Menakar
Potensi Sengketa Pilkada
Despan Heryansyah ; Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi
(PSHK) Fakultas Hukum UII
|
KOMPAS, 08 Februari 2017
Perhelatan
akbar demokrasi Indonesia akan digelar pada pertengahan Februari ini. Tujuh provinsi,
76 kabupaten, dan 18 kota (total 101 daerah) akan menentukan kepala daerah
masing-masing melalui pemilihan secara langsung.
Penyakit
klasik pemilu sudah tentu harus menjadi perhatian utama penyelenggara dan
pengawas pemilu. Bentuk kecurangan berupa politik uang dan penggelembungan
suara dalam kotak suara adalah penyakit lama yang seharusnya dapat
diantisipasi lebih awal oleh Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas
Pemilihan Umum. Sebab, keduanya akan menjadi tolok ukur indeks demokrasi di
Indonesia.
Di
luar itu, dua masalah besar utama pasca pemilihan yang juga harus
diantisipasi sejak awal. Dua masalah ini di luar yurisdiksi KPU dan Bawaslu,
tetapi tidak lepas dari kinerja kedua lembaga tersebut.
Pertama,
konflik horizontal, ikatan primordial dan hubungan darah yang masih begitu
kuat di daerah dengan semboyan ”loyalitas tanpa batas” menjadikan sentimen
masyarakat daerah begitu besar sehingga konflik antarkelompok kerap kali
tidak bisa dihindarkan. Kondisi ini diperparah pula dengan pendidikan politik
masyarakat daerah yang masih tergolong rendah.
Oleh
karena itu, seharusnya sosialisasi mekanisme pilkada yang dilakukan oleh KPU
tidak hanya sebatas bagaimana tahapan proses pelaksanaan pencoblosan, tetapi
juga bagaimana mewujudkan pilkada yang aman, kondusif, dan damai. Pada
tataran ini, peran setiap calon kepala daerah mutlak dibutuhkan untuk
menenangkan massa pendukungnya pasca pemilihan dan penghitungan suara.
Terbentuknya
jajaran pemerintah daerah yang sesuai dengan pilihan mayoritas masyarakat
daerah tidak berimbang jika ditukar dengan mengorbankan kelangsungan hidup
sebagian masyarakat daerah yang lain. Di luar itu semua, peran aparat
kepolisian adalah yang paling sentral dalam mengamankan proses pilkada hingga
selesai.
Kedua,
membeludaknya permohonan sengketa pilkada. ”Legawa” menerima kekalahan masih
menjadi budaya yang asing di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan untuk
mengubah hasil penghitungan suara, termasuk dengan mengajukan permohonan
sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ini dilakukan tidak hanya dalam
pilkada, tetapi juga dalam pemilu presiden dan pemilu legislatif.
Harus
diakui, mengajukan permohonan sengketa pilkada adalah hak konstitusional
warga negara yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Namun, jika pengajuan
permohonan ini dilakukan sebagai bentuk upaya coba-coba, padahal sudah jelas
dan nyata kalah tidaklah tepat, apalagi jika dilakukan dengan menghalalkan
berbagai macam cara—termasuk dengan menyuap untuk mengubah hasil
penghitungan—harus diantisipasi. Antisipasi atas masalah ini sepenuhnya
menjadi yurisdiksi MK untuk menilai apakah suatu permohonan layak diterima
ataukah tidak. Selain itu, jika semua daerah (101 daerah) mengajukan
permohonan sengketa pilkada, perlu juga diantisipasi apa yang harus dilakukan
oleh MK terkait dengan efektivitas dan efisiensi waktu.
Berkaca
pada dua hal di atas (besarnya potensi konflik di daerah dan membeludaknya
permohonan sengketa pilkada), maka sebaiknya lokasi lembaga penyelesaian
pilkada ke depan tidak didistribusikan ke daerah-daerah sebagaimana telah
diwacanakan sebelumnya. Sebab, hal itu akan semakin memicu potensi konflik
horizontal. Selain itu, juga akan mengganggu imparsialitas dan independensi
hakim dalam memutus perkara karena besarnya tekanan dari massa pendukung.
Lokasi
lembaga penyelesaian sengketa pilkada sebaiknya tetap di Jakarta. Selain
untuk menghindari potensi konflik, juga menjaga kemandirian hakim dalam
memutus sengketa agar jauh dari berbagai bentuk tekanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar