saat
ini, hanya 4 persen dana program untuk peningkatan pendapatan golongan
miskin. Mayoritas 66 persen anggaran berbentuk bantuan rumah tangga miskin.
Padahal, seandainya dibagi rata untuk 28 juta orang miskin, dua tahun
terakhir ini dana Rp 256,9 triliun setara dengan pengeluaran Rp 377.679 per
kapita per bulan. Ini mencukupi untuk keluar dari garis kemiskinan Maret
2016, Rp 354.386. Sayang, asumsi tersebut gagal dilaksanakan karena bantuan
bersyarat asuransi, tetapi tidak sepenuhnya tepat sasaran.
Padahal,
yang dibutuhkan rumah tangga berpendapatan kurang dari Rp 400.000 per bulan
adalah pengendalian harga air minum, sayuran, makanan jadi, dan alat rumah
tangga.
Sebenarnya,
Survei Sosial Ekonomi Nasional sebagai basis data kemiskinan dan ketimpangan
mampu menginformasikan peringkat pengeluaran menurut golongan termiskin
hingga terkaya. Dengan responden yang sama, dapat pula diketahui penyebab
jatuh miskin atau keluar dari kemiskinan, sekaligus pemicu ketimpangan
ataupun pemerataan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar