Korupsi
Oknum Hakim Konstitusi
Emerson Yuntho ; Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption
Watch
|
KOMPAS, 07 Februari 2017
Kamis
(26/1) adalah hari yang paling naas bagi Patrialis Akbar, hakim di Mahkamah
Konstitusi. Ketika semua hakim konstitusi seharusnya rapat kerja di Cisarua,
Bogor, Patrialis justru merapat ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka korupsi. Operasi tangkap tangan
yang dilakukan KPK membuat Patrialis tak berkutik. Dia disangka menerima suap
20.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 2,15 miliar
dari importir daging sapi. Suap itu terkait uji materi UU No 41/2014 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan yang sedang ditangani MK.
Patrialis
adalah hakim konstitusi yang kedua ditangkap KPK karena kasus korupsi.
Sebelumnya (2013), KPK menangkap hakim sekaligus ketua MK, Akil Mochtar,
karena menerima suap Rp 57,78 miliar dan 500.000 dollar AS. Suap itu terkait
pengurusan 15 sengketa pilkada. Akil dijerat berlapis dengan dua regulasi,
yaitu tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Pada akhirnya Mahkamah Agung
menyatakan Akil terbukti bersalah dan divonis penjara seumur hidup.
Potensi
korupsi hakim konstitusi muncul ketika MK memeriksa dan mengadili penyelesaian
sengketa pemilihan umum (pemilihan presiden, parlemen, dan kepala daerah) dan
uji materi terhadap UU. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat mendorong
tidak sedikit pihak berupaya menyuap hakim agar perkaranya menang di MK.
Pola
umum korupsi di MK adalah penyuapan atau pemerasan. Artinya, korupsi dapat
muncul karena inisiatif dari pihak yang beperkara atau karena adanya
permintaan ataupun pemerasan dari hakim konstitusi kepada pihak yang
beperkara atau terkait perkara. Modus yang sering digunakan adalah pengaturan
putusan sesuai permintaan dan membocorkan naskah putusan yang belum resmi
dibacakan. Nilai transaksi suap yang diterima jumlahnya beragam. Dalam kasus
Akil Mochtar, nilai suap terkecil Rp 500 juta dan paling tinggi Rp 19 miliar.
Sulit
mengatakan bahwa penyebab korupsi di MK akibat rendahnya tingkat
kesejahteraan. Tunjangan dan fasilitas bagi hakim konstitusi saat ini
tergolong cukup tinggi dibandingkan dengan pejabat publik lainnya.
Berdasarkan PP No 55/2014, hakim konstitusi mendapat jaminan dan
kesejahteraan berupa gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas
transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas,
kedudukan protokol, penghasilan pensiun, dan tunjangan lainnya. Tunjangan
jabatan hakim konstitusi Rp 72 juta setiap bulan, sedangkan ketua MK Rp 121
juta per bulan.
Dua penyebab
Selain
masalah rendahnya integritas, ada dua hal lain yang jadi penyebab munculnya
praktik korupsi oleh hakim konstitusi. Pertama, proses perekrutan hakim
konstitusi sering bermasalah. Hakim konstitusi berasal dari tiga jalur: DPR,
MA, dan Presiden. UU MK secara tegas menyatakan proses pemilihan hakim
konstitusi wajib diselenggarakan secara obyektif, akuntabel dan partisipatif.
Namun, faktanya, tidak semua institusi menjalankan amanat ini. Akibatnya
rekam jejak dan sikap kenegarawanan hakim konstitusi yang ditunjuk untuk
mewakili institusi sering kali dipersoalkan sejumlah pihak.
Misal,
pada 2013, ketika Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Patrialis Akbar sebagai
hakim konstitusi dari jalur Presiden. Keputusan penunjukan ini dipersoalkan
dan digugat oleh Koalisi Masyarakat Sipil ke pengadilan tata usaha negara.
Koalisi menilai proses pemilihan Patrialis oleh SBY tidak dilakukan secara
terbuka dan partisipatif. Meski digugat dan dipertanyakan integritasnya,
Presiden SBY tetap saja melantik Patrialis.
Kedua,
belum efektifnya pengawasan terhadap hakim konstitusi. Fungsi pengawasan
internal MK saat ini hanya mengandalkan keberadaan Dewan Etik MK. Selain
karena kewenangannya yang terbatas, sanksi yang diberikan Dewan Etik MK
terhadap hakim konstitusi yang melanggar etika juga masih tergolong ringan
dan tidak memberikan efek jera. Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya
lembaga pengawas eksternal yang mengawasi perilaku hakim konstitusi. Sebab,
pada 2006, MK menghapus ketentuan yang mengatur kewenangan Komisi Yudisial
(KY) dalam melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi.
Terungkapnya
praktik korupsi di MK sungguh ironis dan dapat dipastikan akan menurunkan
citra serta kepercayaan lembaga ini. Ketika Ketua MK Akil Mochtar ditahan
KPK, jajak pendapat harian Kompas menyebutkan citra positif lembaga ini
merosot drastis dari 65,2 persen (Maret 2013) menjadi hanya 8,8 persen
(Oktober 2013). Padahal, sebelumnya citra MK hampir mendekati KPK yang citra
positifnya tertinggi di mata publik (Kompas, 2015).
Oleh
karena itu, untuk mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan publik terhadap MK
serta sekaligus mencegah berulangnya korupsi di MK, maka perlu ada langkah
luar biasa yang harus segera dilakukan. Agar komprehensif, langkah yang
ditempuh harus meliputi upaya penindakan dan pencegahan.
Sebagai
bagian aspek penindakan, KPK perlu menelisik kemungkinan keterlibatan oknum
lain di luar Patrialis Akbar. Untuk memberikan efek jera dan pelajaran bagi
hakim lainnya, Patrialis sebaiknya tidak saja dituntut penjara secara
maksimal, tetapi perlu juga dimiskinkan dengan menggunakan UU Pencucian Uang.
Adapun
pada bagian pencegahan, ke depan, proses pemilihan hakim konstitusi sebaiknya
dilakukan oleh panitia seleksi yang independen agar dapat menghasilkan figur
yang kredibel, berintegritas, dan berjiwa negarawan. Selain itu, pengawasan
terhadap hakim konstitusi perlu ditingkatkan dan diperluas. Tidak saja
memperkuat kewenangan Dewan Etik selaku pengawas internal, MK sebaiknya juga
membuka ruang bagi masuknya pengawas eksternal seperti KY dan masyarakat
untuk mengawasi perilaku para hakim konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar